Monday, February 22, 2010

Mario Teguh, Perempuan dan Pasangan Hidup


Dialog Metro TV tadi pagi menghadirkan motivator kondang Mario Teguh dan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Mariana. Topiknya, seputar postingan Mario Teguh di situ jejaring sosial Twitter yang .memicu
kontroversi sehingga Mario sampai memutuskan untuk menutup akun Twitternya.

Postingan yang kontroversial itu menyangkut wejangan Mario soal memilih calon pasangan hidup yang baik. Salah satu point wejangan  yang ditulis Mario adalah "Wanita yang pantas untuk teman pesta, clubbing, begadang sampai pagi, chitcat yang snob, merokok dan kadang mabuk, tidak mungkin
direncanakan jadi istri" yang ternyata memicu polemik.

Saya tidak tahu sedahsyat apa polemik yang terjadi (karena akunnya keburu ditutup dan saya enggak bisa menelusuri tanggapan-tanggapan atas pernyataan tersebut). Tapi saya menduga, banyak kaum perempuan yang keberatan dengan point yang ditulis Mario itu ditambah melihat nara sumber pembanding yang dhadirkan dalam dialog Metro TV tadi pagi adalah aktivis
perempuan dari Jurnal Perempuan.

Saya pribadi, sebagai perempuan, tidak keberatan apalagi tersinggung dengan pernyataan itu dan merasa tidak ada yang salah dengan apa yang
dikatakan Mario Teguh itu. Jadi, kenapa harus diributkan? Kalau dugaan saya benar bahwa banyak kaum perempuan yang keberatan dengan pernyataan itu, adakah argumen yang masuk akal untuk menyalahkan pernyataan itu?

Rasanya dari sisi manapun, sulit mengatakan bahwa kaum perempuan yang suka melakukan hal yang disebutkan Mario di atas adalah perempuan yang baik. Nilai-nilai moral dan sosial yang berlaku universal saja, rasanya sulit menerima jika keluar malam, begadang sampai pagi, merokok dan mabuk
(apalagi dilakukan oleh seorang perempuan) dianggap sebagai sebuah kepantasan. Bahkan di negara Barat yang pergaulannya bebas sekalipun.

Perempuan yang baik tentu paham mana yang pantas dan tidak pantas. Dan saya yakin, laki-laki manapun pasti berpikir dua kali untuk menjadikan perempuan seperti yang disebut Mario sebagai calon isteri, kecuali lak
i-laki yang bersangkutan punya kebiasaan yang sama.

Ini sekedar pendapat pribadi saja, tanpa bermaksud memandang rendah siapa pun atau membanggakan diri sebagai perempuan baik-baik. Pengalaman pernah meliput dunia hiburan memberi pemahaman pada saya, bahwa kehidupan (hiburan) malam hampir pasti dekat dengan kemaksiatan.

Anyway, saya salut dengan sikap Mario Teguh yang rendah hati mau minta maaf atas pernyataannya itu, meski menurut saya hal itu tidak perlu dilakukan seorang Mario Teguh.

Tapi sebenarnya ada hal penting yang saya catat dari dialog di Metro TV tadi pagi. Ini terkait dengan pernyataan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Mariana yang mengatakan bahwa Mario Teguh sudah mirip seorang ahli agama dan bukan motivator terkait pernyataan Mario di atas.

Jujur saja, saya sempat tercengang mendengar tudingan itu dilontarkan seorang aktivis perempuan yang organisasinya selama ini dikenal sebagai pembela hak-hak asasi perempuan. Kalau Mariana memprotes Mario berdasarkan alasan bias gender, saya mungkin masih maklum. Biasalah .... wacana feminisme. Tapi kalau sudah disangkutpautkan dengan agama, menurut saya sangat serius. Adakah agama yang merendahkan kaum perempuan sedemikian rupa, sehingga membolehkan kaum perempuannya keluyuran malem untuk tujuan bersenang-senang, apalagi merokok dan mabuk? Rasanya enggak ada yang agama yang seperti itu.

Pernyataan Mariana mengisyaratkan bahwa masalah mencari jodoh tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Sebuah karakter sekularisme yang ingin menjauhkan agama dari aspek kehidupan manusia. Buat kaum Muslimin, tentu saja pernyataan Mariana tak berlaku. Karena agama adalah pertimbangan penting ketika seseorang mencari pasangan hidup.

Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadisnya yang mengatakan, "Perempuan dinikahi karena empat faktor. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka menangkanlah wanita yang baik agamanya, maka engkau akan beruntung."

(Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, Abu Dawud Ibn Majah Ahmad ibn Hanbal, dan al-Darimi dalam kitabnya dari sahabat Abu Hurairah ra.)

Pada akhirnya, saya cuma mengelus dada mendengar pernyataan Mariana dan makin membuat saya makin skeptis dengan wacara feminisme dan perjuangan membela hak asasi perempuan yang didengung-dengungkan para aktivis perempuan yang cenderung sekular ini. Buat mereka, atas nama hak asasi perempuan, perempuan yang suka keluar malam dan begadang sampai pagi adalah hal wajar.

Suara mereka begitu lantang ketika ada kaum perempuan dari kelompok ini yang mereka anggap sudah dilanggar hak-haknya. Tapi ketika ada perempuan, muslimah yang dilanggar hak-haknya, seperti dilarang mengenakan jilbab di tempat kerjanya, suara para aktivis perempuan itu nyaris tak terdengar. Membela hak kaum perempuan seharusnya juga memuliakan kaum perempuan. Bukankah begitu?



Wednesday, February 17, 2010

Facebook dan Perasaan Perempuan


"Pemberitaan media massa membuat opini masyarakat terbentuk bahwa Facebook-lah biang kerok semua krisis sosial itu.
"

Perkembangan teknologi memang bisa jadi bumerang jika manusia tidak bijak memanfaatkannya. Sama halnya dengan teknologi internet yang mengenalkan kita pada dunia maya, dunia yang memungkinkan kita berinteraksi dengan siapa saja dan apa saja tanpa mengenal batas negara, bahkan batas etika dan norma. Tidak heran, seperti juga di dunia nyata, para penjahat juga bergentayangan di dunia maya yang jika tidak waspada kita bisa menjadi korbannya.


Kasus-kasus kriminal di dunia maya atau yang berawal dari dunia maya sebenarnya bukan cerita baru. Fenomena inilah yang nampaknya sedang terjadi di Indonesia, yang menyeret nama situs jejaring sosial, Facebook. Belakangan ini media massa santer memberitakan kasus-kasus remaja puteri yang tiba-tiba "menghilang" dan kabarnya "lari" bersama lelaki yang dikenalnya lewat Facebook. Kemudian ada juga kasus tiga pelajar di Kepulauan Riau yang dikeluarkan dari sekolahnya karena menghina gurunya lewat Facebook.

Pemberitaan media massa membuat opini masyarakat terbentuk bahwa Facebook-lah biang kerok semua krisis sosial itu. Kita jadi lupa bahwa Facebook hanya sebuah benda mati, obyek, produk perkembangan teknologi dimana yang paling berperan di dalamnya adalah manusia sebagai penggunanya. Kita tentu masih ingat kasus Prita, kasus bayi Bilqis, yang menorehkan cerita sukses karena dukungan yang digalang lewat dunia maya, kebetulan yang digunakan Facebook. Ini membuktikan bahwa dunia maya bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif.

Ketidaksiapan mental, minimnya pengetahuan dan euforia berlebihan terhadap hal-hal yang sedang menjadi trend di masyarakat menjadi faktor yang bisa menyebabkan orang gampang tertipu. Kebetulan Facebook sedang menjadi trend di Indonesia (sementara banyak orang di dunia yang sudah tidak menggunakannya lagi), didukung dengan berbagai kemudahan mengaksesnya secara mobile, misalnya dari handphone mulai dari hp yang harganya paling mahal sampai yang paling murah, menawarkan fasilitas akses ke situs jejaring sosial ini. Sehingga siapapun, mulai dari anak SD sampai lanjut usia, bisa membuka akun Facebook. Dan layaknya jejaring sosial, jadilah Facebook ini sebagai ajang gaul yang bebas dunia maya.

Tapi bukan itu yang menggelitik saya melihat kasus-kasus "kriminal" terkait Facebook, terutama kasus-kasus hilangnya sejumlah remaja puetri. Kalau dilihat, remaja-remaja yang "menghilang" itu kebanyakan adalah perempuan, yang konon memilih pergi bersama lelaki yang dikenalnya di Facebook.

Jika benar demikian kejadiannya, pertanyaan yang menggelitik saya, ada apa dengan perempuan kita. Mengapa mudah sekali terbuai dengan rayuan lelaki yang cuma dikenalnya lewat dunia maya.  Kalau alasannya mereka masih usia remaja atau anak-anak yang masih labil, rasanya enggak juga. Dalam kasus di Semarang, yang "menghilang" adalah seorang mahasiswi tingkat akhir yang notabene sudah berusia dewasa.

Tentu saja kasus-kasus ini tidak mewakili sikap seluruh kaum perempuan. Cuma rasanya memprihatinkan melihat begitu lemahnya perempuan, mudah terbuai dengan rayuan gombal. Adakah kaitannya dengan kecenderungan perempuan yang katanya memiliki perasaan yang halus dan sensitif, sehingga ada stereotipe bahwa perempuan itu memiliki 99 perasaan, satu akal. Kalau laki-laki, 99 akal dan 1 perasaan. Ini mungkin masalah psikologis, para ahlinya mungkin bisa menjelaskannya.

Tapi mengenaskan jika kaum perempuan memiliki sikap mental yang lemah. Sikap mental yang seharusnya sudah dipupuk sejak remaja, terutama untuk anak-anak perempuan. Karena perempuan adalah calon ibu, yang akan melahirkan anak-anak dan mendidiknya. Bisa dibayangkan, bagaimana kualitas generasi penerus bangsa ini, jika kaum perempuannya memiliki sikap mental yang lemah.

Anyway, whatever it is, this is you behind the gun, not Facebook.    

Monday, February 8, 2010

Tamu

Islam mengajarkan umatnya untuk memuliakan tamu, dengan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada si tamu. Tapi bukan berarti sebagai tuan rumah yang memuliakan tamunya, si tuan rumah mengikuti saja apa kemauan si tamu, apalagi kalau si tamu sudah seenaknya membuat aturan sendiri dan mendikte tuan rumah untuk mengikuti kemauannya.

Kalau kita menerima tamu semacam itu, kira-kira apa yang kita lakukan? Pasti ada rasa jengkel, marah, menganggap si tamu tidak tahu adat kesopanan atau bahkan langsung mengusirnya. Bukankah ada kata pepatah "Dimana kaki dipijak, di situ langit di junjung."

Soal adab menerima tamu dan bertamu juga berlaku dalam hubungan antar negara yang dibangun atas prinsip saling menghargai dan menghormati. Rasanya, jarang bahkan tidak ada negara yang mau diatur seenaknya oleh negara lain, termasuk dalam masalah protokoler menyambut kedatangan tamu negara.

Tapi kita menyaksikan pemandangan lain ketika negara ini menerima kunjungan dari pemimpin negara bernama Amerika Serikat. Kita tentu masih ingat betapa naifnya kita sampai membuat landasan helikopter khusus di Kebun Raya Bogor saat (mantan) Presiden AS George W. Bush akan berkunjung ke Indonesia serta penjagaan keamanan yang berlebihan sesuai permintaan pihak Gedung Putih. Seolah-olah kita tidak punya posisi tawar dan harga diri sebagai bangsa yang begitu gampangnya memenuhi keinginan sebuah negara yang sebenarnya cuma ketakutan akibat perbuatannya sendiri di kancah pergaulan internasional.

Dan sepertinya, hal semacam ini bakal terulang lagi menyusul kabar rencana kunjungan Presiden Barack Obama ke Indonesia bulan Maret mendatang. Jauh-jauh hari, sebuah tim dari pemerintahan AS sudah melakukan "inspeksi". Dan saya cuma tersenyum pahit, ketika rombongan yang membawa serta wartawan asing itu mendatangi sekolah di Menteng tempat dulu Obama pernah sekolah, memeriksa setiap sudut sekolah dan menurut berita yang saya saksikan di tv, melarang wartawan lokal yang mau meliput kunjungan itu.

Pihak sekolah yang dimintai komentarnya, cuma meminta pengertian dengan alasan karena itu sudah menjadi bagian protokoler pihak kepresidenan AS. Duh, koq mau sih diatur-atur seenaknya sama calon tamu, bukannya tuan rumah tuh yang seharusnya ngatur-ngatur tamunya. Memuliakan tamu bukan berarti tidak bisa tegas pada tamu. Dengan mengikuti permintaan yang berlebihan dengan alasan keamanan, bukankah itu berarti kita mengakui bahwa negara kita memang tidak aman dan tidak mampu melindungi tamunya?

gambar pinjem dari sini


Tuesday, February 2, 2010

Kemusyrikan di TV-TV Kita


Sebuah kutipan hadist yang saya baca pagi ini membuat saya tercenung. Kata hadist itu,  Rasulullah Saw bersabda,"
Siapa yang mendatangi peramal kemudian ia meminta agar diramal tentang sesuatu kepada peramal tersebut, maka Allah tidak akan menerima salatnya selama 40 hari." (HR Muslim)

Setelah membaca hadist itu pikiran saya melambung ke televisi-televisi kita yang banyak sekali menayangkan iklan-iklan yang menawarkan ramalan-ramalan mulai dari soal cari jodoh, rejeki, kariri, memilih jenis pekerjaan atau ingin mengetahui kejadian-kejadian di masa depan, yang sebenarnya semua orang paham bahwa urusan-urusan yang ghaib cuma Allah saja yang paling tahu.

Tapi, siapa yang bisa menjamin di tengah gempuran iklan ramal-meramal orang tidak akan terpengaruh atau tergoda atau cuma sekedar iseng mengetik "reg spasi bla bla bla, kirim ke nomer sekian-sekian" sesuai instruksi si peramal. Belum lagi acara-acara yang menggunakan teknik hipnotis, yang isinya hanya mempermalukan orang dan yang lebih celaka lagi bisa menginspirasi orang untuk menggunakan hipnotis untuk berbuat kriminal.

Kadang saya cuma membatin prihatin dan bertanya dalam hati, apakah televisi-televisi yang menayangkan iklan ramalan-ramalan itu tidak memikirkan dampak buruknya bagi masyarakat? Terlebih lagi, mayoritas masyarakat Indonesia adalah Muslim dan Islam jelas-jelas melarang umatnya percaya pada ramalan karena hal itu termasuk perbuatan syirik yang dosanya tidak diampuni.

Dari teori-teori yang saya baca, media massa itu harus memenuhi tiga fungsi. Fungsi informasi, pendidikan dan hiburan. Dan iklan ramalan sama sekali tidak memenuhi ketiga fungsi itu, malah sebaliknya, merusak akidah umat. Membuat orang lebih mengandalkan ramalan ketimbang bekerja keras atau yang lebih ekstrim lagi menjauhkan orang dari Tuhannya, menjauhkan bangsa ini dari keberkahan, karena telah memberi tempat pada kebohongan-kebohongan.

 Saya tidak tahu, apakah hal semacam ini pernah terlintas di pikiran para pengelola televisi, termasuk tanggung jawabnya kelak di hadapan Tuhan karena sudah menyebarkan kemusyrikan. Kemana pula Komisi Penyiaran Indonesia, mengapa tidak segera menertibkan televisi-televisi yang menayangkan iklan-iklan yang menyesatkan orang itu.

Saya sangat sadar, logika yang digunakan para pengelola televisi pastilah cuma masalah keuntungan, ujung-ujungnya duit. Begitulah kalau media massa sudah menjadi industri. Tanggung jawab terhadap fungsi informasi, pendidikan dan hiburan yang sehat bagi konsumennya, cuma jadi teori di buku-buku saja. Dan meski jumlahnya lebih banyak, masyarakat kita tetap tak berdaya membendung arus deras kemusyrikan itu.

"Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Jika kamu memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah." (HR Tarmidzi)