Thursday, April 29, 2010

Yang Membuatku Iri

tulisan iseng saat kantuk menyerang ... di tengah gemercik air  hujan ....





aku iri padamu ...

yang berhati cantik meski wajahmu  tak cantik

aku iri padamu ...
yang tawadhu, meski engkau punya segudang ilmu

aku iri padamu ...
yang begitu sederhana, padahal engkau kaya harta

aku iri padamu ...
yang berperilaku sesuai hijab dan perkataanmu

aku iri padamu ...
yang selalu bergegas salat begitu adzan berkumandang

aku iri padamu ...
yang selalu menyempatkan diri membaca Al-Quran setiap hari
bahkan menghafalnya

aku iri padamu ...
yang konsisten menjalankan ibadah-ibadah sunnah

aku iri padamu ...
yang masih bisa tersenyum meski engkau dizalimi

aku iri padamu ...
yang masih mampu bertutur lembut pada orang yang membecimu

aku iri padamu ...
yang selalu ringan bersedekah

aku iri padamu ...
yang tak pernah lelah melangkahkan kaki majlis ilmu

aku iri padamu ...
yang tak pernah mencela orang yang beda keyakinan denganmu

aku iri padamu ...
yang senantiasa terjaga disepertiga malam untuk bertahajud padaNya

aku iri padamu ...
yang wajahnya memancarkan cahaya surga
aku iri padamu ...
karena aku bisa merasakan aura surgawimu

Tuhan ...
jadikan rasa iri ini sebagai pemicu semangatku
untuk seperti dirinya ...




Wednesday, April 28, 2010

Tuesday, April 27, 2010

Apa Sih Bedanya Koruptor dengan Tukang Copet ....

“Yang paling besar dosanya yang korupsi! Yang makan uang rakyat! Yang biarin rakyatnya melarat! Yang biarin rakyatnya jadi tukang copet!” kata Samsul, salah satu tokoh dalam film Alangkah Lucunya (Negeri Ini).

Samsul benar, seorang koruptor bisa jadi lebih besar dosanya dari seorang pencopet bahkan pelacur sekalipun. Karena orang yang korupsi, biasanya bukan karena kelaparan atau susah mencari kerja, tapi karena keserakahan, ingin kaya dengan cara instan.

Karena dosanya lebih besar dari pencopet, logikanya, seorang koruptor adalah penjahat yang lebih jahat dan harus diperlakukan lebih hina dari seorang pencopet. Tapi kadang logika tidak sejalan dengan realita, paling tidak realita yang terjadi di negara kita dimana logika kerap dijungkirbalikkan.

Kalau pencopet disiksa atau para pelacur dikejar-kejar seperti pesakitan. Koruptor yang dosanya lebih besar diperlakukan dengan hormat, dijemput bahkan dijaga oleh aparat. Kalau tukang copet dijebloskan ke penjara yang kumuh, berbaur dengan penjahat kriminal lainya, seperti pembunuh, pemerkosa dll. Koruptor dibuatkan kompleks sel khusus yang lebih bersih dan manusiawi.

Suka tidak suka, kita melihat adanya diskriminasi antara koruptor dan penjahat sekelas tukang copet. Padahal apa sih bedanya koruptor dengan tukang copet atau maling ayam misalnya. Kenapa pula harus disediakan sel khusus buat koruptor, kenapa tidak dibiarkan saja para penjahat berdasi itu satu sel dengan pelaku kriminal lainnya? Biar para koruptor itu juga merasakan bagaimana rasanya jadi "penjahat" dan jadi orang miskin yang tak beruntung.

Alangkah (makin tidak) Lucunya (negeri ini) ....

 
 

Siapa Bilang Bahasa Indonesia Gampang?

Surprise juga mendengar penjelasan Mendiknas Muhammad Nuh bahwa Bahasa Indonesia menjadi salah satu mata pelajaran yang membuat banyak siswa tidak lulus dalam ujian nasional tahun ini. Kedengarannya, koq kebangetan ya, sedemikian susahnyakah pelajaran Bahasa Indonesia, bahasa ibu yang digunakan hampir setiap hari, sampai enggak bisa mencapai target nilai kelulusan?

Tapi buat saya, mata pelajaran bahasa Indonesia memang susah, lebih susah dari bahasa Inggris (jiaaahh .... gubrak) . Dulu, waktu SMP, saya punya guru bahasa Indonesia yang "keras" banget. Pemakaian bahasa harus benar dan yang sudah disempurnakan sampai ke titik koma.  Hapalan gaya bahasa, tata bahasa, ejaan  mesti ngelotok kalau gak mau dapet "mawar merah" di rapor. Jaman dulu kan pelajaran bahasa Indonesia di rapor gak boleh merah, kalo merah bakal gak naek kelas, meski mata pelajaran lain angkanya item.

Tapi begitulah, belajar bahasa indonesia serius cuma supaya enggak dapet nilai jelek karena gurunya teliti dan seksama banget. Setelah itu, semua dilupakan ... yang kepikir waktu itu, "Ngapain juga segitu seriusnya belajar bahasa Indonesia, emangnya mau jadi sastrawan. Lagian juga kaidah bahasa Indonesia gak kepake kalau buat ngomong sehari-hari. Pakenya bahasa gaul gitu loh ..."

Yah gitulah, pengetahuan bahasa Indonesia pun hilang begitu saja. Bahkan ketika bekerja jadi reporter radio, kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak terlalu dominan dalam bahasa radio, karena bahasa radio menggunakan bahasa tutur, bahasa percakapan sehari-hari. Kebutuhan belajar kembali kaidah bahasa Indonesia baru terasa ketika bekerja di media online yang produknya lebih banyak dalam bentuk tulisan. Ejaan, tata bahasa dan cara penulisan harus benar-benar sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Konsekuensinya, saat bekerja, kadang harus bolak-balik ngecek buku panduan EYD dan yang seumur-umur gak pernah buka kamus bahasa Indonesia, sekarang jadi berteman akrab dengan kamus bahasa Indonesia (dalam jaringan). Alamak !

Belum lama bahkan sempet berdebat dengan seorang teman soal kata salat, yang bener itu tulisannya "shalat" atau "salat". Kata yang sering kita ucapkan tapi belum tentu benar saat kita menuliskannya. Saya bahkan sempat terbengong-bengong,  saat materi penyuntingan naskah di kelas terjemahan. Pemberi materi yang sudah bertitel profesor itu, membuat saya nepok jidat, ternyata bahasa Indonesia itu itu gak gampang dan banyak banget kata-kata baru dalam bahasa Indonesia yang saya tidak tahu bahkan salah menggunakannya.

Well, jadi saya enggak heran kalau banyak siswa enggak lulus ujian nasional gara-gara mata pelajaran bahasa Indonesia.  Bisa jadi karena mereka meremehkan mata pelajaran yang satu ini, menganggapnya sebagai mata pelajaran yang gampang atau karena ada penyebab lain, entahlah ...

**** Yang jelas, ikut sedih ngeliat para siswa yang enggak lulus nangis meraung-raung. Perasaan zaman saya sekolah dulu ujian gak sehoror gitu deh. Ada apa sih dengan sistem pendidikan kita?


 
 

Saturday, April 17, 2010

[Masa Kecil] Suatu Waktu di Kelas 6 SD

Pernahkah teman-teman mengalami, apa yang kita lakukan di masa kecil, ternyata menjadi kenyataan ketika kita dewasa.

Sabtu (17/4), saya menyempatkan diri datang ke sekolah Faishal, keponakan saya yang baru duduk di kelas satu SD. Hari itu, sekolahnya menggelar pameran seni hasil karya para siswa dan bazar yang juga digelar para siswa. Mereka berjualan aneka barang yang lucu-lucu, hasil karya mereka sendiri atau barang-barang kecil lainnya yang mereka beli lalu mereka jual kembali, mulai dari kerajinan tangan dari lilin, dari kulit jeruk bali dan sayur-sayuran, origami, gambar tempel, kelereng dan souvenir khas anak-anak SD.

Sementara hasil karya yang dipamerkan juga macam-macam, ada hasil karya menggambar, melukis, mewarnai, hasil prakarya, dll.  Seneng banget melihat melihat aktivitas dan buatan tangan anak-anak SD itu. Saya sempat senyum-senyum membaca hasil karya mengarang anak kelas satu SD, kelasnya Faish, bahasanya sederhana, lugu, khas anak-anak. Tapi yang membuat saya takjub, ketika saya melihat-lihat hasil karya anak kelas enam. Di meja karya yang dijual, saya melihat sebuah lembaran-lembaran kertas bergambar fotokopian yang dibendel cuma dengan menggunakan steples. Setelah saya amati, lembaran kertas itu ternyata buku cerita berbentuk komik yang dibuat siswa dan dijual.

Saya sempatkan membuka-buka lembarannya. Di halaman pertama, penulisnya menampilkan susunan tokoh dalam ceritanya diserta keterangan siapa tokoh bersangkutan, baru di halaman kedua terlihat deretan kota  bergambar disertai dialognya, seperti layaknya komik. meski sangat sederhana. Kalau saya lihat, semuanya digambar dan ditulis dengan tangan. Wah, wah, keren euy, anak SD sudah terinspirasi bikin komik. Sayang, saya gak bawa kamera, jadi gak bisa motret komik dan kegiatan anak-anak SD itu.

Melihat komik itu, saya jadi teringat saat masih SD dulu, sama-sama kelas enam. Waktu itu, ceritanya lagi gandrung dengan profesi wartawan sampai sempet berangan-angan nanti pengen jadi wartawan saja. Kebetulan waktu SD banyak akses bacaan, sehingga membuat saya berpikir betapa enaknya jadi wartawan, ketemu orang-orang terkenal dan bisa jalan-jalan kemana-mana. Tak terlintas sedikitpun beban berat pekerjaan dan tanggung jawab seorang wartawan (namanya juga masih anak SD ).

Saking suka mengkhayal jadi wartawan, saya membuat koran-koranan dengan menggunakan kertas folio. Di koran -koranan itu saya menulis semua isinya, ada cerita, puisi, gambar, ilmu pengetahuan (yang sumbernya dari majalah anak-anak), sampai surat pembaca. Saya cuma membuat satu koran-koranan saja yang terdiri dari dua lembar kertas folio, saya tunjukkan ke teman sebangku saya dan ternyata dia suka bacanya. Jadilah koran-koranan itu dibaca seluruh kelas.

Tak disangka, kira-kira 11 tahun kemudian, saya memang jadi wartawan beneran, meski cuma seorang reporter radio, setelah berganti-ganti cita-cita, mulai dari kepengen jadi pramugari, guru, arkeolog sampai pengen jadi kriminolog. Meski akhirnya terdampar di akademi bank dan menggeluti bidang pekerjaan yang sama sekali gak ada hubungannya dengan bank. Well, mungkin begitulah jalannya cerita kehidupan. Banyak kejutan, kebetulan dan keberuntungan dengan segala suka dukanya. Terimakasih Allah Swt buat semuanya ... dan sekarang lagi rajin memprovokasi faish supaya seneng nulis

*** foto pinjem dari sini

Monday, April 12, 2010

"My Name is Kan, and I am not A Corruptor"

Ntar dulu, sebelum saya ngomongin soal "My Name is Kan, and I am not a Corruptor", saya mau cerita yang lain dulu.

setelah tertunda-tunda, akhirnya kesampean juga menyaksikan duet akting Kajol dan Shah Rukh Khan, dua bintang Bollywood, dalam film My Name is Khan. keduanya pernah beradu akting di dua film yang cukup dikenal publik indonesia, Kuch Kuch Hota Hai dan Kabi Khusi Kabi Gam dan saya termasuk yang seneng nonton dua film india itu.


secara keseluruhan film My Name is Khan menurut saya bagus. meski film ini kalau kata saya sih merugikan, karena udah disuruh bayar, nontonnya mesti nangis lagi, walhasil keluar bioskop muka jadi sembab.

isu terorisme diangkat dalam tema cerita yang ringan dan seperti tipikal film drama India, My Name is Khan berhasil mengaduk-aduk emosi penontonnya, antara lucu, sedih, dan kasihan. ceritanya mengalir, tidak datar tapi nyaris tanpa ada ketegangan. tak ada klimaksnya. ending-nya pun membuat kita tersenyum dan bergumam, "ah, lagi-lagi pemimpin Amerika ditampilkan sebagai negara yang seolah-olah 'ramah' dengan warga Muslim."


Ending film ini, kalau tidak hati-hati, penonton akan tergelincir dengan pemikiran bahwa AS tidak sedemikian buruknya dalam isu terorisme. jadinya malah kontradiksi dengan pesan dalam film yang selama hampir tiga jam mencoba menjelaskan bahwa bagaimana sebenarnya Islam dan sosok seorang muslim sejati yang cinta damai, dan bagaimana beratnya warga muslim di AS menghadapi situasi pasca serangan 11 September 2001. Fakta betapa seriusnya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan AS terhadap orang-orang yang mereka tangkap atas kecurigaan dan tudingan terorisme, seperti yang dialami Khan dalam film itu, seolah bukan persoalan besar dan pupus begitu saja oleh ending yang menampilkan betapa ramahnya presiden AS yang baru terpilih bersedia menerima Khan yang cuma ingin mengatakan "My Name is Khan. I am not a terorist."

Kesimpulannya, My Name is Khan memenuhi ekspetasi saya untuk menonton film yang menghibur dan berkualitas, tapi tidak memenuhi harapan saya bahwa film ini bukan sekedar hiburan, tapi juga memberikan perspektif yang kuat bagi para penontonnya, tentang isu terorisme yang didengung-dengungkan Barat dan komunitas Muslim yang menjadi korban kampanye anti-terorisme Barat. My Name is Khan, seharusnya bisa lebih "nendang" kalau memang ingin mengatakan bahwa "Islam dan Muslim bukan teroris" yang diwakili oleh sosok Khan dalam film itu.

Anyway, akting dua bintang utamanya, Kajol dan Shah Rukh Khan dalam film ini, patut diacungi jempol. Aktingnya hidup banget, terutama Shah Rukh Khan yang harus tampil sebagai sosok yang memiliki sindrom autis.

kreativitas Bollywood mengangkat tema seperti di film ini juga boleh dipuji. Bollywood membuktikan bisa bikin film yang tidak cuma mengekspos kecantikan para bintang filmnya yang nari-nari dan nyanyi-nyanyi di deket tiang atau di tengah taman. Jadi mikir, kapan sineas indonesia bisa mengangkat ide-ide bermutu ke dalam layar lebar seperti halnya My Name is Khan.

Kalau saya sih usulnya, kalau sineas Indonesia mau bikin film setipe My Name is Khan, judulnya bisa jadi  "My Name is Kan, and I am not a corruptor" mumpung lagi panas-panasnya kasus-kasus korupsi di negeri inisecara gitu loh, korupsi itu lebih jahat dari terorisme.


Friday, April 9, 2010

Suka Duka Angkot-ers

Entah sudah berapa kali dibuat senewan sama sopir angkot yang suka seenaknya mengenakan tarif sama penumpang. Biasanya, ongkos angkot dari depan kampus IISIP (tempat biasa saya naek) sampai jalan baru Pasar Rebo, cuma Rp3.000 tapi sopir angkot yang nakal seenaknya mengenakan tarif Rp.3.500,- terutama kalo bayarnya enggak pake uang pas, alias masih ada kembaliannya.

Memang sih enggak semua sopir angkot nakal kayak gitu. Ada juga yang pengertian kalo kita bilang "naeknya dari sini bang" dan si sopir angkot mengenakan tarif yang sesuai. Kalo gini kan enak, penumpang dan sopir angkot sama-sama senang. Sama-sama senyum dan saling mengucapkan terima kasih.

Dan kalo diliat besaran uangnya, emang sih enggak seberapa ... cuma 500 perak. Tapi kalo itu sudah melebihi tarif yang biasanya berlaku, sebagai manusia normal, rasanya pengen sewot juga, dan enggak sekali dua kali saya menyaksikan penumpang dan sopir cekcok mulut gara-gara ongkos. Dan enggak sekali dua kali juga saya menjadi korban dan cuma bisa manyun sama si sopir angkot, karena males ribut-ribut soal ongkos, apalagi kalo kejadiannya pagi hari saat mau kerja. Bisa ngerusak mood dah (meski sebenarnya sudah sedikit dirusak ...)

Well, kadang saya berpikir ... orang cari duit koq gitu amat sih. Bukankah rezeki sudah ada yang mengatur? Kalo pengen dapet duit lebih, yah jangan gitu-gitu amat kali yah. So, mungkin karena sudah kebal, kalo saya nemuin sopir angkot yang nakal kayak gitu, seperti pagi tadi, saya cuma memandang sekilas ke sopir angkot, sambil berkata dalam hati, yaaah ... mungkin orang ini sangat membutuhkan uang 500 perak itu, berikan saja, sambil ngeloyor ke tukang gorengan buat ngisi perut yang belum sarapan.  

keterangan: gambar cuma ilustrasi ...

Monday, April 5, 2010

Selamat Jalan Sahabat ....

nama yang tertera di ucapan duka cita yang aku baca hari ini mengingatkanku pada sosok seorang yang rasanya pernah aku kenal. penasaran, aku telusuri jejaknya, dari facebook sampai blognya di multiply. aku mencoba meyakinkan dengan menatap lekat foto-foto yang ada di kedua jejaring sosial itu. ternyata benar, aku pernah mengenalnya, sekian tahun silam, saat kaki ini masih berjalan kesana kemari, menyusuri jalan dan tempat di ibukota, dari satu lokasi liputan ke lokasi liputan lainnya. pada saat itulah aku sempat mengenalnya. meski tak lama.

kesibukan dan perbedaan bidang liputan, membuatku jarang bahkan sama sekali tak pernah lagi berjumpa dengannya. hingga siang ini, aku membaca berita duka itu. rasanya tak percaya dirimu telah pergi untuk selamanya. seorang teman yang aku telpon untuk memastikan berita itu bilang, sudah lama dirimu berjuang melawan penyakit kanker itu.

tiba-tiba ada rasa senyap dan sedih, melihat kembali jejak tulisan dan foto yang ditinggalkan dalam blognya. aku mungkin tidak terlalu jauh mengenalmu, dirimu pun mungkin sudah lupa siapa aku. tapi aku masih bisa mengingat kembali senyum ramahmu, semangatmu sebagai seorang jurnalis muda yang bekerja untuk kantor berita asing dan tutur kata menyenangkan yang membuat siapa saja yang baru mengenalmu merasa nyaman bergaul denganmu. dan karena itulah, aku merasa ikut kehilangan.

sahabat ... selamat jalan. semoga dirimu mendapatkan tempat terbaik di sisiNya. teruntuk Retno Indriani Palupi.