Tuesday, August 31, 2010

Pesan Pendek Itu ....

Selasa malam sebuah pesen sms dengan nomor tak dikenal masuk ke Esia saya;

"Tolong kirim pulsa ke hape mama sekarang, penting. mama ada urusan penting. tolong ya, kiriman pulsa 50ribu ke mama. ini mama pinjem hape orang. penting."

Saya mengernyitkan dahi membaca sms itu. Bertanya-tanya siapa pengirim sms karena hanya segelintir orang yang tahu nomor Esia saya.  Sempet khawatir juga kalau memang pengirimnya saya kenal dan memang sedang membutuhkan pertolongan. Tapi ... koq ada yang janggal yah ...  orang ini menyebut mama? maksudnya ibu gituh (bukan nama orang)? dan rasa khawatir berganti jadi curiga.

Saya tak langsung menjawab sms itu dan positif thinking mungkin pengirimnya salah pencet nomor, jadinya salah kirim sms deh. Sering tokh, kejadian kayak gitu.  Tapi satu jam kemudian, sms dengan nomor sama masuk lagi, isinya ...

"Cepetan dong kirim pulsa ke mama. ke nomor ini ...(tertera sebuah nomor hp, mungkin si pengirim tadi lupa nyantumin nomor hp yang diminta diisiin pulsa... hihihi). mama lagi di rumah sakit nih. penting ...."

Karena maksa-maksa dan makin jelas kejanggalannya, akhirnya sambil nyengir saya balas sms itu, "Maaf ... (masih sopan), ini mama siapa yah .... mama saya kan udah lama meninggal." Karena memang ibu saya sudah enam tahun yang lalu wafat dan sepertinya enggak mungkin banget di "alam sana" ada hape dan bisa kirim sms .

Saya enggak bisa ngebayangin raut muka si pengirim sms tadi begitu membaca balasan sms saya itu, karena setelah itu  tak ada balasan lagi dari si pengirim sms  ...  Biar kapok ! bulan puasa koq masih aja ada orang yang coba-coba nipu. crazy world ...



Wednesday, August 11, 2010

[Catatan Ramadan] Feeling Guilty

Ini adalah tahun pertama Faishal, keponakan saya, belajar puasa di bulan Ramadan. Alhamdulillah, di hari pertama, Faish mampu menuntaskan puasanya sampai azan magrib, padahal saya dan uminya bilang supaya Faish jangan memaksakan diri kalau merasa tak kuat, boleh puasa setengah hari. Tapi Faish bilang "enggak apa-apa koq, aku enggak laper" ketika jam dua siang tadi aku tanya apakah perutnya sakit atau merasa pusing.

Maklumlah, usia Faish belum genap tujuh tahun, meski sudah harus belajar berpuasa Ramadan, belum ada kewajiban baginya untuk berpuasa sampai azan magrib. Tapi dasar anak-anak (jadi inget pengalaman waktu kecil dulu) kadang tercetus pula kata "lapar" atau "aku jadi pengen" saat mencium bau makanan dari dapur atau melihat iklan makanan di televisi.

Tapi sebenarnya saya merasa "feeling guilty" sama Faish. Saya merasa kurang bijak menjelaskan kewajiban puasa Ramadan pada anak sekecil Faishal. Sehari sebelum puasa, saya bertanya apakah Faish besok mau puasa. Dengan tegas Faish menjawab bahwa ia akan puasa dan dengan kepolosannya ia bilang begini, "Kata tante Rika (adik saya) aku boleh minta apa aja kalau puasaku pol."

Saya tersenyum mendengar perkataannya. Tanpa pikir panjang, saya bilang ke Faish, kalau puasa itu harus niat karena Allah, bukan karena pengen dapet hadiah. Kalau kita puasa, menahan lapar dan haus karena kita mengharapkan pahala dari Allah, bukan mengharapkan hadiah. Entah bagaimana kata-kata itu meluncur begitu saja. Kata-kataku itu sepertinya mengena di hati Faish karena kulihat Faish "bengong" menatapku dan seperti memikirkan kata-kataku tadi.

Deg ! tiba-tiba saja dadaku tersentak melihat perubahan air muka Faish. Saya merasa telah mematahkan semangatnya untuk berpuasa. Saya jadi begitu merasa bersalah. "Bodohnya saya," saya mengutuk diri sendiri sambil buru-buru mencoba mengalihkan lagi perhatian Faishal. Saya langsung memeluknya dan bilang kalau Faish boleh berpuasa setengah hari karena Faish masih belajar puasa, untuk menutupi rasa bersalah saya. Seketika wajah Faish memang sedikit berubah senang, "enggak ah, aku pengen puasa sampe magrib", ujarnya antusias. Duh, Tuhan, saya jadi makin merasa bersalah. Dalam hati, semoga kata-kata saya sebelumnya tidak membekas di hati Faish.

Dan di hari pertama puasa, Faish membuktikan ucapannya, puasa sampai azan magrib berkumandang dan dengan semangat ikut tarawih di masjid.

"Ya, Allah maafkan hamba. Tumbuhkanlah semangat dalam jiwa Faish untuk senantiasa berkhidmat melaksanakan perintah-perintah-Mu, menjadi anak yang bertakwa dan bisa mengangkat derajat orang tuanya di akhirat kelak, amiin."

Saturday, August 7, 2010

Menikmati Wisata "Legenda Angklung" di Padasuka


Senang rasanya ketika turun dari bis dan menjejakan kaki di halaman luas yang nampak asri dan berudara sejuk karena dinaungi beberapa pohon
besar. Suasana khas daerah Jawa Barat langsung terasa ketika saya masuk ke kompleks bangunan yang ada di tempat itu.

Tempat yang saya datangi itu berada di kawasan pemukiman penduduk di
Jalan Padasuka 118, Bandung. Buat yang pernah ke tempat ini, pasti mengenal alamat ini dengan baik. Ya, tempat itu adalah sebuah lokasi wisata seni budaya sunda, Saung Angklung Mang Udjo. Ah, akhirnya kesampaian juga saya berkunjung ke sini, sebuah keinginan terpendam setelah sering menyaksikan liputan tentang Saung ini di televisi.



Hari itu, saya dan teman-teman dari rombongan Lintas Wisata akan
menyaksikan pertunjukkan jam 04.00 sore. Setelah membayat tiket seharga Rp50.000 / orang, kami diberi souvenir berbentuk angklung mungil yang bisa digunakan sebagai kalung atau bros dan ditawari minuman, bisa pilih; air mineral atau bandrek. Saya pilih bandrek--minuman ringan khas Jawa Barat--yang rasanya menurut saya "pas banget", paduan rasa santan dan jahenya membuat badan terasa segar dan pegal-pegal langsung hilang (karena sebelumnya kita semua habis manjat Gunung Tangkuban Perahu), apalagi bandreknya disajikan hangat, menjelang sore hari pula ... nikmat deh !

Setelah urusan di pintu masuk selesai, kami dipersilahkan masuk ke arena
pertunjukan, melewati sebuah toko penjualan soevenir yang membuat mata saya jadi jelalatan  (biasa deh kalau sudah melihat barang-barang kerajinan, susah untuk membuat pandangan mata lurus ke depan). Setelah dengan selamat melewati toko souvenir itu, saya melihat sudah banyak yang duduk di tempat pertunjukkan angklung yang berbentuk seperti ampiteater mini. Saya juga melihat ada beberapa turis mancanegara di sana.


Tepat pukul 04.00 sore, acara pun dimulai dengan menampilkan berbagai
kesenian Sunda. Diawali dengan demo wayang golek, lalu ada Helaran (kesenian untuk mengiringi upacara tradisional khitanan atau saat panen padi masyarakat Sunda), pencak silat dan disambung dengan tari-tarian tradisional, ada tari topeng, tari merak dan tentu saja jaipongan !  Suasananya betul-betul meriah,  ... Kalau melihat pertunjukkan seni tradisional ini, kagum rasanya dengan Indonesia yang kaya budaya, ini baru Jawa Barat ... bagaimana dengan daerah-daerah lainnya di seluruh Indonesia...


Keceriaan sore itu makin lengkap dengan penampilan alat musik bambu. Inilah pertunjukkan inti di Saung Mang Udjo. Para pengunjung diajak menikmati merdunya harmonisasi musik calung, arumba dan angklung lewat
lagu-lagu yang sudah sangat akrab dengan telinga kita. Puncak acara adalah main angklung bersama. Jadi, kita bukan cuma disuruh nonton, tapi juga diajarkan bermain angklung. Bagaimana cara memegang angklung dan cara membunyikannya sehingga suara yang keluar enak didengar. Pembawa acaranya yang luwes memberikan kode dengan tangan, angklung mana yang dipegang pengunjung yang harus dibunyikan, sehingga terdengar rangkaian nada-nada lagu yang dimainkan.


Ternyata .... main angklung itu susah-susah gampang. Butuh kosentrasi dan yang lebih penting adalah kekompakan. Itulah sebabnya, alat musik angklung yang terbuat dari batang bambu ini disebut alat musik 5 M; Mudah, Murah, Mendidik, Menarik dan Massal. Wah, tahu asyik begini,
pengen rasanya berlama-lama belajar main angklung.

Saung Angklung Mang Udjo, satu dari sedikit cagar budaya di Indonesia yang berkosentrasi pada seni musik tradisional. Saung Angklung ini didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena (alm) dan istrinya, Uum Sumiati. Karena kiprahnya melestarikan kesenian musik angklung, Mang
Udjo dijuluki sebagai tokoh "Legenda Angklung". Tapi sebenarnya, ada sosok Daeng Soetigna (alm) yang disebut-sebut sebagai "Bapak Angklung Dunia."  Nah, Saung Angklung ini adalah upaya Mang Udjo untuk mewujudkan pesan Daeng Soetigna agar meneruskan misi memperkenalkan angklung ke seluruh dunia, bukan semata-mata untuk melestarikan budaya tapi untuk ikut mendorong terciptanya perdamaian dunia. Sebuah cita-cita mulia, mengingat di zaman sekarang ini perdamaian dunia menjadi hal yang terasa sulit terjangkau.

Selain sebagai obyek wisata, Saung Angklung Mang Udjo juga menjadi
laboratorium pendidikan. Satu hal yang mengesankan, Saung Angklung ini dibangun dan bisa bertahan hingga sekarang atas gotong royong sesama warga. Selain itu,  mereka juga melibatkan anak-anak dan remaja dalam semua pertunjukkan seni yang ditampilkan. Keren.



Waktu dua jam terasa begitu cepat. Usai main angklung bersama, acara
ditutup dengan menari bersama. Enggan rasanya meninggalkan keceriaan dan kemeriahan sore itu. Pengunjung, satu per satu meninggalkan ampiteater mini itu dan beralih menyerbu toko souvenir yang saya lewati tadi. Belanja ... sudah pasti dong 

Di atas bis yang membawa saya kembali ke Jakarta,  terasa masih terngiang-ngiang alunan merdu suara angklung Saung Mang Udjo mengalunkan lagu-lagu masa kecil;

Burung Kakatua
Hinggap di Jendela

Nenek sudah tua
giginya tinggal dua
Ledrum ...
Ledrum ... Ledrum  la ... la...la ...


Suatu saat saya harus kembali ke sana, ke Saung Angklung Mang Udjo.
Ada yang mau ikut?



Bahasaku Bahasa Indonesia, Bahasamu Apa ...?


Masih ingat dengan Pak Anton M. Moeliono? Setelah berpuluh-puluh tahun baru hari itu saya berkesempatan melihat sosoknya secara langsung. Padahal sejak SD sampai SMP,  saya sudah menjadi penggemar acaranya "Pembinaan Bahasa Indonesia" yang ditayangkan TVRI, satu-satunya stasiun televi
si di Indonesia kala itu.

Hari itu beliau menjadi salah satu pembicara diskusi bahasa Indonesia di Lantai 19, Gedung LKBN Antara. Meski rambutnya sudah memutih dan jalannya sudah dibantu dengan tongkat,  Pak Anton dengan suaranya yang khas, masih semangat
membahas masalah-masalah bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia yang bermasalah.

Banyak hal menarik yang dipaparkannya tentang kondisi
masyarakat Indonesia saat ini terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia. Ia mengatakan, budaya tulis dan baca masyarakat Indonesia yang relatif rendah menyebabkan kemampuan berbahasa masyarakat kita juga rendah, baik dalam ragam bahasa tulis maupun bahasa lisan, bahasa formal yang resmi dan bahasa sehari-hari. Padahal, kata Pak Anton, sejarah umat manusia membuktikan bahwa perkembangan kecerdasan sebuah bangsa berhubungan erat dengan perkembangan bahasanya.

Ia mencontohkan Bahasa Arab yang pada zaman Dinasti Abbasiyah menjadi bahasa yang mendunia karena pada masa itu
lahir tokoh-tokoh ilmuwan Arab Muslim di bidang filsafat, kedokteran, kimia, aljabar, botani dan cabang keilmuan lainnya. Selanjutnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang berkembang di negara-negara berbahasa Inggris, menjadikan bahasa itu menjadi bahasa dunia. Sedangkan bahasa Indonesia, jangankan menjadi bahasa dunia, sebagai bahasa nasional saja bahasa Indonesia seolah "hidup segan mati tak mau". 

Sebagian masyarakat kita belum sepenuhnya menyadari pentingnya menggunakan apalagi melestarikan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Arus budaya asing dan perkembangan teknologi tanpa sadar
menggerus penggunaan bahasa Indonesia di tengah masyarakat. Contohnya, dalam bahasa sehari-hari, kita lebih sering menggunakan kata "meeting" untuk rapat,  "thank" untuk terima kasih, upload untuk mengunggah, download untuk mengunduh, hape untuk ponsel, atau media massa, masih banyak yang lebih senang menggunakan istilah asing seperti "reshuffle",  "bail-out" dan sejenisnya. Di televisi, kita masih sering mendengar kata "headline news" atau "break" sebagai pengganti kata jeda iklan atau yang lebih ekstrim, kita sering mendengar anak-anak muda sekarang  menggunakan kata "lebay", "jablai" (yang oleh teman saya diplesetkan jadi jilbab melambai), alay, dan bahasa gaul lainnya.

Kata-kata itu kadang bercampur baur dalam kalimat. Sehingga muncul sindiran, orang Indonesia berbahasa Indonesia sama buruknya dengan ketika mereka menggunakan bahasa Inggris. Identitas pun seolah jadi tak jelas, bahasa Indonesia bukan,
bahasa Inggris pun bukan.

Kebingungan masyarakat (dan juga media massa?) juga terjadi dalam penggunaan nama-nama geografi. Misalnya, Ciledug atau Cileduk, Nagrek atau Nagreg, Yogya atau Jogja? Kita mungkin
lebih sering menyebut Jogja daripada Yogya, padahal yang benar adalah Yogya dari kata Yogyakarta. Kata Yogya diganti dengan Jogja pada tahun 2001 oleh pemerintah daerah setempat setelah menyewa jasa konsultan pemasaran. Kata Jogja dianggap lebih "menjual" untuk keperluan pariwisata, tapi sejauh mana perubahan nama itu berpengaruh pada peningkatan kunjungan wisata ke Jogja? Tentu masih banyak faktor lain yang berperan dan bukan hanya sekedar perubahan nama.

Yang jadi persoalan, mengapa sebuah pemerintahan daerah bisa
dengan gampangnya mengubah sebuah nama geografi, padahal Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 menyebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia dan ayat b pasal tersebut mengatakan, bahwa untuk nama geografi hanya ada satu nama resmi.


Media Massa dan Dilema Berbahasa



Penggunaan dan penguasaan bahasa Indonesia yang masih buruk di tengah masyarakat, kata Anton M. Moeliono tidak lepas dari kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini dimana kelompok "masyarakat kritis" jumlahnya masih jauh lebih besar. Mereka adalah kelompok masyarakat yang latar belakang pendidikannya SMA ke bawah. Pakar bahasa Indonesia mengungkapkan, angkatan kerja di Indonesia 65 persen tamatan SD atau kurang, 20 persen tamatan sekolah lanjutan atau kurang, cuma 10 persen yang  lulusan perguruan tinggidan masih ada kalangan masyarakat yang buta huruf (niraksarawan) sekitar 5 persen atau 11,5 juta orang.


Media massa, lanjut Anton, salah satu fungsinya adalah mencerdaskan masyarakat. Itulah sebabnya, media massa semestinya menjalankan fungsi itu dan dalam kaitannya dengan perkembangan bahasa Indonesia, media massa harus menjadi teladan dan anutan masyarakat dalam penerapan norma dan kaidah berbahasa Indonesia.

Kita mungkin sering melihat media-media massa menggunakan bahasa-bahasa yang sebenarnya tidak baku dengan alasan agar komunikatif (baca:mudah dimengerti segmen pembacanya), entah itu bahasa gaul atau bahasa asing.

"Jangan dengan alasan agar lebih komunikatif, media jadi meninggalkan bahasa yang cendikia. Apalah artinya menjadi komunikatif jika membiarkan masyarakat tetap bodoh dalam berbahasa," tukas Anton.

Di sisi lain, dunia modern memicu munculnya kata-kata baru (terutama istilah-istilah asing) yang masih sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia.  Kalaupun ada, padanannya terdengar sangat asing dan "aneh" untuk digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Contohnya, kata "email", yang sudah ada padanan katanya "surat elektronik" atau "surel", tapi tokh kebanyakan kita cenderung menggunakan kata "email", atau kata "online" yang padanan katanya "dalam jaringan" atau "daring".

Menanggapi masalah ini, Anton mengatakan bahwa masyarakat jangan terlalu bergantung pada Pusat Bahasa untuk mencari padanan-padanan kata-kata baru, karena masyarakat juga bisa berperan untuk menemukan padanan-padanan tersebut. Tentu saja sebuah masyarakat yang cerdas akan kreatif menemukan padanan-padanan kata yang "bagus"  sesuai kaidah bahasa Indonesia dan bukan cuma "kreatif" sebatas menemukan kata-kata seperti "lebai", "alay", "jablai, "semok",  karena Bahasa Menunjukkan Bangsa. Siapa lagi yang akan melestarikan bahasa Indonesia--yang diamanatkan oleh para pejuang kemerdekaan--kalau bukan kita, yang mengaku orang Indonesia.


*** Sebuah catatan dari diskusi "Bahasa Jurnalistik: Mendorong Media Massa Memahami Bahasa Indonesia Lebih Baik", LKBN Antara dan Forum Bahasa Media Massa", Kamis (29 Juli 2010).

Sunday, August 1, 2010

Ulang Tahun MPID Tak Sekedar Pesta


Yang namanya ulang tahun pasti ada keriaan dan kegembiraan. Suasana seperti itulah yang selalu tercipta setiap "pesta" ulang tahun Multiply
Indonesia (MPID). Dan pada hari Sabtu, 31 Juli 2010,  para blogger multiply kumpul lagi merayakan ulang tahun MPID, bertempat di TK Buana Kids di kawasan Buncit Indah.
Seru ... sudah pasti. Karena yang datang bukan hanya dari Jakarta tapi juga luar daerah dan luar negeri.  Jadilah acara akhir pekan kemarin
sebagai ajang kumpul-kumpul, melepas kangen dan berjumpa teman baru. Cuma itu? Ya enggak dong ...


Ada bazaar, dongeng untuk anak-anak, pameran foto, door prize menulis
mini fiksi dadakan dan launching buku dan diskusi kecil bersama teman-teman dari Multiply for Palestina (Mp4P) yang menghadirkan tamu Mr. Abdurrahim dari Palestina dan Pak Heri dari Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP). 



Di acara ini Mr Abdurrahim berbagi informasi tentang kondisi rakyat Palestina di bawah penjajahan Zionis Israel dan
bagaimana para blogger juga bisa ikut berperan dalam membantu perjuangan rakyat Palestina, tanpa perlu berangkat ke Palestina apalagi angkat senjata. Karena sebenarnya para blogger sudah punya senjata ampuh, yaitu  modem, komputer, keyboard dan rasa solidaritas pada mereka yang tertindas. Itu saja. Si Napoleon saja mengaku lebih takut pada ujung pena (zaman Napoleon belum ada komputer) daripada ujung pedang.



Eh, koq jadi ngelantur ngomongin Napoleon yah... Last but least, bukan
cuma peduli pada saudara-saudara yang jauh di Palestina, seperti biasanya, setiap ulang tahun, MPID juga menggelar kegiatan sosial dan hari Sabtu kemarin MPID mengundang dan memberikan bingkisan keperluan sekolah untuk anak-anak duafa.



So, ulang tahun MPID memang bukan cuma sekedar pestanya para blogger multiply tapi juga untuk berbagi pada sesama. Salut buat teman-teman Mp-ers. Selamat Ulang Tahun buat MPID,
semoga kebersamaan itu selalu ada ....