Monday, October 25, 2010

[Film] Seandainya Elizabeth Gilbert Seorang Muslim


Orang yang tidak memiliki pegangan hidup yang kuat  cenderung memiliki karakter yang lemah, mudah bingung, tak tahu untuk apa ia hidup dan tak tahu bagaimana ia harus mengisi kehidupannya, sehingga ia selalu merasa gelisah,  gamang  ketika menghadapi masalah dan merasa hidupnya tidak bahagia sampai harus mencari kebahagiaan itu, meski dengan biaya mahal.


Mudah-mudahan kalimat pembuka di atas tidak terkesan menggurui atau sok tahu. Kita semua, pada suatu masa  pasti pernah merasakan hal di atas, dengan kadar berbeda dan setiap orang juga berbeda dalam menyikapi dan mencari solusinya. Serius banget yah ....

Tapi persoalan semacam ini memang sangat serius dan kabarnya dialami banyak perempuan di negara-negara Barat yang tak kuat menghadapi tekanan hidup,  sementara kita tahu, gaya hidup dan budaya mereka cenderung jauh dari ajaran agama. Tak heran ketika Elizabeth Gilbert menerbitkan bukunya berjudul "Eat Pray Love", buku berisi pengalaman pribadi Gilbert itu laris manis, bahkan dalam waktu seminggu setelah terbit, buku itu terjual 35.000 copy ... wow, fantastis !

Melihat ada peluang "bisnis" dari buku yang fenomenal itu, sutradara Ryan Murphy mengangkat kisah nyata Gilbert ke layar lebar dengan judul sama dengan bukunya. Sosok Gilbert diperankan oleh aktris cantik berbibir seksi Julia Roberts. Di Indonesia, film ini jadi begitu mengundang rasa ingin tahu karena Bali dijadikan salah satu lokasi syuting sesuai kisah di buku itu. Kita tentu masih ingat euforia dan pemberitaan "gempar" kedatangan Julia Roberts dan syuting film itu di Bali yang bikin ribet banyak orang. Kabarnya sebuah lokasi pantai di Bali harus ditutup seharian untuk umum, gara-gara mengambil scene Julia Roberts sedang berenang. Yang membuat film ini ditunggu pecinta film di Indonesia, mungkin juga keterlibatan orang Indonesia, antara lain aktris Christine Hakim dalam film tersebut.

Intinya, "Eat Pray Love" bercerita tentang tipikal seorang perempuan Amerika yang sukses, memiliki kehidupan yang mapan, bisa  jalan-jalan keliling dunia dan memiliki seorang suami yang sangat mencintainya. Tapi semua itu ternyata tak membuatnya bahagia. Ia selalu merasa gelisah menjalani kehidupannya dan selalu ingin melarikan diri dari kegundahan hatinya. Tanpa alasan yang jelas, ia lalu menceraikan suaminya dan memilih pergi ke tempat yang ia anggap bisa menemukan kebahagian disana dan memuaskan semua keinginan hatinya. Ia pergi ke Italia untuk menikmati makanan enak, lalu ke India untuk belajar yoga dan meditasi,  terakhir ia terdampar di Bali dan di Pulau Dewata inilah Gilbert mendapatkan cinta baru. Sampai di situ, film "Eat Pray Love" selesai.

Adakah yang istimewa dari film ini? Menurut saya sih secara keseluruhan film ini biasa-biasa saja. Cukuplah untuk melepas kerinduan pada akting dan tawa renyah si "Pretty Woman". Tapi selalu ada hikmah yang bisa diambil dari pengalaman hidup orang lain bukan? Saya membayangkan jika Gilbert seorang muslim, tentu ia tidak akan sedemikian merana menghadapi kebingungan dalam hidupnya, tanpa harus pergi ke Italia bahkan ke dukun untuk mencari kebahagiaan dan ketenagan jiwa.  Karena bagi seorang muslim, pegangan hidupnya sudah jelas, Al-Quran dan Hadis yang menjadi tuntunan buat mereka dalam menjalani kehidupan ini, agar tidak tersesat dan tidak bingung harus berbuat apa ketika tertimpa masalah atau ketika hati sedang gundah, yang memberikan petunjuk untuk apa sebenarnya kita hidup dan bagaimana mengisi kehidupan itu, yang mengajarkan bahwa kebahagiaan itu tidak bisa dicari tapi kita ciptakan sendiri.

Seorang Gilbert seperti tak mengenal dirinya sendirinya bahkan kehilangan jati dirinya, karena tak punya pegangan hidup yang kuat yang memberinya petunjuk soal makna dan tujuan hidup ini. Ia hanya bicara pada Tuhan saat sedang sedih (itupun di kamar mandi) dan tak mampu bersyukur atas kemapanan yang telah dianugerahkan Tuhan untuknya.

Jadi beruntunglah kita sebagai muslim, khususnya musimah, yang diajarkan untuk ikhlas, sabar dan bersyukur dengan apapun yang menimpa kita. Sehingga, ketika kita menghadapi persoalan seberat apapun, kita tahu kemana kita harus berpaling dan kita sudah punya pegangan kuat yang menjadi petunjuk bagaimana kita harus menyikapi dan menyelesaikan persoalan itu.

Kalau banyak duit seperti Gilbert sih No Problemo mau jalan-jalan kemana dan pengen makan apa saja, tapi tak semua orang seberuntung Gilbert dalam hal materi. Bisa bunuh diri deh kalo gak kuat iman. Satu hal lagi yang penting dari pengalaman hidup Gilbert,  bahwa kekayaan materi bukan jaminan hidup bahagia.

Selamat menonton ...


Thursday, October 21, 2010

[Cerita Minimalis] "Enggak, Makan Di Sini Aja"


Seorang mas-mas datang ke sebuah toko bangunan.  Seorang pelayan toko pun melayaninya ...


pelayan : mau cari apa mas, bisa saya bantu?

mas-mas : saya mau beli paku beton, ada?

pelayan: ohhh, ada mas. mau beli berapa banyak?

mas-mas: sekilo aja ...

pelayan: pakunya dibungkus mas?

mas-mas: enggakkk .... makan di sini aja ...

pelayan: *#($)%)%*#&@&!&!*(#())$*&#$%%


(cerita Shahnaz Haque di Delta FM, yang bikin saya mesem-mesem sendiri)


[Curhat Colongan] Menuntut Bukannya Nuansa ...

Mau sharing aja nih..." kalau masy umum seperti mahasiswa terkena tindakan fisik aparat, spt kena pukul or tembakan, kan dianggap korban pelanggaran HAM oleh aparat, trus kalau aparat negara yang terkena pukulan atau bom molotov mahasiswa, bisa juga ngak dikatakan korban pelanggaran HAM oleh mahasiswa?"

Begitu status sahabat saya olivia di facebooknya. Saya pun langsung tergelitik mengomentarinya, dan komentar saya ;

dua-duanya jelas pelanggaran. mahasiswa, aktivis, atau apalah namanya, kalau dah jumwa mau mengkritik pemerintah seharusnya siap menghadapi resiko ketembak, kepentung dan sejenisnya, itu namanya pejuang sejati, kalau kesenggol dikit sama aparat dah menyek-menyek merasa ham nya dilanggar ... yah ke laut ajah deh ...

Kenapa saya tekankan pada mahasiswanya, bukan aparatnya? Dalam setiap aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa yang berakhir bentrokan dengan aparat, jik
a jatuh korban di pihak pengunjuk rasa, aparat memang selalu kambing hitam. Terlepas dari apakah si aparat memang menyalahi prosedur penanganan terhadap para pengunjuk rasa yang rusuh, tapi dari pengalaman saya saat masih di lapangan dan meliput aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa di era '98 dulu, kadang polah mahasiswa yang provokatif yang memicu terjadinya bentrokan. Tentu saja tidak semua kasus unjuk rasa mahasiswa seperti itu. Tapi bisa dipastikan, setiap terjadi bentrokan dan ada korban, pihak aparat lah yang paling dipojokkan, meski di pihak aparat pun ada yang jadi korban kebrutalan para mahasiswa yang berunjuk rasa. Kalau sudah begitu, para mahasiswa yang menjadi korban, merasa menjadi pihak yang paling dizalimi oleh aparat.

Sama hal nya dengan aksi-aksi mahasiswa dalam gerakan 20 Oktober
kemarin yang mengkritisi setahun pemerintahan EsBeYe. Aksi unjuk rasa yang dijanjikan damai, di sejumlah tempat termasuk di Jakarta, berakhir dengan bentrokan dengan aparat bahkan tindakan anarkis para pengunjuk rasa dari kalangan mahasiswa. Di televisi saya menyaksikan bagaimana mereka merusak fasiitas-fasilitas umum, merusak mobil-mobil milik warga, menimpuki aparat dengan batu hanya karena merasa hak mereka untuk menyampaikan kritik pada pemerintah dihalang-halangi aparat. Apakah aksi unjuk rasa seperti itu yang diinginkan mereka? Terus terang saya sungguh tidak simpati.

Dan seperti biasanya, para mahasiswa menuding aparat sudah bertindak berlebihan dan mereka menjadi pihak yang merasa hak-hak asasinya sudah dilanggar. Apalagi ketika ada rekan mereka (demo di Jakarta) yang
kemudian menjadi korban, terkena tembakan aparat. Jadilah para mahasiswa itu merasa sudah seperti "hero", martir,

Saya sempat termangu, menyaksikan berita di televisi semalam, saat dokter ahli forensik Mun'im Idris memberi keterangan bahwa mahasiswa yang
menjadi korban dalam aksi unjuk rasa 20 Oktober kemarin memang terkena pantulan tembakan yang membuatnya mengalami luka-luka. Begitu dokter Nu'im mengatakan hal itu, langsung disambut tepuk tangan sejumlah mahasiswa yang kelihatannya hadir dalam acara itu.

"Loh, temennya ketembak koq malah tepuk tangan ya,"  kata saya dalam hati.Kesannya mereka bangga sudah melakukan sesuatu heroik,  sudah berani mengorban "jiwa raga" dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap rakyat dan demi bangsa ini. Oh ya? rakyat yang mana ya ...
saya pribadi tidak merasa terwakili oleh aksi kemarin, apalagi begitu melihat aksi mahasiswa yang anarkis.

Skeptis? Ya, saya memang skeptis.  Bagaimana saya bisa percaya dengan aksi mahasiswa yang katanya membela rakyat, sementara di saat yang sa
ma, saya masih sering melihat mereka tawuran antar teman sekampus hanya karena dipicu masalah sepele. Mahasiswa yang terpelajar, pasti akan bersuara vokal dan tidak tidak akan memilih cara-cara kekerasan. Belajar dari pengalaman meliput tahun '98 dulu, belum tentu juga mahasiswa yang aktif berdemo akan konsisten dengan idealismenya, apalagi kalau sudah jadi pejabat negara, sama saja ! Mereka yang memilih konsisten ... minggir atau terpinggirkan dan terlupakan.

Aksi unjuk rasa untuk mengkritisi pemerintah memang penting. Gunakanlah cara-cara yang simpatik, sehingga rakyat yakin bahwa aksi-aksi itu memang untuk kepentingan rakyat. Tanpa bermaksud membela siapa pun dan tan
pa bermaksud sinis, buat adik-adik mahasiswa, sebelum mengecam dan mengkritik pihak lain, cobalah introspeksi ke dalam dulu, masih ada tuh rekan-rekan kalian yang masih suka tawuran antar teman, yang jelas-jelas jadi bikin repot aparat.

Untuk sementara, saya lebih respek sama mahasiswa yang tekun dengan kegiatan akademisnya dan mampu mengharumkan nama bangsa ini di dunia internasional karena prestasi akademisnya, meski mereka tidak pernah
berunjuk rasa dan berkoar-koar di jalan mengatasnamakan rakyat.

Ah, saya pun jadi teringat petikan syair lagu "Pemuda" yang dinyanyikan Caseiro:
........
Pemuda, mengapa wajahmu tersirat
Dengan pena yang bertinta belang
Cerminan tindakan akan perpecahan
Bersihkanlah nodamu semua
Masa depan yang akan tiba
Menuntut bukannya nuansa
Yang selalu menabirimu pemuda





Tuesday, October 19, 2010

Tak Berjudul


dalam lelapku
aku melihat kematian
nyala api
lalu ....
nama-Mu jelas tertulis di sana
di langit yang biru

adakah itu
bagian dari takdir ku?

tak ada lain yang kuharap
selain pertemuan indah dengan-Mu

Ya Rabb
...

anugerahkanlah untukku
kekuatan iman
ketakwaan
dan
kesabaran
....