Monday, October 31, 2011

Merry Riana dan Agustinus Wibowo, Sebuah Kebetulan?


"Buat saya, apa yang terjadi selama perjalanan tidak ada yang kebetulan, semuanya sudah diatur oleh Tuhan," begitu kira-kira yang diucapkan Agustinus Wibowo (AW), penulis catatan perjalanan (travel writer) yang belakangan ini namanya sedang berkibar setelah dua bukunya;  Selimut Debu dan Garis Batas diminati dan dipuji banyak pembaca buku di Indonesia.

AW mengucapkan kata-kata itu dalam acara bedah bukunya "Garis Batas" di kantor PBNU, Kramat, Kamis (27/10), Mendengarnya, saya spontan senyum sendiri, mengingat pengalaman satu hari itu yang buat saya seperti "serba kebetulan".  

Tadinya, tidak mungkin buat saya hadir ke acara itu, karena lokasi kantor yang cukup jauh dari PBNU. Tapi tiba-tiba Rabu malamnya, teman kantor minta saya ikut menghadiri peluncuran buku terbaru Merry Riana "Mimpi Sejuta Dollar" pada Kamis siang. Saya langsung mengiyakan, karena pikiran saya langsung melayang ke acara bedah buku AW, malam harinya. Jadi bisa sekalian jalan. Sebuah kebetulan ...?

Usai bedah buku Merry Riana, saya ragu untuk datang ke PBNU. Rasanya, bete juga kalo dateng sendirian. Dan sialnya, teman-teman yang biasa diajak "keluyuran" juga gak bisa karena ada tugas masing-masing dari redakturnya. Nyaris putus asa. Tapi langsung keingetan seorang teman mp yang katanya malem itu mau dateng ke bedah buku AW. Saya langsung sms, dan yeah .... akhirnya bener dia mau dateng. Akhirnya kita, saya dan mbak Ade--yang ternyata dateng sama Mbak Dee-- janjian ketemu di TKP (Tempat Kejadian Perkara bedah buku "Garis Batas" ). Kebetulan lagi?

Tapi "kebetulan" lainnya yang buat saya menarik, dua penulis yang saya jumpai satu hari itu ( tanpa bermaksud bawa-bawa ras ), Merry Riana dan Agustinus Wibowo, sama-sama keturunan etnis Tionghoa, sama-sama sedang naik daun karena bukunya sangat menginspirasi banyak orang dan laris manis di pasaran--bedanya, AW menulis buku catatan perjalanan, Merry menulis buku semacam buku motivator dan biografi--, dua-duanya juga memiliki pengalaman batin dan pengalaman hidup yang hampir serupa, meski dalam dimensi berbeda, sebagai seorang keturunan Tionghoa di Indonesia, dan sungguh yang membuat saya kagum, dua-duanya adalah orang-orang sukses yang rendah hati, tak pelit berbagi dan mampu menginspirasi banyak orang untuk tidak takut memiliki impian dan berjuang mewujudkan mimpi-mimpi itu.




Merry Riana mengawali suksesnya dengan "Mimpi Sejuta Dollar"  karena ia merasa bagaimana beratnya hidup dalam keterbatasan finansial.  Perempuan energik lulusan teknik elektro di Nanyang Technology University Singapura ini jatuh bangun sebelum akhirnya ia mampu mewujudkan impiannya mendapatkan penghasilan satu juta dollar (Singapura) yang ia sebuh sebagai "kebebasan finansial" sebelum usia 30 tahun.  Dan Merry mendapatkannya pada usia 26 tahun.


Meski kuliah di Singapura, Merry bukan berasal dari kalangan keluarga "berada".  Kerusuhan Mei '98, yang memaksanya meninggalkan Indonesia demi alasan keamanan, dan melanjutkan kuliah di Singapura dengan biaya pas-pasan dan pinjaman uang untuk pendidikan dari pemerintah Singapura.  

Di negeri Singa itu, Merry hidup prihatin karena ia hanya punya anggaran 10 dollar untuk memenuhi kebutuhan makannya selama seminggu. Untuk makan siang, Merry kadang hanya makan sekerat roti, yang ia santap di dalam toilet kampus, agar teman-temannya tidak tahu bahwa ia tidak mampu jajan di kantin.

Sambil kuliah, Merry mencoba berbagai pekerjaan sambilan, mulai dari penyebar brosur biro jodoh, bekerja di toko bunga, sampai menjadi pelayan hotel. Setelah memiliki tabungan dan mencoba bisnis, tapi banyak yang gagal, kesuksesan mulai diraihnya ketika ia memilih menjadi konsultan finansial dengan jumlah klien yang fantastis. Dan sekarang, Merry Riana menjadi menjadi orang Indonesia dan wirausaha yang dihormati di Singapura karena kesuksesannya.

Mimpinya sekarang adalah ingin menularkan kesuksesan finansialnya pada satu juta orang di Asia, terutama di Indonesia. Satu hal yang mengagumkan dari Merry adalah kecintaannya pada Indonesia, meski ia dulu harus pergi ke Singapura karena kerusuhan yang menimbulkan korban harta dan jiwa dari kalangan etnis Tionghoa.  Di sisi cover bukunya, "Mimpi Sejuta Dollar" ia menulis,  "you can take me out of from Indonesia, but you can never take Indonesia out of me".  (luv this words)

Kerja keras dan pantang menyerah, itulah kunci keberhasilan seorang Merry Riana, yang sedang menanti kelahiran anak keduanya. "Buat saya, tidak ada eskalator untuk mencapai kesuksesan, yang ada adalah tangga dan kita harus berkeringat untuk menaiki tangga tersebut," tandas Merry.

Dua buku Merry, "A Gift from A Friend" dan "Mimpi Sejuta Dollar" adalah dua buku best seller. "Mimpi Sejuta Dollar" bahkan dalam waktu dua minggu setelah diterbitkan, sudah dicetak ulang.

Lalu bagaimana dengan Agustinus Wibowo? sudah banyak yang nulis, tanya mbah google aja kali yeee. Tapi banyaklah yang bisa saya serap dari penuturan AW mulai dari pengalamannya selama melakukan perjalanan ke Afghanistan dan negara-negara Asia Tengah,  sampai ilmu soal travel writing. Siapa tahu, Allah Swt juga berbaik hati pada saya, memberi kesempatan untuk melihat buminya yang luas dan mentafakuri ciptaannya yang dahsyat di alam semesta raya (mulai lebay deh bahasanya, tanda tulisan harus segera diakhiri .... hehehe)

Yang jelas, bertemu dengan dua orang sukses dalam satu hari itu, mendengar cerita dan sharing pengalaman hidup mereka beserta "kebetulan-kebetulan" yang menyertainya, sungguh inspiratif.  Eh, bukan kebetulan kali, tapi memang perjalanan saya seharian itu memang sudah diatur-Nya. Semoga ada hikmahnya di kemudian hari, yang belum mampu saya lihat sekarang. Ngarep.

*maaf kalau tulisan ini rada ngalor ngidul gak jelas. karena cuma ingin menyalurkan hasrat nulis yang lagi kenceng.

Friday, October 28, 2011

Gerombolan Remaja Tanggung itu Ternyata Tukang Copet

" Dalam kondisi lelah dan lutut lemas, saya membatin, apakah saya harus menyalahkan generasi muda pencopet itu? Tak perlu dipertanyakan mereka belajar dari siapa .... "




Kamis (27/10), sekira jam 7 malam, saya menaiki kopaja dari Blok M yang ke arah Tanah Abang. Karena masih jam orang pulang kantor, bis tanggung berwarna putih hijau itu penuh dengan penumpang. Sebenarnya, saya agak ill-feel naik bis ini, karena saya tahu bis ini rawan copet. Tadinya, saya sudah beli karcis busway, tapi karena sedang terburu-buru dan saya melihat antrian busway yang mengular, saya keluar dari terminal busway dan mencari bis biasa saja dengan harapan bisa mengejar waktu.


Sadar rawan copet, makanya sejak melangkahkan kaki ke dalam bis itu, saya sudah ekstra waspada dan cari tempat duduk yang aman tentram, di pojok, tepat di barisan depan dekat pintu masuk. Karena penumpang sudah penuh, baik yang duduk maupun yang berdiri, bis pun melaju cepat. Saya memperhatikan setiap penumpang yang naik turun. Karena lebih banyak yang naik dibandingkan yang turun bis makin sesak.

Memasuki jalan Sudirman, tepat di depan gedung Depdiknas, naiklah segerombolan remaja lelaki, yang usianya antara 15-17 tahun.  Tadinya, saya pikir mereka segerombolan remaja biasa yang pulang main. Jadi saya tidak menaruh curiga. Kecurigaan saya muncul ketika salah satu dari mereka--kelihatannya yang umurnya paling tua--bergelagat aneh, mendesak-desak penumpang yang sudah penuh sesak sehingga penumpang yang mau turun jadi terhambat. Saya juga perhatikan segerombolan anak muda itu, terkesan sengaja bergerombol di depan pintu masuk bis. Perasaan saya mulai tak enak. Dan saya terus memperhatikan gelagat mereka dan satu orang yang mendesak-desak penumpang.

Insting saya terbukti, satu orang itu, saya lihat membuka resleting bagian depan tas gemblok--kayaknya tas laptop--seorang anak muda yang baru saja naik. Dalam hati, "Aduh ini orang, ceroboh banget di bis menyampirkan tas ke belakang."  Remaja tanggung itu terus merogoh-rogoh isi tas, tapi saya tidak jelas apakah ia berhasil mengambil sesuatu, karena pandangan saya terhalang oleh sesaknya penumpang.

Sebagian gerombolan itu yang jumlahnya sekira 6 orang remaja tanggung, turun di depan Benhil. Di sini, penumpang banyak yang turun, sehingga bisa agak kosong. Tak ada lagi penumpang yang berdiri. Ternyata masih ada dua remaja tanggung anggota rombongan itu yang masih ada di dalam bis, yang satu duduk di belakang sopir, yang satunya lagi terlihat sedang menelpon dengan menggunakan hp, saya jadi curiga remaja ini sedang calling-callingan dengan gerombolannya yang sudah turun duluan.

Melihat apa yang terjadi, saya gemas sekaligus miris, anak-anak remaja ini sudah berani melakukan tindak kriminal, jadi tukang copet !  Beberapa tahun belakangan ini, saya bekerja di daerah pinggiran, lebih sering naik angkot daripada naik bis dan jarang pula ke pusat kota. Dan saya benar-benar kaget melihat "pesat"nya kriminalitas di kota Jakarta, anak-anak remaja pun sudah jadi pencopet !

Dalam kondisi lelah dan lutut lemas, saya membatin, apakah saya harus menyalahkan generasi muda pencopet itu? Tak perlu dipertanyakan mereka belajar dari siapa, sementara setiap hari kita menyaksikan pemberitaan bagaimana generasi tua yang menjadi pejabat pemerintah di negeri ini, juga nyambi jadi tukang copet uang rakyat dan uang negara. Alangkah mirisnya negeri ini. Para pemuda (indonesia) mencopet satu hari menjelang hari Sumpah Pemuda.