Wednesday, November 30, 2011

Wisata Budaya Badui Batara, Jembatan Akar



Sabtu (26/11), persis jam 06.00 pagi, kereta commuter line yang membawa saya dari stasiun Lenteng Agung tiba di Stasiun Kota. Sepagi itu, stasiun tua peninggalan kolonial Belanda itu sudah ramai dengan para penumpang yang baru turun kereta atau yang sedang menunggu keberangkatan kereta.


Saya langsung bergabung dengan teman-teman yang sudah lebih dulu tiba dan berkumpul di tempat tunggu penumpang. Ya, hari itu, kami akan melakukan perjalanan ke kampung Batara sebuah perkampungan suku Baduy luar, di daerah Banten.

Saya semangat sekali mengikuti perjalanan ini. Selain karena memang saya belum pernah berkunjung ke Baduy luar,  juga untuk melepas kepenatan dan kejenuhan yang rasanya sudah membuncah akibat  rutinitas dan suasana kerja yang membuat saya kehilangan selera dan semangat.

Perjalanan pagi itu, akan dilanjutkan dengan kereta yang akan membawa kami ke stasiun Rangkas Bitung. Melihat kondisi kereta, mengingatkan saya pada kereta zaman perjuangan tahun '45 dulu, yang pernah saya lihat di film Janur Kuning, film tentang para pejuang Indonesia melawan penjajah Belanda. Kalau kata teman saya, itu namanya kereta "odong-odong". Kereta KRL l Jakarta-Bogor rasanya masih lebih bagus dan modern, dibandingkan kereta yang saya naiki ini.

Bangkunya yang memanjang berhadapan sepertinya terbuat dari bilahan papan yang dibungkus oleh bahan seperti karpet dari plastik berwarna hijau polos. Pintu keretanya entah kemana, sebagian jendela yang berbentuk persegi panjang kecil, ada yang bisa dibuka, dan ada yang macet alias gak bisa dibuka sama sekali.

Penumpang pagi itu lumayan padat, bercampur baur dengan para pedagang yang lalu lalang, mulai dari tukang rambutan, tukang mangga, pedagang asesoris, pedagang makanan dan minuman, dan di tengah perjalanan, dua ekor kambing berwarna putih pun ikut jadi penumpang.

Meski pengab, gerah dan bau asap rokok yang memusingkan kepala, buat saya pribadi, perjalanan selama hampir tiga jam sampai ke stasiun Rangkas Bitung, membuat saya tersadar, bahwa alat dan layanan transportasi bahkan ke daerah yang tak jauh dari ibukota negara, ternyata masih sangat amat memprihatinkan. Bagi rakyat kecil, jauh dari kenyamanan.

Dari stasiun Rangkas Bitung, rombongan kami yang berjumlah sekira 30 orang, melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil jenis elf. Perjalanan dengan minibus ini juga memakan waktu tiga jam lebih, melewati jalan kota yang lebar dan mulus, sampai ke jalan yang turun naik, berbatu dan beberapa bagian jalan yang agak rusak menuju ke desa tempat kami melepas lelah sejenak, salat, dan menikmati makan siang.

Perkampungan Baduy Luar



Usai makan siang. Perjalanan menuju perkampungan Baduy Luar (Desa Batara) dilanjutkan dengan jalan kaki. Jalan yang kami lalui kebanyakan menurun, berbatu-batu dan jalan setapak di mana di bagian sisinya, kadang merupakan jurang yang cukup dalam, dengan pepohonan yang tinggi dan ilalang. Selama perjalanan, saya menikmati pemandangan yang hijau dan asri, meski siang itu matahari begitu terik tanpa hembusan angin, membuat baju kami basah oleh keringat dan napas tersengal-sengal di bagian tanjakan.

Mendekati perkampungan Baduy Luar,  dari atas jalan setapak yang kami lalui, terlihat aliran sungai yang cukup lebar, dengan air yang lumayan bersih dan bebatuan besar. Suara gemuruh air sungai, bisa terdengar sampai kami menemui sebuah jembatan gantung yang sudah lumaya modern, dibuat dari besi dan kayu, yang menghubungkan dua sisi sungai. Di sebelah jembatan itu, masih ada jembatan lama yang terlihat sudah jarang digunakan,  terbuat dari bambu, dan ternyata masih bisa dilalui orang. Itulah pintu gerbang desa Batara, perkampungan Badui Luar.

Kesan pertama saya memasuki desa itu, suasana yang tenang, sederhana tapi rapi. Saya perkirakan, perkampungan itu berada di pinggir hutan.

Rumah-rumah suku Baduy hampir semuanya sebangun dan serupa. Berbentuk rumah panggung, tiang-tiangnya terbuat dari kayu, dindingnya terbuat dari bilik bambu, lantainya juga dari kayu, dan atapnya dari pelepah daun kelapa. Bagian rumah terdiri dari teras luar, bagian dalam berupa ruang terbuka yang cukup untuk tidur 10 orang, ada satu kamar berukuran kecil (khusus kamar untuk bapak ibu sepertinya) dan di bagian paling belakang adalah dapur sederhana dengan tungku kayu. Tapi, kalau saya perhatikan, rumah-rumah itu dibuat dengan demikian rapi, tidak sembarang. Saya melihat langit-langit rumahnya pun sangat rapi.  Tapi tak ada jendela di semua rumah suku Baduy Luar.

Rumah-rumah di perkampungan Baduy luar itu tertata rapi, berbaris memanjang, saling berhadapan, yang hanya dipisahkan jalan setapak bebatuan, selebar kurang lebih 1,5 meter. Tak ada perabotan rumah seperti sofa atau kursi. Di rumah yang saya tempati, cuma ada sebuah bufet kayu sederhana yang kosong. Tak ada hiasan dalam rumah. Tak ada listrik. Sumber penerangan di malam hari cuma lampu sentir, lampu minyak tanah kecil (tanpa semprong). Yang saya salut, lingkungannya begitu bersih. Saya sama sekali tak melihat tumpukan sampah atau sampah yang bertebaran. Yang saya lihat cuma ayam-ayam peliharaan yang berkeliaran. Untuk mandi dan cuci, warga Badui Luar memanfaatkan kali yang mengalir tepat disi sisi perkampungan mereka, atau ke pancuran yang jaraknya lumayan jauh.



Oh ya, di bagian depan perkampungan, ada rumah-rumah panggung yang ukurannya lebih kecil, yang ternyata lumbung padi. Warga desa, masih menumbuk padi sendiri. Saya sempat melihat seorang ibu menumbuk padi, dan anak perempuannya yang kira-kira masih berumur 6-7 tahun, menampih beras yang suduh ditumbuk. Buliran padi yang saya lihat berwarna coklat tua kusam. Sahabat saya bilang, padi-padi yang tersimpan di dalam rumah lumbung usianya bisa puluhan tahun. Gimana rasanya? apek kah? Saya tidak tahu, karena selama satu hari satu malam di perkampungan Badui luar, saya dan teman-teman cuma makan mie instan ... :) :)

Meski demikian, suku Baduy Luar sudah dianggap lebih "modern". Karena ada warga yang sudah punya "kamar mandi" sendiri. Kamar mandi yang pernah saya gunakan, terpisah dari rumah utama, ukurannya kecil, terbuat dari bambu yang disusun jarang-jarang ( bikin kita gelisah, kalo ada orang lewat, pasti bisa melihat ke dalam kamar mandi), dan atapnya rendah. Jadi kalo mau mandi, cuma bisa jongkok ajah.

Kenapa dibilang sudah "agak modern", karena di perkampungan Badui Luar juga ada warung, meski cuma satu-satunya warung di desa itu. Mungkin karena sering banyak orang yang datang berkunjung, warung itu dibuka, sehingga pengunjung yang pengen ngopi-ngopi bisa datang ke warung itu.

Jembatan Akar



Hujan turun tak lama kami tiba di perkampungan, memberi kami kesempatan untuk meluruskan kaki sejenak setelah dua setengah jam lebih berjalan kaki. Begitu hujan reda. Kami diajak ke jembatan akar. Jaraknya lumayan jauh dari perkampungan. Masuk ke dalam hutan, menyusuri jalan setapak yang menanjak dan menurun. Di beberapa bagian, jalan setapak yang dilalui hanya bisa dilewati satu orang, kondisi jalan ada yang  turun curam, dan licin akibat siraman hujan, sementara di sisi jalan, terdapat jurang yang cukup dalam. Yang tidak biasa treking, pasti kesulitan melintasi medan jalan seperti itu. Kalau tidak hati-hati, atau dibantu pegangan teman, bisa-bisa tergelincir.

Setelah melalui jalan yang menguras energi dan menguji nyali saya itu, akhirnya jembatan akar sudah di depan mata. Jembatan itu benar-benar terbuat dari akar pohon yang menjuntai dan terjalin secara alamiah, membentang di atas sungai yang kali ini aliran airnya lumayan deras. Untaian akar itu, dilengkapi dengan bambu sebagai tempat berjalan untuk menyeberang dari ujung sungai yang satu ke ujung yang lain. Sempat ragu dan terbesit rasa takut melewati jembatan itu. Gimana kalo akarnya gak kuat menahan beban kami yang lewat.  Tapi rasa ingin tahu, menguatkan hati saya untuk melintasi jembatan akar yang kalo dilewati bergoyang-goyang itu.  Apalagi melihat rombongan pertama yang lebih dulu sampai sudah asik berenang dan main air di sungai. Mengingatkan saya pada Lenteng Agung tempo doeloe, ketika penduduknya belum begitu padat.

Saya yang waktu itu masih SD, masih sering main di pinggiran kali Ciliwung. Sekedar mandi ke pancuran, menontong anak-anak kampung yang berlompatan dari dahan pohon menceburkan diri ke sungai, sambil sesekali melihat "getek" lewat, atau ke kebun jambu air di pinggiran sungai, membuka bekal makanan dari rumah, makan rame-rame sama teman-teman, mirip piknik deh pokoknya.  Sayang, hal semacam itu tak lagi bisa dinikmati.  Seiring dengan padatnya pendatang dan kehidupan modern. Orang lebih senang membuat kamar mandi sendiri. Mushola di pinggir kali, pancuran, dan tepian kali tak lagi riuh setiap pagi dan sore oleh ibu-ibu yang mencuci baju atau anak kampung yang berenang di kali. Kebun jambu air tempat kami piknik dulu, sekarang sudah dipadati rumah penduduk. Pinggiran kali yang sunyi, makin mengerikan karena menjadi "tempat sampah" tak resmi warga.  ironis.



Hujan yang tiba-tiba turun, mengusik kenangan masa kecil saya di pinggir kali jembatan akar itu. Kami semua segera bergegas meninggalkan sungai. Kembali melewati jembatan akar menuju perkampungan di bawah siraman hujan. Menjelang sore, kami baru sampai. Langsung mandi? Tentu saja, tapi mandi dengan tisu basah karena banyak diantara kami yang tak terbiasa mandi di kali atau di pancuran, di tempat terbuka. Mandi tisu basah masih berlanjut keesokan harinya sampai menjelang pulang pada Minggu siang.

Saya memang tidak ikut perjalanan hari Minggu, ke perkampuan suku Baduy yang akan naik ke atas, ke desa Cisaban. Terus terang mendengar jauh dan kondisi jalannya, saya cukup tahu diri untuk tidak memaksakan diri ikut treking ke desa itu. Akhirnya, sebagian dari kami yang memilih tidak ikut, bisa menikmati kopi susu di warung sambil menikmati durian yang sedang musim, dan rasanya uennakkk itu. Sayang gak bawa tupperware gede, buat bawa oleh-oleh durian.

Meski sangat melelahkan, perjalanan akhir pekan kemarin, setidaknya membuat pikiran saya segar kembali. Meski dua hari cuma mandi tisu basah, dan sempet mendapat "hadiah"  kaki ketelingsut sampe bengkak, waktu turun dari angkot, hanya tinggal beberapa langkah dari rumah. Di satu sisi, saya menikmati bau alam dan kehidupan yang sederhana dan serba terbatas. Di sisi lain, saya bersyukur bisa menikmati kehidupan dengan segala kemudahan yang ada.

all pic here

Wednesday, November 23, 2011

Dahsyatnya Senyum



senyum mengindetikkan keramahan

makanya mereka yang diberkahi sifat murah senyum
pasti disukai dan dicintai banyak orang
dahsyatnya senyum digambarkan dalam kata bijak ;




"Smiling is infectious,
You can catch it like the flu.
Someone smiled at me today,
And I started smiling too"






















berbahagialah orang-orang yang memiliki tipikal wajah senyum

yang wajahnya biasa saja, murah hatilah untuk memberi senyum
karena senyum itu termasuk amal ibadah





dan aku tersenyum melihat wajah senyumnya

orang menjulukinya si "Mr Smile"
yang senyum dan wajahnya bukan hanya menggetarkan tiang gawang, tapi juga menggetarkan publik Asia Tenggara
dalam ajang Sea Games ke XXVI di Jakarta-Palembang

siapa lagi kalau bukan wasit sepakbola asal Korea Selatan

KIM JONG Hyeok ... saranghe uppa ...




*gelombang halliyu di Indonesia memang dahsyat, mulai dari drama korea, boy-girl band korea, sampai wasit sepakbola korea ....


pic from HERE