Thursday, May 31, 2012

Korean Traditional Craft Class ( 한곡 전통 공예 교실 )

Minggu 1: Gelang "Jang Myung Roo"




Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga pengen belajar membuat kerajinan tangan khas Korea. Kelas kerajinan tangan ini merupakan bagian dari program yang ditawarkan Pusat Kebudayaan Korea di Jakarta pada masyarakat Indonesia, yang diberikan secara gratis selama tiga bulan, dengan pertemuan satu kali seminggu. Seingat saya, ini adalah program kedua dan setiap program hanya dibatasi lima orang saja.

Hari ini, Kamis (31/5) adalah pertemuan minggu pertama. Dari lima orang yang terdaftar, cuma empat orang yang hadir; saya, Debi, Rima dan Nadia. Pengajarnya orang Korea, masih muda dan cantik (wajahnya mengingatkan saya pada anggota-anggota girlband Korea), namanya 이고은 ( Lee Go Eun), beliau adalah peserta program  internship pemerintah Korea yang ditugaskan untuk mempromosikan kebudayaan Korea Selatan di Indonesia.  Bahasa pengantar di kelas Bahasa Inggris, karena Miss Go Eun (begitu saya memanggilnya) baru tiga bulan di Indonesia, dan baru bisa sepatah dua patah kata Indonesia.  Orangnya ramah dan sepertinya beliau juga sangat tertarik dengan segala hal tentang Indonesia.

Di minggu pertama ini, kami belajar membuat gelang tradisional khas Korea. Oh ya, untuk paket kursus ini temanya adalah "The Moon That Embraces The Sun",  salah satu judul drama Korea yang fenomenal dan mendapatkan rating tinggi di Korea.  Jadi, kerajinan yang akan dipelajari selama tiga bulan ke depan adalah kerajinan tangan tradisional yang ada dalam drama korea itu, salah satunya adalah gelang  "Jang Myung Roo" ini.

Menurut  Miss Go Eun, gelang ini merupakan salah satu kerajinan tangan tradisional yang biasa dibuat pada saat perayaan Dano (perayaan hari anak dalam tradisi Korea), dan diberikan pada anak-anak sebagai hadiah disertai doa dan harapan agar anak-anak itu selalu sehat dan mendapatkan kehidupan yang bahagia. Tradisi dan kerajinan tangan ini sebenarnya berasal China, dan juga dikenal di Jepang.  Meski masyarakat modern di Korea sudah tidak lagi memperingati Dano, tapi kerajinan  tangan membuat gelang  ini masih diajarkan di kalangan anak-anak sekolah di Korea.


Sekedar informasi, dalam tradisi Korea dikenal lima warna penting yaitu putih, biru, merah, hitam dan kuning, dan masing-masing warga memiliki filosofi masing-masing. Lima warna ini banyak mempengaruhi berbagai aspek budaya tradisional Korea, mulai dari arsitektur dan tentu saja kerajinan tangannya.




Untuk membuat gelang "Jang Myung Roo" diperlukan lima helai benang sulam dengan warna berbeda ( Miss Go Eun bilang, kalau ingin membuat kerajinan khas Korea perlu dipertimbangkan lima warga khas Korea yang saya ceritakan di atas. Tapi kalau untuk keperluan berkreasi saja, silahkan pilih warna yang disukai).

Panjang benang diukur sesuai ukuran pergelangan tangan. Lalu disusun sedemikian rupa, lalu dianyam dengan jari. Untuk membuat gelang ini butuh seorang teman yang memegang bagian benang lainnya saat kita menganyam. Saat menyusun benang, mesti hati-hati agar tidak berbelit dengan benang lain, dan mudah saat dianyam. Cara menganyam dengan jarinya pun unik. Jari-jari yang digunakan untuk menganyam adalah jari telunjuk, jari tengah dan jari manis. Cuma butuh ketekunan dan kesabaran untuk membuat gelang "Jang Myung Roo" ini. Kalau sudah jadi, hasilnya lucu dan manis, dan bisa dikreasi dengan hiasan lainnya. 




Wednesday, May 30, 2012

Ibu Guru, Sarangheyo .....

Namanya Maeng Miho ... beliau adalah guru bahasa Korea kelas saya di KCCI. Saya ingin sekedar menggoreskan pena untuk mengenangnya, karena buat saya ... ibu guru yang satu ini sungguh sangat berkesan. Bukan buat saya aja sih, tapi seluruh teman sekelas dan semua siswa yang kelasnya pernah diajarnya, ternyata memiliki kesan yang sama.

Ibarat kata, Bu Maeng Miho, yang membuat kami semua jadi melek aksara Korea. Meski bahasa Indonesianya belum begitu lancar, suka terbalik-balik seperti grammar bahasa Inggris, tapi kami bisa dengan mudah menangkap penjelasan yang diberikannya saat memberikan pelajaran bahasa Korea.

Tapi ...selain cara mengajarnya yang enak, mungkin karena beliau berlatar belakang guru TK, ibu guru yang satu ini juga bisa mengakrabkan diri dengan para siswanya, suka melucu, bercanda, yang membuat kami selalu merasa nyaman dan betah belajar, meski satu satu sesi pertemuan berlangsung selama hampir 4 jam. Belum lagi, beliau sering bercerita tentang kehidupan di Korea, bahkan tentang anak-anaknya, yang salah satunya sekarang sedang ikut wajib miiter di Korea.

Saking baiknya, beliau pernah membuatkan makanan khas Korea Topokki untuk kami sekelas. hohoho ... senangnya ..

Rasanya baru kali ini, saya ikut les bahasa, tapi merasa sayang banget kalau bolos, enggak sabar pengen ketemu di sesi berikutnya,  dan bertemu lagi dengan ibu guruku ini. Sedih rasanya waktu perpisahan .... mudah-mudahan, di kesempatan lain, di level selanjutnya ... saya bisa bertemu dengan beliau lagi.  Maeng Miho sonsaengnim .... sarangheyo ....

Sepenggal Cerita di Kantor Imigrasi

Baca pengalaman Ani Adami bikin paspor, jadi kepengen nulis juga pengalaman bikin paspor kemaren. Kali ini, saya mencoba memperbarui paspor di kantor imigrasi Depok. Selain deket dengan tempat tinggal, katanya di kantor imigrasi kelas II (baru tahu saya, kantor imigrasi ada kelas-kelasnya)  Depok tidak se-crowded kantor imigrasi Jakarta Selatan tempat saya biasa perpanjang paspor.

Ternyata betul sih, di kantor imigrasi Depok, pemohon paspor hanya dibatasi 100 orang setiap harinya. Dan hari itu, saya dapet nomor antrian 98. So, ngantri dari jam 10 pagi baru dipanggil sekira jam setengah empat sore. Lelah dan pusing ... sudah pasti. Apalagi selesai antrian nomor 97, tiba-tiba seorang ibu nyelonong ke loket 1 tempat saya seharusnya mengajukan berkas permohonan paspor. Glek ... itu ibu-ibu gak tahu apa yah, orang udah ngantri dari pagi.

Si penjaga loket sepertinya tahu saya sudah tidak sabar menunggu si ibu yang kayaknya demen banget ngobrol itu. Akhirnya dia memanggil nomor saya .... ahh, akhirnya. Sampai di depan loket .... oh, petugas imigrasinya masih muda banget dan cakep ternyata, wajahnya mirip pesinetron Baim Wong ...:)

Bukan cuma cakep, orangnya ternyata ramah banget, seneng rasanya ada pegawai publik yang sikapnya kayak gini. Rasa capek dan pusing pun karena ngantri seharian, langsung lenyap. Dia tersenyum menerima berkas permohonan paspor, dan memeriksanya satu per satu. Terus tersenyum lagi sambil nanya ...

"Boleh saya tahu, mau pergi kemana?"

Saya menjawab nama sebuah negara sambil tersenyum juga (hayaahh).

Dia senyum lagi. Nanya lagi, "Negara itu negara Timur Tengah bukan?"  (kayaknya mo nge-tes ilmu pengetahuan umum saya nih ...)

Saya juga senyum lagi, sambil jawab "bukan ..."  (karena orang memang suka salah paham dengan negara ini, mentang-mentang muka-muka orangnya kayak Arab, dianggapnya termasuk negara Timur Tengah).

Si petugas itu, tersenyum lagi sambil menganggukkan kepala setelah mendengar jawaban saya. Dia kembali memeriksa berkas saya.  Tak lama dia ngajak ngomong lagi ...

"Mbak, kalau boleh saya sarankan ... jangan mencantumkan pekerjaan wartawannya yah. Khawatirnya nanti Mbak nya ditolak masuk ke negara itu, meski tujuannya cuma buat jalan-jalan. Karena ada beberapa negara yang enggak suka dengan profesi wartawan. Lebih baik, tulis pegawai saja yang lebih umum ...." katanya, sambil tak lepas tersenyum. ( Hadeuuhh ni orang ....)

"Oh ... gitu ya. Tapi di surat pernyataan saya nulisnya pegawai kan ..." jawab saya mencoba menjelaskan.

Dia senyum lagi, "Tapi di KTP mbak ... nih liat, pekerjaannya wartawan ... " kali ini senyumnya melebar, nyaris tertawa kecil.

"Oh, iya ya ..." jawab saya, spechless.

Terus dia ngomong lagi, "Nih ... ya saya tunjukkin" (dia mencari-cari di tumpukan berkas, lalu mengambil sebuah berkas dalam amplop kuning, dan mengeluarkan sebuah paspor dari dalamnya)  kayak gini nih, di paspor dicantumin pekerjaannya wartawan (dia menunjukkan paspor seseorang)  Lebih baik jangan yah ... soalnya kemaren ada pengalaman wartawan yang visanya ditolak karena di paspor ditulis pekerjaannya wartawan ... daripada Mbaknya nanti kesulitan ... jadi saya kasih tahu aja, nanti pas wawancara bilang ke petugasnya untuk mencantumkan pekerjaan pegawai saja ya ..."  katanya panjang lebar, sambil lagi-lagi senyum dan senyum ....

"Ohhh, gitu ya mas, ok deh nanti saya bilang ... makasih yah ..." jawab saya.

Si mas-masnya senyum lagi. "Ok ... ini sudah selesai. Nanti Selasa balik lagi buat wawancara, pembayaran dan foto yah ..." katanya. senyum.

Saya pun tersenyum, sambil menerima tanda terima penyerahan berkas dari tangannya. Sambil mengucapkan terima kasih, sebelum berlalu dari loketnya.

"Terima kasih kembali ... ... "Eh ... mbak, botol minumnya ketinggalan nihhh ..." ujarnya ketika saya baru akan membalikkan badan.

"Eh ... iya, makasih mas ..." jawab saya, sambil tersenyum dan melihat senyumannya untuk yang terakhir kali.

Rasanya seperti dapet rezeki nomplok ketemu sama petugas publik yang ramah dan murah senyum kayak gini. Biasanya, kalau berurusan dengan petugas publik, entah itu kelurahan, apalagi imigrasi .... pelayanannya selalu gak ngenakin hati, gak ramah, apalagi murah senyum.

catatan penting lainnya, hmmmm ternyata wartawan masih jadi profesi menakutkan buat sejumlah negara yah .... ada-ada saja ....

Sunday, May 27, 2012

[The Journey] Cicaheum Cicalengka, Tegal Panjang Ternyata ...

Prolog


Antusias, begitu sahabat saya Desi Anita menawarkan ikut perjalanan ke Tegal Panjang, Gunung Papandayan, bersama teman-teman di MyQpala. Meski tebersit ragu, masih kuat gak yah jalan ke gunung yang notabene pasti banyak lintasan yang menanjak, apalagi entah sudah berapa (puluh) tahun enggak pernah ikutan naik gunung. Perjalanan terjauh kemarin cuma ke Baduy, yang sempet bikin kaki keseleo dan badan berasa remuk redam.

Keraguan berubah menjadi kegalauan karena tiba-tiba harus menjadi panitia walimahan teman yang menikah dadakan, dan acaranya nyaris berhimpitan dengan rencana perjalanan. Sempat memutuskan gak jadi ikut, khawatir pas acara walihaman saya bener-bener ambruk karena kecapean. Tapi membaca obrolan di group fb dan membrowsing informasi soal Tegal Panjang dan Gunung Papandayan, jauh di lubuk hati saya, pengennn ikuutttt ... apalagi  setelah seorang teman bilang kalu jalur perjalannya gak berat, karena pake jalur wisata .... (ternyata informasi itu menyesatkan, karena ternyata pake jalur melewati kebun teh dan nerabas hutan yang jaraknya lebih jauh ...)

Kegalauan bertambah, ketika lagi-lagi seorang teman bilang, "Yang namanya ke gunung itu gak bisa diprediksi lho. Rencananya dua hari bisa molor jadi tiga hari karena ada kejadian tak terduga, kesasar misalnya, atau karena kondisi cuaca."  ( Dan memang bener, acara "kesasar" saat mencari lembah Tegal Panjang, membuat beberapa rencana perjalanan yang sudah dibuat panitia jadi dirombak total ).

Saya akhirnya mengambil jalan tengah, antara ya dan tidak pergi, nama tidak dicantumkan di daftar peserta, dan berharap masih ada tenda perempuan yang masih bisa menampung satu orang. Tapi kegalauan itu ternyata belum usai .... gimana minta izinya yah, merasa gak enak aja, kalau-kalau terjadi sesuatu dan saya gak bisa memenuhi komitmen jadi panitia walimahan, apalagi itu walimahan sahabat baik saya.

Alhamdulillah, meski rada deg degan minta izinnya, sore hari menjelang keberangkatan dapet restu dari pihak-pihak bersangkutan, meski malem sebelumnya sempet galau sms-an soal ke gunung ini.

Finnally, pada Rabu (16/5) malam, satu jam sebelum menuju meeting point di pool bis Primajasa di kawasan UKI, saya baru packing ransel. Bismillah .... siap berangkat.

Jalan Panjang Menuju Tegal Panjang



Peserta perjalanan ke Tegal Panjang 23 orang, sembilan diantaranya perempuan. Berangkat dari pool bis Primajasa menuju Cileunyi sekira jam setengah sembilan malam. Perjalanan lancar jaya dan kami sampai di Cileunyi (turun di depan masjid Cileunyi) lewat tengah malam. Perjalanan dilanjutkan dengan angkot ke rumah seorang sahabat MyQpala, Kang Ruli, di kawasan Cicaheum untuk bermalam dan istirahat sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya.

Kamis (17/5) pagi, siap-siap berangkat lagi, dari tempat menginap, naik angkot ke terminal bis Cicaheum, dilanjutkan dengan angkot berikutnya ke terminal Tegal Lega (heran sama nasib gue, gak di jakarta gak di luar jakarta, selalu jadi angkoter) buat mencari mobil elf yang akan membawa kami ke kawasan Pangalengan.

Dari terminal Tegal Lega, kami menyewa dua mobil elf yang berjalan beriringan menuju target kami selanjutnya, desa Cibutarua, sebuah desa di ujung kawasan perkebungan teh Pangalengan. Perjalanan menuju desa ini yang asyik, sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan khas daerah pegunungan yang indah. Beruntung hari itu udara cerah, dari dalam elf, kami bisa merasakan hembusan hawa gunung yang segar meski agak panas, langit biru, lembah dan perbukitan yang hijau. Tapi memasuki kawasan kebun teh, jalannya sungguh aduhai, berkelok-kelok dengan kondisi jalan jauh dari mulus, berbatu-batu kasar, yang membuat penumpang nyaris terpental-pental di dalam elf selama kurang lebih dua jam. Kalah dah rute rally Paris-Dakkar !

Selepas dzuhur, sampailah kami di desa Cibutarua. Beristirahat sebentar, salat dan makan siang. Desa inilah yang menjadi titik keberangkatan sebelum memasuki kawasan hutan menuju Tegal Panjang. Menjelang sore, setelah briefing dan meregangkan otot-otot untuk persiapan jalan kaki, rombongan meneruskan perjalanan,  melintasi perkebunan teh yang luas, saking luasnya, dimana-mana yang terlihat cuma hijaunya pohon teh yang tingginya sepinggang orang dewasa. 




Lepas dari kebun teh, perjalan makin menanjak ke perbukitan dan muali memasuki kawasan hutan ( sisi barat Gunung Papandayan), ketika hari mulai gelap.  Menurut cerita yang pernah ke Papandayan, perjalanan melintasi hutan sampai ke Tegal Panjang, hanya butuh waktu 7 jam perjalanan. Tapi, entah kenapa, malam itu, setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih 6 jam melintasi hutan dengan pepohonan tinggi yang rapat dan semak yang lebat, tanda-tanda akan sampai ke Tegal Panjang sama sekali tak terlihat.

Hari semakin gelap, ditambah rintik-rintik hujan, membuat perjalanan menyusuri hutan yang sebenarnya lebih banyak landainya, daripada mendakinya ini, jadi agak berat karena di beberapa tempat jalannya agak licin, becek dan berlumpur yang dalamnya bisa sampai semata kaki. Beruntung dalam perjalanan kami melewati dua sungai yang lebarnya tidak lebih dari satu meter, dengan air yang dingin dan jernih. Jadi bisa sekalian mencelupkan kaki yang sudah berlumpur.  Tapi, meski sungai itu tergolong dangkal, arusnya cukup deras. Gemuruh airnya sudah bisa terdengar dari kejauhan.

Setelah hujan rintik-rintik tak turun lagi, di tengah gelapnya hutan, dari sela-sela ujung pepohonan, kami bisa menyaksikan taburan bintang di langit malam, menjadi penghiburan bagi kami yang sudah mulai lelah mencari si Tegal Panjang.

Malam itu, kami benar-benar tidak bisa menemukan Tegal Panjang, dengan kata lain "nyasar". GPS, peta, kompas, seolah "tak berfungsi". Sekira jam setengah sembilan malam, akhirnya diputuskan untuk nge-camp di tempat yang agak lapang, membuka tenda, sebagian ada yang masak, ada juga yang muntah-muntah karena mungkin masuk angin, akibat terkena rintik hujan, cuaca yang mulai dingin dan tubuh yang lelah.



**catatan: belakangan baru diketahui penyebab kami nyasar, terutama buat saya, desi dan amar, (tiga panitia walimahan yang nekad ikut trip Tegal Panjang ini). ternyata sang mempelai pria, konon mendoakan kami nyasar, hehehe. (tindakan ini membahayakan, jangan ditiru yah ... :):) )

Jadilah, malam Jumat itu kami menginap di tengah hutan yang basah. Menikmati tidur yang tak sempurna, karena hampir tiap jam mata terjaga. Saya satu tenda dengan Netri Yeni, Fakku, Desi dan Putri yang selalu jadi target "ceng-ceng" an Netri. Jam empat pagi, sempet-sempetnya adu argumentasi soal Pondok Saladah dan Garut, wkkkkkkk.....yang berujung pada obrolan ngalor ngidul gak jelas yang ngebangunin orang, sampe ada yang komplain "Jam empat pagi udah gosip !"   hehehehe.




Jumat (18/5) pagi, udara di sekitar kami nge-camp masih basah. Sebagian sudah ada yang sibuk membuat sarapan pagi dan menjerang air. Pagi itu, ada tim advanced yang dikirim untuk mencari "jalan yang benar" menuju Tegal Panjang. Alhamdulillah, kabar gembira pun datang. Sekira jam 9, kami semua sudah bersiap kembali melanjutkan perjalanan ke arah yang pasti. Kembali menyusuri hutan yang makin rapat. Kali ini jalurnya lebih berat dari hari sebelumnya. Beberapa jalur mendakinya curam, sehingga lebih menguras tenaga, dan banyak melewati jalan sempit yang bersisian dengan jurang-jurang yang dalam, belum lagi tumbuhan semak yang berduri.

Kata "sebentar lagi sampe koq"  seperti memompa semangat kami untuk segera tiba di tujuan. Alhamdulillah cuaca hari itu cerah. Treking kami sesekali diiringi suara-suara hewan hutan.




Setelah hampir 4 jam menembus hutan .... tibalah kami di sebuah perbukitan, yang menghadap ke sebuah lembah yang luas dan hijau dikelilingi tumbuhan alang-alang setinggi lutut orang dewasa, dihiasi dengan penampakan sebuah gunung yang dari jauh terlihat berwarna hijau lumut, sementara di atas puncaknya sapuan langit biru dan awan putih bergumpal.  Inilah lembah yang kami cari, lembah Tegal Panjang dengan pemandangannya yang hijau menyejukkan mata. Subhanallah .... Alhamdulillah ... kami sudah sampai ....

Dari atas bukit tempat kami berdiri, pemandangan Tegal Panjang mengingatkan saya pada gambar-gambar khas saat sekolah dasar dulu. Kalau ada pelajaran menggambar, pasti gambarnya gunung, dibawahnya ada petak-petak sawah hijau, langitnya biru, dan gumpalan awan.

Di bawah lembah, ada aliran sungai kecil yang jernih dan airnya menyegarkan. Kami menunaikan salat di tengah ilalang Tegal Panjang, sebagian duduk-duduk santai menikmati keindahan dan kesejukan hawa Tegal Panjang.  Tak heran kalau banyak yang menjuluki Tegal Panjang sebagai keindahan surga tersembunyi Gunung Papandayan. Lembah dengan savana yang luasnya, mungkin sampai 4 kali luas lapangan sepakbola ini berada di ketinggian 1960-1980 meter dia atas permukaan laut.




Sayang seribu sayang, menjelang sore, mendung menggayut di atas Tegal Panjang. Hujan deras turun, sebelum kami menyelesaikan memasang semua tenda. Dan di bukit yang menghadap ke Tegal Panjang inilah, seumur hidup pengalaman kemping, saya "nguras" air dan ngepel "lantai" tenda yang basah karena tenda yang bocor :):).

Sabtu (19/5), pagi di Tegal Panjang, cuaca masih mendung dan berkabut, sehingga kami tidak bisa menikmati terbitnya matahari. Tapi, kehadiran seekor elang yang muncul tiba-tiba, membuat kami tertegun dan berteriak antusias. Burung Elang, menurut catatan yang saya baca, memang menjadi salah satu hewan yang menghuni hutan yang berbatasan dengan Tegal Panjang. Setelah sarapan dan membongkar tenda ... sekira jam 09.00 pagi perjalanan dilanjutkan menuju Pondok Saladah.

Annyong Tegal Panjang ....



Kami melintasi lembah Tegal Panjang, berjalan di antara padang savana yang tinggi, masuk ke hutan lagi yang kondisinya hampir sama dengan hutan yang kami lewati sebelumnya. Kondisi jalannya sebagian besar mendaki. Perjalaan dalam hutan ditempuh kurang lebih 4 jam, itupun karena kami nyaris nyasar lagi :):). Untungnya ada kelompok pendaki lain yang membantu mencarikan jalan, hingga kami kembali ke jalan yang benar. Alhamdulillah.

Akhirnya kami keluar dari kawasan hutan dan mulai melihat tempat terbuka berupa daerah perbukitan dan pegunungan yang berjajar dengan kawasan gunung Papandayan. Dari ketinggian tempat kami berada, terlihat lembah hijau, sebagian sisi kota Garut, dan kawasan kawah Papandayan.  Tepat tengah hari, sampailah kami di Pondok Saladah. Rombongan pun terbagi dua, saya dan sebagian teman yang memang harus pulang siang itu juga ... langsung menuju ke Camp David. Sebagian lagi beristirahat, dan ada yang langsung menuju ke Padang Edelweis.

Panorama di sepanjang perjalanan menuruni lereng Papandayan menuju Camp David, ternyata tidak kalah indahnya.Terutama memasuki kawasan Kawah Mas Gunung Papandayan.  Kami berjalan di atas hamparan tanah berbatu berwarna putih kecoklatan khas pegunungan, di tengah kepulan asap berbau belerang, bahkan dari lubang-lubang di tanah bisa terlihat asap belerang mengepul. Dari arah Pondok Saladah, sisi kiri kawasan Kawah Mas adalah perbukitan tinggi dengan batu-batu besar berwarna abu-abu, sementara di sisi kanan terdapat lembah-lembah mirip kawah yang menganga dikelilingi oleh bukit batu berwarna hitam. Di sini juga mengalir sebuah sungai kecil.






Oh ya, di Kawah Mas ini, kita sempet bikin kenang-kenangan buat sahabat kami yang akan walimahan hari Minggunya, Alan dan Novi Khansa. Ini idenya Muhammad Amar.  Setelah melihat hasil fotonya, membuat mempelai terharu dan semoga menyesal telah mendoakan kami nyasar ... hehehe.

Sekira jam 02.00 siang, akhirnya kami sampai di Camp David. Setelah istirahat sebentar, perjalanan dilanjutkan dengan menyewa mobil bak terbuka ke Cisurupan. ah, senangnya bisa naek kendaraan bak terbuka kayak gini, di jakarta mana bisa .... :):)



Sampai di Cisurupan kami turun di dekat masjid, untuk menunaikan salat dzuhur dan ashar, sambil bebersih dan ganti baju. Selesai semua kewajiban, kami kembali naik angkot lagi menuju terminal Garut. Jarak Cisurupan-Terminal Garut ternyata cukup jauh, sekira satu setengah jam perjalanan.

Jam setengah enam-an, kami tiba di terminal Garut. Rombongan pun berpisah, ada yang ke Surabaya, ke Bekasi dan Jakarta. Rombongan Jakarta, pas banget dapet bis Primajasa jadwal terakhir yang akan segera berangkat ke Jakarta. Kami segera naik.  Tak lama bis pun bergerak perlahan tapi pasti meninggalkan terminal. Perjalanan menuju Jakarta sebagian besar kami habiskan dengan tidur, ngobrol, tidur lagi, ngobrol lagi, tidur lagi !  

Bisa yang kami tumpangi keluar tol dan masuk Pasar Rebo sekira jam 22.00. Rombongan kembali terpisah, pulang ke rumah masing-masing.  Alhamdulillah, sampai di rumah sekira jam 22.30. Masih sempet bales dendam mandi, dan setrika baju batik seragam buat walimahan besok.

Epilog

Sebelum memejamkan mata, saya kembali memutar seluruh perjalanan selama tiga hari kemarin. Yang utama adalah rasa syukur tak terhingga pada Allah Swt yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan untuk melakukan perjalanan yang buat saya pribadi lumayan berat, karena berbagai faktor. Rasa syukur karena Allah Swt telah memberikan perlindungan selama perjalanan, sehingga kami semua bisa pulang ke rumah dengan selamat, dan tambahan teman-teman baru tentunya.

Benarlah adanya, bahwa dalam sebuah perjalanan yang terpenting bukan lagi tempat yang dituju, tapi proses menuju ke tempat tujuan itu. Proses itu yang seharunya mengajarkan kita banyak hal, mulai dari menjaga dan beradaptasi dengan lingkungan, ujian kesabaran, merendahkan hati, sampai belajar mendirikan dan membongkar tenda sendiri. Selebihnya adalah sebuah proses untuk lebih mendekatkan diri pada Illahi, karena di tengah semesta ciptaanNya, kita ternyata cuma makhluk kecil dan lemah.

Minggu (20/5)  pagi saya sudah berada di MA, tempat berkumpul untuk menjadi panitia pernikahan dua sahabat baik kami, Alan dan Novi. Bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, hari itu juga menjadi bersejarah Hari Kebangkitan Cinta Alan dan Nop Nop. Selamat buat kedua mempelai semoga menjadi keluarga SAMARA.







Tuesday, May 1, 2012

Catatan di Hari Pendidikan Nasional

Facebook tiba-tiba ramai dengan berita orang-orang Indonesia yang menghadiri HUT Israel di Singapura.

http://www.bersamadakwah.com/2012/05/hadiri-hut-israel-di-singapura-nasdem.html

Para tokoh Islam pun angkat bicara, ikut mengecam.

Padahal, pada bulan April kemarin, Indonesia secara resmi menerima kedatangan David Cam...eron (PM Inggris) yang jelas-jelas seorang zionist. Tahun 2007, Cameron menyatakan menolak aksi boikot Israel yang dilakukan para akademisi di Inggris. Kala itu Cameron mengatakan:

"‘If what you mean by Zionist, someone who believes that the Jews have a right to a homeland in Israel and a right to their country then yes I am a Zionist and I’m proud of the fact that Conservative politicians down the ages have played a huge role in helping to bring this about."

Media massa Indonesia, tv dan koran, kebanyakan memuji kunjungan Cameron, (padahal, entah kebetulan atau tidak, pas kedatangannya ke Indonesia terjadi gempa di Aceh), tanpa memberi ulasan kritis siapa Cameron sebenarnya. Ormas Islam pun tak banyak yang mengkritisi, apalagi menyambutnya dengan aksi demo.

Jadi, suka atau tidak, meski Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel, secara tidak langsung kita bersahabat dengan zionis yang notabene adalah bentuk lain dari Israel ....

*catatan di Hari Pendidikan, mari cerdaskan diri ...