Wednesday, March 20, 2013

Saat Kuberbisik pada Pasir Berbisik




ditengah padang pasir berbisik aku berjalan
menyusuri gunung dan lembah pasir
yang membentuk panorama alam dengan indahnya
tak kupedulikan terik matahari
yang membiaskan warna abu-abu berkilauan
kuperhatikan hamparan pasir
yang membentuk aneka pola memesona
melembung, meliuk, guratan garis yang acak tak simetri
menampakkan bahwa alam pun memiliki cita rasa seni
pasir, angin, hujan dan matahari
meski berbeda dimensi
namun saling mengisi menciptakan keelokan
bagi mata manusia di bumi
tak bisakah kita seperti mereka?
seperti pasir, angin, hujan dan matahari
meski saling berbeda satu sama lain
tak pernah saling membenci
meski berbeda satu sama lain
tapi saling menghargai
menghormati peran dan keberadaan masing-masing
menciptakan harmoni penuh kedamaian
dan menyadari bahwa mereka semua diciptakan
tak lain dan tak bukan
hanya untuk tunduk dan bersujud padaNya
pemilik alam semesta dan seluruh isinya

di hamparan pasir berbisik, aku bertanya
kemana nurani sebagian manusia

di hamparan pasir berbisik, aku mengucap pinta
jagalah hati dan kuatkan iman hamba
dari godaan dunia yang penuh tipu daya

~lepas tengah malam. Kamis, 21 Maret 2013







*catatan: seluruh foto dokumenpribadi-hak cipta dilindungi

Tuesday, March 19, 2013

Malam di Malang dan Misteri Wisma Hijau


Tidak lengkap rasanya jika berkunjung ke sebuah kota, dan tidak menikmati suasana malamnya.  Seperti tipikal kota-kota di daerah, kawasan alun-alun menjadi pusat keramaian di waktu malam.

Usai mengikuti sesi travel writing bersama Dina Y. Sulaeman dan Lalu Abdul Fatah selepas Magrib, rombongan Trip Bromo Muslimah Backpacker memutuskan untuk sekedar menikmati suasana Malang di waktu malam. Kami semua menuju kawasan stasiun Malang dengan beberapa angkot (gak di Malang, gak di Jakarta, tetep ya angkoter, hehehe) untuk menikmati makan malam.

Suasanan sekitar stasiun malam minggu itu ternyata rame banget karena ada panggung hiburan  sebuah produk motor.  Waktu makan malam di sebuah warung tenda pinggir jalan, salut sama mbak Imazahra yang langsung turun tangan membantu ibu warung yang jumpalitan membuat pesanan dadakan untuk lebih dari 40 orang :)  



Usai makan malam, saya dan beberapa teman jalan kaki menuju Tugu Alun-Alun Bundar, persis di depan gedung balaikota Malang. Dari sebuah papan informasi di dalam taman alun-alun, ternyata Tugu ini punya sejarah di masa perang kemerdekaan (baca di fotonya aja yah).

Meski sudah malam, saya lihat alun-alun masih ramai dengan pengunjung, terutama anak-anak muda yang sebagian besar asyik motret. Saya kira mereka juga pelancong seperti kami, atau dari komunitas fotografi. Saya juga tidak mau kehilangan kesempatan, jarang-jarang motret suasana malam soalnya. Hasil fotonya? masih biasa-biasa saja, perlu banyak berlatih. 







 Batu Night Spectacular




Suasana malam juga saya nikmati di tempat wisata Batu Night Spectacular )BNS) di kawasan Batu. Suasananya saya kira lebih mirip pasar malam, tapi sudah dilengkapi dengan aneka tempat permainan seperti di Dufan, Ancol. Di sini juga ada tempat ice skating, toko-toko, dan food court.

Yang agak istimewa di BNS mungkin area Taman Lampion. Tiket masuk ke area ini Rp. 12.000/ orang, dan di sini kami menikmati berbagai lampion yang lucu-lucu seperti snow white and seven dwarfs, dan beberapa karakter Disney lainnya, balon terbang, istana, taman air dan  menara Eifel. Cahaya dari lampion yang temaram, membuat suasana di taman ini jadi serasa romantis, meski kita berkeliaran cuma seorang diri ^__^




Puas mengitari Taman Lampion, saya menyempatkan melihat beberapa permainan, dan nyobain kentang rebus diawuri keju dan mayonaise ala BNS untuk sekedar meredakan perut yang sudah meronta-ronta minta diisi.
 

Sekira pukul 08.30, saya dan beberapa teman duduk-duduk di food court, yang bentuk bangunannya mirip hanggar pesawat.

Di tempat ini, kami sempat menyaksikan pertunjukkan air mancur menari yang diiringi musik, dan pertunjukkan seperti film yang ditampilkan di langit-langit bangunan food court. Filmnya sederhana, cuma gambar pesawat ruang angkasa seperti yang kita lihat di film-film macam Startrek gitu deh, ceritanya melayang-layang di langit malam, meski gerakannya cuma dari kiri ke kanan saja. Ah, lumayanlah, hiburan pelepas lelah setelah seharian menjelajahi Bromo.

 


Misteri Kamar Nomor 8

 
Nah ini dia, pengalaman aneh saya di Wisma Hijau "Bhaswara", wisma milik tentara tempat menginap yang terletak di kawasan jalan Mayjem M. Wiyono.  Entah, karena saya yang terlalu lelah malam itu, yang jelas saya merasa sesuatu yang aneh saja.

Jadi ceritanya, setelah seharian ke Bromo dan BNS, tiba di wisma hampir jam setengah sebelas malam. Sepanjang perjalanan menuju wisma, saya memang tertidur, dan baru bangun setelah sampai di wisma. Tapi saya meyakini, saat itu sudah dalam kondisi sadar total begitu turun dan memasuki wisma. Dan saya meyakini, sejak hari pertama menginap di wisma, kamar saya adalah kamar nomor 5. Jadi, begitu turun, langsung lah saya menuju kamar nomor 5 . Begitu masuk, bingunglah saya, karena isinya bukan teman-teman sekamar saya, tapi teman lain sekamar dengan Mbak Yayah Rochayah.

Saya coba mengingat-ingat nomor kamar saya sebenarnya. Tapi saya yakin, sejak awal masuk, saya lihat nomor di atas pintu kamar saya adalah nomor 5.  Lalu saya ingat, sehari sebelumnya, saya pernah ke kamar Mbak Yayah, dan saya lihat di atas pintu, nomornya 8. Saya pun ngecek ke kamar no.8 lewat pintu belakang, ternyata masih terkunci. Saya ketuk-ketuk, tak ada jawaban. Saya pun kembali ke kamar nomor 5, buat memastikan lagi, siapa tahu tadi mata saya kesiwer. Tapi tetap, kamar nomor 5 adalah kamar Mbak Yayah dan teman-teman lain, bukan teman sekamar saya. Saya mulai bingung. Lalu saya mencoba kembali ke kamar nomor 8, masih lewat pintu belakang yang sepi, tidak ada orang. Alhamdulillah, pintu belakangnya yang tadi terkunci sudah bisa saya buka. Tapi ... upss kemana para penghuninya? Kosong. Saya mencoba membuka pintu bagian depan kamar. Hah???!!! terkunci ! Tiba-Tiba saya merasa merinding, mulai ketakutan (secara pada dasarnya saya orangnya penakut). 




Saya kembali berlari ke pintu belakang, sambil mencoba menenangkan hati dan membaca doa-doa yang saya bisa. Saat mau balik lagi ke kamar nomor 5, saya berpapasan dengan salah seorang peserta (saya gak ingat namanya), dan dengan bodohnya bertanya, "kamar saya dimana ya?". Jelas orang yang saya tanya juga bingung. Saya meneruskan langkah ke kamar nomor 5, tetap saja, saya tidak menemukan teman sekamar saya. Tuhan ... ada apa ini? saya mulai panik sendiri.

Akhirnya saya memilih lewat pintu depan kamar nomor 5. Kembali lagi ke kamar nomor 8. Kali ini, Thank God, isinya teman-teman sekamar saya semua. Dengan perasaan masih tidak karuan, saya menuju pintu belakang, mengecek pintu, dan ternyata ... masih dalam kondisi terkunci ! Padahal saya tadi bisa masuk lewat pintu belakang. Oh my God ! Saya cuma bisa istighfar setelahnya. Berkali-kali saya melihat nomor di atas pintu kamar, nomor 8. Jadi kamar saya sebenarnya nomor 8, bukan nomor 5 seperti yang saya lihat beberapa hari sebelumnya. Entahlah ... sampai hari ini pun kalau ingat peristiwa malam itu, akal sehat saya sulit menerimanya. Tapi biarlah, itu jadi pengalaman tak terlupakan. Karena selama saya ikut trip, belum pernah rasanya mengalami kejadian aneh ini.  Semoga tak kan terulang lagi.  Serem ah ...

*Cerita ini sekaligus menutup rangkaian catatan perjalanan saya ke Bromo bersama  Muslimah Backpacker.  Semoga saya bisa berpartisipasi dalam perjalanan-perjalanan lainnya. Tetap semangat temans, keep traveling and enjoy every journey.  ( meski di wisma hijau, tidurnya bisa kebangun berkali-kali karena gatal-gatal digigit dan mangibasi  kutu kasur ... hehehe)




Monday, March 18, 2013

Edelweis dan "Grand Canyon", Sisi Lain Bromo


 "Setiap orang bertumbuh dalam perjalanan. semua juga mengawali dari titik yang sama, kenaifan yang sama. Tidak ada kelas-kelas dalam perjalanan, ini semua adalah proses yang kontinyu"

Kalimat yang ditulis Agustinus Wibowo (penulis buku Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol) ini seperti oase yang menyejukkan hati. Menumbuhkan semangat dalam dada, untuk terus melakukan perjalanan (kemanapun, jauh atau dekat ), mengasah intuisi dan kepekaan pada lingkungan, terutama pada sesama manusia. Berjalan bukan cuma menikmati dan tersihir oleh eksotika suatu tempat, tapi harus melatih untuk membuka mata lebih lebar, mengeksplorasi, agar perjalanan menjadi bermakna dan memperkaya wawasan hidup.


Saya jadi teringat perjalanan ke Bromo kemarin, rasanya saya terlalu asyik melihat keindahan alamnya, sehingga nyaris lupa untuk berinteraksi dengan warga lokal; tukang jualan, penyewa kuda, atau sekedar berbincang dengan sopir jeep yang mengantar kami berkeliling. Padahal, merekalah sumber-sumber yang bisa jadi inspirasi dan memberi nilai tambah pada perjalanan saya




Sampai akhirnya, saat berada di pinggir kawah Bromo, melepas lelah setelah naik ratusan tangga dan motret sebentar, datang seorang anak muda menawarkan daganganya, bunga edelweis. Sejak di pelataran bawah tangga, sebenarnya saya sudah memperhatikan bunga gunung yang cantik itu. Baru kali ini saya melihat edelweis warna-warni dan dirangkai sedemikian rupa. Kreatif juga pedagang-pedagang ini.

Awalnya, saya cuma tersenyum dan beberapa kali menggeleng, ketika pemuda tadi menawarkan edelweisnya.  Tapi ia begitu gigih merayu saya, agar membeli bunganya.  "Buat kenang-kenangan mbak, bunganya tahan lama, asal jangan kena air," katanya.

Melihat kegigihannya berjualan, saya meresponnya dan menanyakan tentang edelweis yang disodorkannya pada saya, kenapa gak boleh kena air, ngambilnya dari mana,  memangnya edelweis boleh dipetik?  Dan pemuda tadi mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, meski dengan jawaban sederhana dan seadanya.

Saya bukannya tidak tahu kalau edelweis memang bunga yang mampu bertahan lama. Edelweis itu, kata pemuda tadi, ia ambil dari bukit Semeru, di sana banyak katanya dan siapa saja bebas memetiknya, tidak ada yang melarang. Pemuda itu sedikitnya, seminggu sekali memetik edelweis ke perbukitan Semeru, untuk dijual ke para pengunjung di Bromo. Setiap rangkaian edelweis yang dibentuk seberti buket, ia menawarkan harga 20 ribu rupiah.

"Boleh kurang koq mbak, boleh ditawar," kata pemuda itu, masih dengan gigihnya merayu saya untuk membeli.

Jujur, sebenarnya saya kasihan, dan tergoda untuk membeli sekedar untuk menyenangkan hati pemuda itu. Tapi hati kecil saya mengatakan lain. Selama ini saya selalu memegang teguh keyakinan, bahwa edelweis selayaknya dibiarkan di habitatnya, jangan dipetik, apalagi dibawa pulang. Akhirnya dengan berusaha seramah dan sehalus mungkin, saya mengatakan,  "Wah, edelweisnya bagus banget ya, tapi saya enggak bawa cukup uang nih mas,  lain kali gak apa-apa kan?"

Syukurlah, pemuda itu mau mengerti, meski tersirat wajah kecewanya. "Oh, ndak apa-apa koq mbak ..." katanya sambil tersenyum, dan masih mau mengulurkan edelweisnya untuk saya foto. 












Puas menikmati puncak Bromo, saya kembali menyusuri tangga turun, menuju celah bebatuan yang tadi saya lihat saat akan menuju puncak. Celah batu yang menarik perhatian saya.

Bromo Grand Canyon




 

Sepertinya para pengunjung Bromo tidak terlalu tertarik dengan celah batu ini. Sepintas memang terlihat biasa saja. Bentuknya seperti bekas aliran sungai yang kering, yang diapit oleh tebing-tebing batu berwarna abu-abu kehitaman, dengan ketinggian yang bervariasi, yang jelas kita akan merasa kecil banget di tengah celah tebing-tebing itu


Para pengunjung yang akan menuju puncak, pasti akan melewati celah yang bentuknya mengular, yang saya tidak tahu ujungnya berakhir dimana. Sejak melewatinya, saya sudah berniat melihat-lihat celah ini setelah turun nanti. Celah dengan tekstur tanah padat berpasir itu  ada yang melebar dan menyempit, serta berkelok-kelok. Saya menyusurinya agak lebih ke dalam, sepi tak ada pengunjung lain, dan saya merasakan nuansa berbeda berjalan di tengah-tengah tebing batu yang bentuknya seperti cadas. 











Saya sulit mendeskripsikan bentukan-bentukan bebatuan itu, tapi saya merasa, ini koq seperti ngarai Grand Canyon yang ada di Arizona, Amerika itu ya. Semakin menuju ke dalam, bentukan batuannya semakin unik, seperti tumpukan lempengan-lempengan tipis, dan celahnya semakin sempit.

Tapi saya cuma bisa menyusuri sebagian kecilnya. Sebelum mencapai ujung celah itu, hari semakin siang, dan saya harus kembali ke jeep untuk meneruskan perjalanan ke tempat lain bersama rombongan.

Ah, sayang sekali, tidak ada orang yang bisa saya tanyai tentang "Grand Canyon" itu, sampai di rumah saya googling pun tak menemukan catatan ilmiahnya.  Hmmm ... tak apalah, mungkin lain waktu dan kembali ke sini, saya sudah tahu harus bertanya kemana dan pada siapa. Menghibur diri :)











"Traveling bukan melulu soal sejauh mana jarak yang kita tempuh, atau seeksotis apa lokasi-lokasi di sudut dunia yang dijelajahi, saat traveling mesti memiliki "mata baru"; mata traveler, yang selalu ingin tahu, selalu berusaha memaknai."  ~ diadaptasi dari status Anas Al-Lubab []









Saturday, March 16, 2013

Catatan yang Terselip dari Trip Bromo



Pertama, rasanya harus mengucapkan syukur alhamdulillah dulu karena keinginan untuk jalan-jalan ke Bromo lewat Malang akhirnya kesampaian, pada 9-13 Maret 2013 bersama teman-teman dari Muslimah Backpacker (MB), dengan bonus berlipat ganda. Jalan-jalannya murah meriah, dapat sharing ilmu penulisan traveling dari Dina Y. Sulaeman dan Lalu Abdul Fatah (hati? hehehe), bisa menikmati suasana malam kota Malang, dan tentu saja teman-teman baru dari MB yang datang dari berbagai kota, bahkan ada yang dari Medan dan Kalimantan. Para muslimah penikmat jalan-jalan yang energik, semangat, dan inspiratif dengan kesan dan pengalamannya masing-masing.  Sungguh, kalian meninggalkan kesan yang mendalam buat saya, yang belakangan ini agak apatis, "pundung" karena sikap segelintir sahabat yang notabene juga muslimah. Selalu ada pembelajaran dan hikmah dalam setiap perjalanan bersama ... itu yang selalu saya temukan. 

Perjalanan kemarin buat saya pribadi adalah perjalanan yang istimewa. Mulai dari rencana berangkat, galau antara mau naik kereta atau naik pesawat. Terus terang, saya sudah merasa tidak nyaman membayangkan selama 17 jam di dalam gerbong kereta api ekonomi. Suasana sumpek, pengap, kumuh dan wc yang jorok, belum lagi gerah dan badan sakit karena bangku yang tidak nyaman, sudah membayang di benak saya. Di sisi lain, ada sesuatu yang mendorong hati saya untuk ikut naik kereta ekonomi dan merasakan kembali 'ketidaknyamanan' itu, yang akan membawa saya kembali ke nostalgia masa-masa kecil saya dulu waktu masih sering diajak bapak menjenguk kakek yang tinggal di Semarang.





Dan akhirnya, Jumat (8/3) sore, saya berada di stasiun Senen berangkat bersama-sama rombongan dari Jakarta yang dikomandani Mbak Yayah Rochayah, menuju Malang. Sejak menuju ke gerbong, suasana seru sudah terasa. Semua peserta kelihatan exciting banget meski harus menempuh perjalanan jauh. Tapi, saya agak sedikit surprised begitu masuk ke dalam gerbong. Ternyata tidak semengerikan yang saya kira. Kondisi gerbong lumayan bersih, wc nya juga lumayan untuk kelas ekonomi, penumpang pas bangku, tidak berjubel meski saat itu ada hari kejepit nasional. Kereta api ekonomi sekarang, sungguh jauh berbeda dengan kereta api ekonomi yang saya rasakan belasan tahun lalu. Yang masih sama cuma, gerah dan badan pegel-pegel karena kursi kereta yang kaku. Juga pedagang yang lalu lalang, yang buat saya menjadi hiburan tersendiri.

Sepanjang perjalanan, kenangan masa kecil bersama bapak saat pulang ke Semarang, berkelebatan. Saya seperti sedang napak tilas ke masa lalu. Dan kenangan itu membuncah saat kereta tiba di stasiun Semarang Tawang pada pukul 01.00 dinihari. Waktu tiba kereta, masih sama persis dengan kereta yang saya tumpangi bersama bapak, belasan tahun silam. Darah saya berdesir melihat stasiun yang remang-remang oleh cahaya lampu yang agak redup. Pengen rasanya turun dulu, untuk sekedar mengenang orang-orang yang saya cintai dan mencintai saya dengan sangat, yang dulu jarang berjumpa karena jarak dan waktu. Orang-orang yang sudah menginspirasi saya untuk menjadi orang yang punya pendirian, meyakini kebenaran, jangan takut untuk berbeda, dan berani bicara jika memang harus 

bicara.





Derit roda kereta, seketika membuyarkan lamunan saya. Perlahan-lahan, kereta kembali bergerak, meninggalkan stasiun Semarang Tawang yang makin mengecil, lalu hilang ditelan kesenyapan gelap dinihari. Ada rasa yang sulit diungkapkan, cuma deretan doa yang bisa saya ucapkan untuk mengenang orang-orang yang sudah pergi. Saya mencoba memejamkan mata, berusaha mengundang kantuk yang sampai dinihari tak kunjung datang.  Sementara tubuh saya sudah menuntut istirahat.

Kereta terus melaju melewati stasiun-stasiun kecil. Gerbong semakin senyap, karena sebagian penumpang sudah terlelap ke alam mimpinya masing-masing. Deru dan goncangan kereta seolah tak mampu mengganggu mimpi yang mereka rajut dalam lelap. Seperti saya yang akan menuntaskan mimpi untuk menikmati keindahan alam Bromo. Dan terus berikhtiar menyelesaikan mimpi-mimpi lain untuk menjejakkan kaki ke bumi Allah yang begitu luas. Untuk semakin mengenali diri. Karena siapa yang makin mengenali dirinya, maka ia akan semakin mengenali Tuhannya []


#salam sayang buat semua teman MB dalam trip Bromo kemarin, terima kasih atas 

kebersamaan dan keceriaannya.