Sebagai warga Jakarta yang mengandalkan moda transportasi angkot, saya jelas agak kecut mendengar berita maraknya aksi perkosaan di atas angkot. Meski rasanya sulit dibayangkan bagaimana bisa orang melakukan perbuatan bejat itu di dalam angkot tanpa kelihatan orang, paling tidak menimbulkan kecurigaan mobil-mobil yang lewat. Tapi yang namanya penjahat, pasti lihai melakukan aksinya.
Dan kasus perkosaaan di atas angkot ini, gaungnya bahkan sampai ke Australia. Seorang penyiar radio Australia yang siarannya sempat saya dengarkan pagi kemarin, menceritakan bahwa sejumlah warga Australia yang dimintai komentarnya soal mencuatnya kasus perkosaan di atas angkot di Indonesia mengatakan, bahwa sebagai negara muslim, kasus perkosaan itu menunjukkan buruknya kerusakan akhlak di Indonesia.
Deg! sebagai seorang muslim dan sebagai orang Indonesia, rasa nasionalisme saya jadi terusik. Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, komentar orang Australia itu tidak sepenuhnya salah. Karena negara ini memang sedang dilanda krisis akhlak, terutama di kalangan para pejabat negara yang kerap "memperkosa" hak rakyat (baca: korupsi) dan adegan "perkosaan" itu begitu telanjang dihadirkan ke depan mata rakyat lewat pemberitaan media massa, terutama televisi.
Ironisnya, rakyat juga tahu bahwa kasus-kasus "perkosaan" itu selalu berujung pada benang kusut, lingkaran setan tak berujung, dan tak pernah menyeret "pelaku utama" nya ke depan hukum. Bukan tidak mungkin, kondisi semacam ini yang mendorong orang melakukan perbuatan bejat seperti perkosaan di atas angkot itu. Kondisi sebuah masyarakat adalah cerminan dari kondisi pemerintahan masyarakat yang bersangkutan. Bukankah demikian?
Kembali ke kasus perkosaan di angkot, tak perlu buang-buang energi memperdebatkan para pengunjuk rasa yang mengenakan rok mini dan mendiskreditkan kaum lelaki, atau kaum lelaki yang mengkritik cara berpakaian perempuan yang bisa mendorong terjadinya kejahatan seksual. Sehingga kita lupa persoalan yang paling penting bahwa di negeri ini jaminan keamanan terhadap warga negaranya sangat minim. Bahkan ketika kita sudah melaporkan sebuah tindak kejahatan, tidak ada kesigapan dan kecepatan untuk menindaklanjuti laporan itu. Sehingga seorang korban perkosaan di angkot, bahkan sampai harus mencari sendiri pelaku perkosaan yang kebetulan wajahnya masih ia ingat.
Ada persoalan apa sebenarya? Jelas persoalan penegakan hukum yang tidak serius, terutama pada para pelaku perkosaan, entah itu pelaku perkosaan di atas angkot, maupun para pelaku "perkosaan" hak-hak rakyat.
Selebihnya, soal keamanan, rasanya untuk saat ini, kita kaum perempuan mesti esktra keras menjaga diri sendiri, terutama para pengguna angkot. Jangan lupa untuk selalu memohon perlindungan Yang Maha Kuasa dengan berdzikir "Hasbunallah-u Wani’mal-Wakîl, Ni’mal-Mawlâ Wani’man-Nashîr”, cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung, Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong”.
suka atau tidak, penilaian orang australia itu benar adanya. kita seharusnya berintrospeksi. label "muslim terbesar" ini tak lebih dari angka (statistik). seharusnya, kita memperbaiki diri. pemerintah lebih serius melindungi warganya. pendidikan akhlak dan budi pekerti kembali digiatkan di tingkat keluarga.
ReplyDeletestuju mas tian, termasuk pendidikan agama ....
ReplyDeleteitu penting banget, dimulai sejak dalam kandungan. :D
ReplyDelete