" Dalam kondisi lelah dan lutut lemas, saya membatin, apakah saya harus menyalahkan generasi muda pencopet itu? Tak perlu dipertanyakan mereka belajar dari siapa .... "
Kamis (27/10), sekira jam 7 malam, saya menaiki kopaja dari Blok M yang ke arah Tanah Abang. Karena masih jam orang pulang kantor, bis tanggung berwarna putih hijau itu penuh dengan penumpang. Sebenarnya, saya agak ill-feel naik bis ini, karena saya tahu bis ini rawan copet. Tadinya, saya sudah beli karcis busway, tapi karena sedang terburu-buru dan saya melihat antrian busway yang mengular, saya keluar dari terminal busway dan mencari bis biasa saja dengan harapan bisa mengejar waktu.
Sadar rawan copet, makanya sejak melangkahkan kaki ke dalam bis itu, saya sudah ekstra waspada dan cari tempat duduk yang aman tentram, di pojok, tepat di barisan depan dekat pintu masuk. Karena penumpang sudah penuh, baik yang duduk maupun yang berdiri, bis pun melaju cepat. Saya memperhatikan setiap penumpang yang naik turun. Karena lebih banyak yang naik dibandingkan yang turun bis makin sesak.
Memasuki jalan Sudirman, tepat di depan gedung Depdiknas, naiklah segerombolan remaja lelaki, yang usianya antara 15-17 tahun. Tadinya, saya pikir mereka segerombolan remaja biasa yang pulang main. Jadi saya tidak menaruh curiga. Kecurigaan saya muncul ketika salah satu dari mereka--kelihatannya yang umurnya paling tua--bergelagat aneh, mendesak-desak penumpang yang sudah penuh sesak sehingga penumpang yang mau turun jadi terhambat. Saya juga perhatikan segerombolan anak muda itu, terkesan sengaja bergerombol di depan pintu masuk bis. Perasaan saya mulai tak enak. Dan saya terus memperhatikan gelagat mereka dan satu orang yang mendesak-desak penumpang.
Insting saya terbukti, satu orang itu, saya lihat membuka resleting bagian depan tas gemblok--kayaknya tas laptop--seorang anak muda yang baru saja naik. Dalam hati, "Aduh ini orang, ceroboh banget di bis menyampirkan tas ke belakang." Remaja tanggung itu terus merogoh-rogoh isi tas, tapi saya tidak jelas apakah ia berhasil mengambil sesuatu, karena pandangan saya terhalang oleh sesaknya penumpang.
Sebagian gerombolan itu yang jumlahnya sekira 6 orang remaja tanggung, turun di depan Benhil. Di sini, penumpang banyak yang turun, sehingga bisa agak kosong. Tak ada lagi penumpang yang berdiri. Ternyata masih ada dua remaja tanggung anggota rombongan itu yang masih ada di dalam bis, yang satu duduk di belakang sopir, yang satunya lagi terlihat sedang menelpon dengan menggunakan hp, saya jadi curiga remaja ini sedang calling-callingan dengan gerombolannya yang sudah turun duluan.
Melihat apa yang terjadi, saya gemas sekaligus miris, anak-anak remaja ini sudah berani melakukan tindak kriminal, jadi tukang copet ! Beberapa tahun belakangan ini, saya bekerja di daerah pinggiran, lebih sering naik angkot daripada naik bis dan jarang pula ke pusat kota. Dan saya benar-benar kaget melihat "pesat"nya kriminalitas di kota Jakarta, anak-anak remaja pun sudah jadi pencopet !
Dalam kondisi lelah dan lutut lemas, saya membatin, apakah saya harus menyalahkan generasi muda pencopet itu? Tak perlu dipertanyakan mereka belajar dari siapa, sementara setiap hari kita menyaksikan pemberitaan bagaimana generasi tua yang menjadi pejabat pemerintah di negeri ini, juga nyambi jadi tukang copet uang rakyat dan uang negara. Alangkah mirisnya negeri ini. Para pemuda (indonesia) mencopet satu hari menjelang hari Sumpah Pemuda.
duh miris. memang, aku mengerti, kita nggak bisa mencegah begitu saja --misalnya dengan meneriakinya-- gerombolan pencopet abg itu, karena apa pun bisa terjadi (mereka bisa nekad).
ReplyDeletebtw, sekarang kantornya pindah ke sudirman, udah nggak di cibubur lagi?
Sedih ya mba
ReplyDeleteya Allah, miris banget... karena kebutuhan ga penting mereka juga meningkat kali yaa mba, jadi nyari "usaha" di luar rumah..
ReplyDeletehaduhhhh
ReplyDeleteastaghfirullah :(
ReplyDeletebener2 kudu ati2 ya, fuuuh
dulu waktu aku masih kecil, aku liat anak muda dengan penampilan gaul, mengutak-atik tas ibuku; wew; untung saat itu ga jd kecoptan
Susah mbak cari kerjaan orang tua mereka, jdnya mrk gak bs sekolah atau dpt kehidupan lebih baik...
ReplyDelete