Foto di atas diambil dari jendela kamar nya Mbak Dina Y
Sulaeman di tempat menginap di Tehran, dalam kunjungan pada pertengahan tahun 2012
lalu. Awalnya, saya cuma asal motret aja, enggak tahu itu gedung apa. Ternyata ini adalah bagian dari kompleks kantor IRIB (Islamic Republic of Iran Broadcasting).
Mbak Dina yang pernah bekerja di IRIB, juga baru sadar belakangan :)
Setelah sempet hopeless gak bisa ikut kunjungan ke IRIB (karena
waktu itu yang boleh berkunjung dibatasi hanya dua orang). Seperti pucuk
dicinta ulam tiba, ketika akhirnya kesempatan itu datang di hari terakhir saya
berada di Iran. Dan demi bisa melihat
IRIB, saya rela melepas kesempatan berkunjung ke Mashad, salah satu kota utama
di Iran.
Memang apa menariknya IRIB?
Buat saya yang pernah bergelut di dunia broadcasting (radio), berkunjung
ke kantor penyiaran negara lain menjadi hal yang menarik. Melihat cara kerja mereka, peralatan, dan
saling bertukar cerita tentang kebijakan penyiaran di negara yang bersangkutan,
adalah tambahan wawasan buat saya. Dan
benar saja, berkunjung ke IRIB menjadi pengalaman berharga sekaligus rada unik :)
Dilihat dari pembatasan pengunjung yang cuma boleh dua orang
(padahal delegasi dari Indonesia waktu itu lebih dari 10 orang) rasanya sudah mengindikasikan bahwa IRIB
adalah salah satu tempat yang tidak bisa dikunjungi sembarang orang. Dari luar
aja, kantor IRIB terkesan eksklusif dan sangat tertutup, dikelilingi oleh
tembok tinggi.
Siang itu, selepas dzuhur,
Mas Purkon Hidayat yang bekerja di IRIB siaran Bahasa Indonesia
menjemput saya dan ibu Sirikit Syah. Kami jalan kaki menuju IRIB, karena
letaknya bersebelahan dengan hotel tempat kami menginap. Di sepanjang jalan, Mas Purkon banyak cerita tentang
Iran dan masyarakatnya, termasuk tentang IRIB.
Begitu masuk ke halamannya, saya sudah terperangah
karena IRIB ternyata sebuah kompleks
perkantoran yang luasssss banget. Enggak
berlebihan kali ya kalau saya bilang
mirip kompleks kampus UI Depok. Di dalam
kompleks IRIB, terdapat lebih dari 20 kantor media radio dan televisi (termasuk media online) yang jaringan
siarannya sampai ke pelosok dunia. Saya
membandingkannya dengan kantor RRI dan TVRI di Indonesia, yang cuma satu gedung
bertingkat dan berada di kawasan
terpisah.
Di pintu masuk pun pemeriksaan sangat ketat. Pengalaman saya bekerja di RRI, masuk halaman
kantor RRI, seorang tamu bisa cuma hanya
dengan menganggukkan kepala saja sama satpamnya, tanpa pemeriksaan teliti atau
meninggalkan tanda pengenal. Tapi di
IRIB, mengisi semacam form kunjungan dan harus meninggalkan tanda pengenal. Setelah itu, melewati pintu pemeriksaan lapis
kedua, dengan peralatan pemeriksaan
kalau kita mau masuk bandara. Di sini
Mas Purkon sempet kesel dengan penjaganya (perempuan) yang mengharuskan kami,
saya dan Ibu Sirikit memakai abaya khas Iran jika mau masuk ke dalam.
Saking keselnya, Mas Purkon sampai berkomentar , “Menghadapi
orang-orang Iran mesti berani keras juga. Kalau mereka ngotot, kita juga mesti
ngoto, kalau enggak kita bisa ditindas terus.”
Saya cuma senyum mendengar
komentar Mas Purkon, mengingat beberapa hari sebelumnya saya juga sempet dibuat
syok dengan gaya orang Iran. Orang yang
sudah lama tinggal di Iran saja, bisa ngomong seperti itu. Apalagi saya yang
baru pertama berkunjung dan berinteraksi dengan beberapa orang Iran. Gimana gak
syok …:)
Tapi akhirnya kami dibolehkan masuk juga. Oh ya, di lingkungan kantor IRIB ini, dilarang memotret.
Kantor IRIB
siaran Indonesia letaknya agak jauh dari gerbang utama, dan kami bertiga harus
jalan kaki di tengah puncak musim panas di Iran. Duh, seandainya disediakan sepeda kayak di
kampus UI Depok :)
Kami tiba di sebuah gedung, dan langsung masuk lift yang cuma
pas untuk 3-4 orang menuju kantor siaran bahasa Indonesia. Tipikal kantor media, jalan berlorong sempirt dan ruangan yang
bersekat-sekat. Lagi-lagi saya teringat gedung RRI, serupa tapi tak sama :) Ruang
kantor siaran bahasa Indonesia ukurannya
juga tidak terlalu luas. Di dalamnya ada beberapa meja kerja dan seperangkat
sofa tamu. Setelah beramah tamah
sebentar dengan beberapa pegawai di ruangan,
kami diajak ke ruang studio rekaman karena Ibu Sirikit akan
diwawancarai.
Masuk ke studio rekaman, ah, saya lagi-lagi terkenang dengan
studio rekaman dan siaran di RRI dulu. Enggak jauh beda, termasuk peralatan
yang digunakan. Studio terbagi dua, satu
ruang untuk wawancara, satu ruang lagi tempat operator yang mengendalikan
peralatan rekaman. Yang bekerja sebagai
operator hari itu, dua perempuan muda Iran.
Saya duduk di belakang dua perempuan muda yang menyambi pekerjaannya
sambil ngobrol. Tapi tetap tahu, ketika ada
bagian yang harus diulang :)
Sekira 30 menit, rekaman selesai. Kami mengakhiri kunjungan dengan makan di
resto fastfood ala Iran ,model KFC gitu.
Rasanya, gak beda jauh dengan produk KFC atau McDonald ( jangan harap
menemukan dua resto AS ini di Iran yah …:) ) malah lebih enak.
Menurut Mas Purkon, selain memiliki kantor berita resmi
pemerintah IRNA, di Iran juga ada IRIB yang berada di bawah tanggung jawab
Rahbar. IRIB dalam kebijakan pemberitaannya
boleh mengkritik pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Jadi
seperti pemantau kinerja pemerintah.
Beruntung deh, bisa ke berkunjung ke IRIB. Meski saya rada bingung dengan cara Iran menempatkan
kantor media dalam satu lingkungan seperti IRIB. Sebagai negara yang sekarang jadi incaran Barat
(AS dan sekutunya), Iran kerap diancam
untuk diserang secara militer. Kepikiran ajah, kantor media ini akan jadi
sasaran serangan, dan akan gampang bagi musuh Iran untuk melumpuhkan kantor
siaran medianya yang sangat strategis.
[]
wooowww mantep bnaget tuh gan ngetrip bgthu gan,, hehehehe
ReplyDelete