Kita mungkin sudah sering mendengar bahwa secara
geografis, posisi Indonesia berada di kawasan Cincin Api (Ring of Fire).
Cincin Api adalah sebutan bagi kawasan lingkaran gunung berapi di
wilayah Samudera Pasifik. Lingkaran
gunung berapi itu membuat wilayah Samudera Pasifik sarat dengan
aktivitas perut bumi yang masih memijar dan sangat panas. Khusus
Indonesia, selain berada di kawasan Cincin Api, Indonesia juga diapit
oleh tiga lempeng raksasa, yang apabila terjadi aktivitas di dalam perut
bumi tadi, lempengan-lempengan ini bisa saling bertumbukan, sehingga
terjadilah gempa.
Posisi
yang demikian, membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan
gempa. Menurut Dr. Wahyu Triyono--ahli gempa dari ITB--di Indonesia,
setiap detik pasti terjadi gempa. Hanya saja kekuatannya kecil-kecil,
tidak terasa oleh manusia dan hanya terdeteksi oleh alat pencatat gempa, seismograf.
Gempa
memang tidak bisa dipastikan kapan terjadinya, tapi bisa diprediksi.
Karena menurut Wahyu, sebagian besar gempa mengikuti pola siklus, bisa
puluhan, ratusan atau ribuan tahun. Para
ahli gempa di Indonesia sebenarnya sedang khawatir. Pasalnya, beberapa
daerah di Indonesia kebanyakan sudah mencapai ujung siklus.
Berdasarkan penelitian, saat ini, daerah di Indonesia yang berpotensi mengalami gempa besar antara lain; perairan di sekitar Mentawai, Padang, Bengkulu, sedikit di Lampung, Sulawesi Utara dan Tenggara dan wilayah kepala burung Pulau Papua. Untuk pula Jawa, potensi ancama gempa masih ada, tapi tidak besar.
Teknologi Canggih Bukan Jaminan
Yang
pertama, kita mungkin harus memahami dan menerima kenyataan bahwa kita
hidup di atas permukaan bumi yang rawan ancaman gempa. Daripada terus
menerus merasa ketakutan, lebih baik kita "berteman" akrab dengan gempa,
seperti halnya masyarakat Jepang. Yang terpenting bukan lagi mengetahui
berapa besar skala gempa, tapi antisipasi apa yang kita siapkan jika
terjadi gempa. Karena sampai saat ini, korban bencana lebih banyak
diakibatkan dari lambatnya pertolongan, daripada akibat terkena
bencananya langsung. Sayangnya, dari berbagai bencana alam besar yang
terjadi di Indonesia, pemerintah terlihat masih "gagap" untuk melakukan
reaksi cepat, menolong para korban bencana.
Pemerintah
juga kurang memberikan penyuluhan bagi masyarakat, lewat media cetak
maupun elektronik, tentang antisipasi jika terjadi gempa. Berbeda dengan
Jepang, yang secara rutin melakukan pelatihan dan simulasi menghadapi
gempa pada rakyatnya.
Dr.
Wahyu Triyono mengungkapkan, efek bencana sebenarnya bisa diminimalisir
dengan cara meng-edukasi masyarakat tentang ancaman gempa, serta
komitmen yang kuat baik dari masyarakat maupun pemerintah dalam hal
antisipasi bencana.
"Kita
tidak bisa hanya mengandalkan peralatan atau teknologi canggih, karena
semua itu belum tentu efektif. Daripada membeli peralatan canggih yang
mahal, apalagi pembeliannya dengan cara berhutang yang berpotensi
dikorupsi, lebih baik dananya digunakan untuk mendidik masyarakat
tentang potensi bencana dan cara penanggulangannya bersama-sama.
Efektifitas teknologi itu sangat tergantung pada pengetahuan
masyarakatnya," tukas Dr. Wahyu.
Selain
itu, pemerintah juga harus memperhatikan tata ruang daerah atau kota.
Harus dibuat jalan yang lurus menuju tempat yang lebih tinggi--ini
untuk antisipasi tsunami--dan tersedianya ruang terbuka untuk memudahkan
pertolongan bagi para korban, dengan membuka tenda-tenda yang berfungsi
sebagai rumah sakit darurat. Nah, dalam konteks di Jakarta, masih
adakah ruang terbuka yang tersisa sebagai antisipasi terjadinya bencana?
Yang
terpenting, jangan gampang panik dengan informasi akan terjadinya
gempa, yang tidak jelas kebenarannya. Manusia baru bisa tahu kapan gempa
(akan) terjadi, setelah gempa itu terjadi, termasuk besaran
magnitude-nya.
Sip sip :)
ReplyDelete