Wednesday, December 29, 2010

Ber "Selimut Debu" di Afghanistan

Seorang polisi gendut memerintahkan semua orang turun, berbaris di tepi mobil. Ketika giliran saya, ia meraba-raba tubuh saya sambil menginterogasi.
"In chi ast? Ini apa?"
"Kamera"
"Chi ast?"
"Dompet"
"Chi ast?"
Saya terpekik kaget. Sempat-sempatnya polisi ini meremas kemaluan saya. Ia menyeringai penuh kemenangan.

***

"Ya Allah Khair ... Ya Allah Khair ! Ya Tuhan, tolong ...!" seru saya setiap kali mobil yang saya tumpangi menikung tajam. Penumpang lain tertawa. "Ini sudah biasa. Koi zabardast nehi hai. Tak istimewanya sama sekali." Bagi saya, perjalanan itu sudah membuat saya menjadi lebih mencintai hidup.

***

Nyawa sudah tidak ada lagi harganya. Bahkan orang mulai menertawai nasib. Kandahari pernah menceritakan lelucon tentang orang yang pergi ke bazaar untuk membeli kepala kambing.
"Berapa harganya ini?" tanya si pembeli.
"Lima puluh Afghani," jawab si penjual.
"Lima puluh? Terlalu mahal ! Dua puluh saja," si pembeli menawar.
"Apa? Dua puluh Aghani? kamu gila? kami kira ini kepala manusia?
Kepala manusia sekarang sudah lebih murah daripada kepala kambing.

***

Itulah penggalan-penggalan pengalaman Agustinus Wibowo berkelana selama berbulan-bulan, menyusuri pedalaman Afghanistan yang ia tulis dalam buku berjudul "Selimut Debu."  Setidaknya ada dua orang yang merekomendasikan saya membaca buku ini, dan harus saya akui, buku ini memang sangat "berisi" dan berhasil mengaduk-aduk perasaan saya saat membacanya. Ada banyak kejutan, ada kengerian, kepedihan, kelucuan dan keindahan yang dituliskan Agustinus dalam buku ini, yang membuat saya tercengang, iba, prihatin sekaligus kagum pada Afghanistan, keunikan budaya dan masyarakatnya yang multi etnis.

"Di manapun di Afghanistan, tidak pernah saya bisa lari dari tontonan yang satu ini. Laki-laki Afghanistan, dibalik adat patriarkat dan machoisme yang sudah ditandingi bangsa manapun, dibalik jubah dan jenggot tebal mereka, ternyata penggemar sinetron feminin ..."

"Mehman navazi, keramahtamahan, adalah jalan hidup. Di sini, perang berkepanjangan tak melunturkan rasa cinta sebagai bagian dari harkat kemanusiaan ...."

Demikian tulis Agustinus. Membaca catatan perjalanannya, mengingatkan saya pada novel best-seller "Kite Runner" dan "A Thousand Splendid Suns" karya penulis asal Afghanistan Khaleed Hosseini yang berlatar belakang tentang Afghanistan, tradisi, masyarakatnya dan perang tiada akhir yang telah memporakporandakan dan mempengaruhi tatanan kehidupan sosial di negeri itu.

Tapi "Selimut Debu" bukan novel, buku ini adalah "kisah nyata",  catatan perjalan seorang anak muda (eh, masih muda gak sih :))  yang gemar avonturir. Membaca buku ini akan membuka cakrawala dan bisa jadi mengubah cara pandang kita tentang sebuah negeri bernama Afghanistan, Taliban, ada apa sebenarnya di negeri itu, dan banyak hal lain yang jarang terekspose media massa.

Apa yang terlintas di benak kita mendengar kata "Afghanistan"? Kita mungkin bakal mikir seribu kali untuk melakukan perjalanan ke negeri ini, apalagi sebagai tujuan wisata. Kita mungkin akan menyebut "orang gila" buat mereka yang sengaja bepergian untuk jalan-jalan ke negeri yang masih dalam kecamuk perang itu.

Tapi bagi seorang Agustinus Wibowo, Afghanistan adalah magnet yang selalu menariknya ingin kembali ke negeri itu. "Tatapan mata orang Afghanistan itu sangat dahsyat," begitu kata Agustinus dalam sebuah wawancara di televisi, meski Agustinus tidak pernah menggambarkan sedahsyat apa tatapan mata orang Afghanistan yang membuatnya selalu ingin kembali ke negeri berdebu itu. (atau mungkin saya yang terlewat membacanya?).

Membaca pengalamannya selama berada di Afghanistan dalam "Selimut Debu" menunjukkan bahwa Agustinus bukan seorang backpaker atau petualang biasa, yang mendatangi suatu tempat, menikmati keindahannya, motret sana, motret sini, lalu pergi. Agustinus melakukan lebih dari itu, ia juga berinteraksi dan menyelami kehidupan masyarakat yang disambanginya, sehingga perjalanannya lebih bermakna dan membuat, setidaknya saya, lebih mengenal karakter dan tipikal sebuah bangsa, selain tentu adat istiadatnya.

Lain ladang, lain belalang, Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.  Begitu kata pepatah. Jika ingin tahu seperti apa Afghanistan sebenarnya tapi belum punya nyali untuk berkelana ke negeri itu,  "Selimut Debu" siap membawa kita ke lembah-lembah, pegunungan,  padang pasir, sungai-sungai, padang rumput  sampai ke  zona perang dan bertemu dengan aneka rupa tipikal rakyat Afghanistan yang unik dan eksotik. Selamat membaca ...


catatan:
Enggak heran kalau Nop Nop, sahabat saya yang berbaik hati meminjamkan buku ini, wanti-wanti supaya bukunya dijaga, jangan sampe rusak apalagi  ilang dan kudu dibalikin. Makasih ya Nop, buku ini memang bagus banget.

Monday, December 27, 2010

what you get is what you need

sometimes struggles are exactly what we need in our lives

i asked for strengh
Allah gave me difficulties to make strong

i asked for wisdom
Allah gave me problems to solve

i asked prosperity
Allah gave me brain and brawn to work

i asked for courage
Allah gave me danger to overcome

i asked for love
Allah gave me troubled people to help

i asked for favors
Allah gave me opportunities

then i knew

Allah gave nothing i wanted
but ...
Allah gave everything i needed!

(anonym)