Wednesday, September 29, 2010

CerMin (Cerita Minimalis) Sayang Istri ?



Seorang suami sedang menunggui istrinya yang sedang menjelang maut.  Dengan raut muka sedih ia berkata pada istrinya, "Mah ... aku berjanji, tidak akan menikah lagi .... sebelum kuburannmu mengering ....". 


Mendengar perkataan itu, sang istri lalu memanggil anaknya dan berkata, "Nak, kalau ibu meninggal, jangan lupa yah, selalu sirami makam ibu dengan air, supaya selalu basah dan tidak kering ...."

Si anak mengangguk.

Lalu sang istri pun menutup mata dengan tenang. Sang suami  cuma bisa bengong ......




catatan:

cerita ini begitu populer. entah siapa pengarang aslinya ...

Monday, September 27, 2010

Engkau Akan Selalu Menjadi Tamu Istimewaku


ada alasan mengapa aku ingin mencatat kehadiranmu pagi ini di rumah mayaku ini. karena kehadiranmu sudah membuatku takjub di pinggiran kota yang makin padat dan pengap oleh debu dan asap polusi serta genangan air ini. kupikir engkau sudah punah karena tumbuhan hijau dan bunga-bunga tempatmu singgah dan bermetamorfosis sudah jarang di kota ini.


tapi pagi ini, tubuh kecilmu dengan warna sayap putih polos terbang lincah kian kemari di halaman belakang rumahku, bersama sinar matahari yang hangat dan lembut dan titik-titik air di dedaunan sisa rintik hujan.

saking lincahnya, lensa kamera pinjaman yang aku pegang begitu gugup menangkap gerakanmu. Ah, ternyata engkau bukan tipikal hewan cantik yang narsis ... hingga aku biarkan engkau terbang bercengkerama dengan dedaunan, titik-titik air dan rumput gajah mini. Maaf tak ada pohon bunga yang berkembang, karena sekarang musim hujan dan musim banjir,  bukan musim semi.

hmmm... senangnya bisa melihat kehadiran kupu-kupu. aku  pikir engkau malaikat kecil atau peri baik hati yang sedang turun ke bumi, karena sayapmu yang berwarna putih bersih.  tahukah engkau, aku benci makhluk indah sepertimu diasosiasikan dengan keburukan "si kupu-kupu malam". dan tahukah engkau, kemunculanmu menjadi mitos yang begitu dipercaya banyak orang bahwa akan ada seorang tamu yang akan datang.

aku tak percaya mitos. tapi aku selalu senang melihat kehadiran seekor kupu-kupu di rumahku. sejelek apapun warna sayapnya. bagiku engkaulah si tamu itu. maka, jika engkau datang, kubiarkan engkau masuk dan terbang bebas di rumahku. kapan mau datang lagi? atau besok aku  atau anak cucuku tidak akan pernah lagi melihat wujudmu yang nyata .... karena engkau sudah tak bermetamorfosis lagi akibat lingkungan dan alam yang sudah begitu rusak oleh ulah manusia ...

kupu-kupu yang lucu
kemana engkau terbang
hilir mudik mencari
bunga-bunga yang kembang
berayun-ayun
pada tangkai yang lemah
tidakkah sayapmu
merasa lelah ....

gambar pnijem dari sini

Tuesday, September 21, 2010

Jilbab Pertamaku di Tanah Suci


Sebetulnya saya pernah menulis tentang pengalaman pertama berjilbab atau lebih tepatnya saat saya memilih mengenakan jilbab di sini sekitar dua tahun yang lalu.  Kemarin saya membaca posting Dian Onasis yang menggelar lomba menulis bertema "Jilbab Pertamaku", saya jadi tertarik untuk menuliskan kembali pengalaman itu untuk dikirim ke lomba ini, sambil memulai menulis dan meng-up date-rumah kecil saya di multiply ini. Jadi semangatnya memang untuk melemaskan kembali otak dan jari jemari merangkai kata dan kalimat, soal  menang atau tidak itu urusan Allah Swt dan Mbak Dian selaku panitia lomba, betul gak mbak Dian? hehehe ....  Baiklah, saya mulai saja pengalaman jilbab pertama saya ...


Di masa SMA dulu (tahun akhir 80-an-awal 90-an), saya memang sering mendengar atau membaca berita betapa siswi yang memutuskan mengenakan jilbab--terutama di sekolah-sekolah negeri--sering menghadapi masalah dan harus melakukan perlawanan terhadap kebijakan sekolah yang melarang siswinya berjilbab. Saya merasa, itulah awal mula saya mulai mengenal jilbab, meski baru pada sebatas "kata" dan "kasus" saja, belum memahami mengapa orang memilih mengenakan jilbab dan begitu gigih mempertahankan keyakinannya.

Seiring waktu berjalan, lepas SMA dan selama di bangku kuliah, saya tidak pernah memikirkan jilbab lagi. Tapi saya tahu, ada perkembangan positif bahwa masa itu siswi sekolah sudah lebih longgar mengenakan jilbab, tidak ada lagi tindakan represif terhadap siswi berjilbab dan saya pun melihat makin banyak muslimah-muslimah berjilbab.

Saya tidak ingat kapan tepatnya, tapi mungkin karena saya melihat sudah makin banyak muslimah berjilbab, saya jadi sering memperhatikan mereka dan mulai menyimpan rasa kagum pada mereka yang berjilbab. Rasanya koq hati saya sejuk dan teduh setiap kali melihat mereka yang berjilbab. Apalagi jika mereka betul-betul mengenakan baju muslim, terlihat anggun, elegan dan cantik. Meski demikian ... hati saya cuma sebatas mengagumi, belum tergerak untuk ikut mengenakannya. Terus terang, saat itu saya masih mempertimbangkan bahwa mengenakan jilbab itu pasti ribet dan repot sekali yah, harus dipeniti'in lah, belum lagi kalau wudu pasti harus dilepas semuanya, dan saya merasa belum pantes mengenakan jilbab. Yang ada di kepala saya saat itu, orang yang berjilbab pastilah sudah memiliki pengetahuan agama yang mumpuni dan tentu saja sudah berperilaku Islami.

Sampai suatu hari di tahun 2002, tanpa disangka-sangka, saya mendapat tugas liputan haji ke tanah suci. Tentu saja saya senang, bertugas sambil menunaikan rukun Islam ke-5, Alhamdulillah. Semuanya saya jalani ringan-ringan saja, termasuk mengenakan jilbab selama berada di tanah suci. Saya tidak merasa ribet atau aneh mengenakan jilbab. Justru merasa nyaman . Tapi, tetap saja, belum terlintas sedikit pun di benak saya bahwa saya akan mengenakan jilbab selamanya.

Hingga suatu malam, saat saya, big bos kantor saya dan istrinya-- yang kebetulan berbarengan menunaikan haji saat itu--sedang berjalan-jalan di selasar pertokoan di kota Madinah, pak big bos bertanya pada saya apakah setelah selesai haji nanti saya akan tetap mengenakan jilbab? Sejenak hati saya tersentak oleh pertanyaan itu. Saya tak segera menjawabnya. Diam sejenak. Sejurus kemudian saya berkata pelan "Insya Allah pak .." sambil tersenyum tak yakin. Big bos saya dan istrinya pun sepertinya tidak mendengar jawaban saya itu, karena mereka kembali asyik melihat-lihat suasana kota Madinah di malam hari. Saya juga kembali tenggelam dengan peribadahan dan tugas liputan di hari-hari selanjutnya.

Soal jilbab kembali mengusik saya menjelang hari-hari terakhir saya di tanah suci. Di kota Mekkah, saya banyak merenung sebelum tidur sambil memandang masjid Haram dari jendela hotel tempat saya menginap. Saya kembali menanyakan pada diri saya sendiri, untuk apa saya ke sini, mengapa saya bisa tiba di sini dan akankah ibadah haji ini akan memberi makna bagi kehidupan saya selanjutnya, atau ibadah ini sama sekali tidak akan meninggalkan kesan dan cuma perjalanan biasa saja ? Bagaimana saya mensyukuri dan mempertanggung jawabkan anugrah haji ini jika sepulangnya nanti saya masih menjadi "orang yang sama", paling tidak ada keinginan kuat untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslimah, salah satunya mematuhi perintah menutup aurat.

Perenungan yang panjang itu akhirnya menguatkan hati saya untuk tetap berjilbab sepulangnya ke tanah air nanti. Alhamdulillah, hingga saat ini saya masih mengenakannya, walau mungkin masih belum sempurna dan harus tertatih-tatih menghadapi aneka benturan. Tapi saya percaya bahwa Allah Swt akan selalu memberikan jalan bagi umatnya dengan caraNya sendiri. Semoga Allah menolong saya untuk tetap istiqomah dengan jilbab ini. Amiin.


*** Lomba Menulis "Jilbab Pertamaku"  Dian Onasis :

http://cambai.multiply.com/journal/item/339/Lomba_Menulis_Tema_Jilbab_Pertama_ku..._




Sunday, September 5, 2010

Kaya Harta, Tapi Miskin Hati

Pemandangan yang sama selalu berulang setiap menjelang hari raya.  Meski sudah sering jatuh korban sia-sia, entah kenapa sepertinya kita tidak pernah (atau tidak mau?) belajar dari pengalaman, apalagi pengalaman buruk untuk menjadi lebih baik. Sayang sekali jika niat baik bersedekah harus ternoda karena justru "menyiksa" orang yang akan diberi sedekah ...

Mereka berdesak-desakan di depan pintu pagar rumah si pemberi sedekah hanya untuk mendapatkan sembako, kain sarung dan rupiah.  Orang-orang lanjut usia ikut serta, anak balita dibawa ibunya, tak peduli resiko tergencet-gencet bahkan mungkin terinjak-injak. Kita yang melihatnya, bakal mengelus dada dan tanpa sadar mungkin bakal buka suara, "Ya ampun, cuma buat dapetin begituan aja, sampai mau-maunya desek-desekan kayak gitu..."


Yah, buat kita yang sudah hidup di "zona nyaman" mungkin akan mudah berkata seperti itu. Tapi buat mereka yang papa, segenggam beras, setetes minyak goreng, sehelai kain sarung murahan, lima lembar seribuan, adalah harta karun yang berharga dan untuk itu mereka bersedia "berjuang keras" untuk mendapatkannya. Tak ada yang salah dengan mereka, karena itulah bagian dari mozaik kemiskinan negeri kita.

Tetapi selalu saja sebuah pertanyaan mengganggu pikiran saya setiap kali melihat pemandangan seperti itu lewat pemberitaan di televisi, terutama menjelang hari Raya Idul Fitri. Pertanyaan itu, mengapa si miskin yang harus selalu menderita bahkan untuk mendapatkan sedekah dari si kaya.  Tidak bisakah si kaya yang mendatangi si miskin untuk memberikan sedekahnya dengan tangannya sendiri? Soal bagaimana teknisnya, tokh mereka bisa mendata terlebih dulu berapa warga miskin yang akan mereka santuni?

Bukankah lebih mulia jika si kaya mendatangi si miskin, memberi sedekah sekaligus bersilaturahmi dan menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan mereka di tengah lilitan kemiskinan yang mereka jalani. Saya tidak tahu bagaimana ajaran Islam memandang cara memberi sedekah yang "merepotkan"  dan "menyusahkan" orang-orang miskin itu. Setahu saya, para pemimpin-pemimpin Islam di masa Rasulullah Saw dan sahabatnya, selalu mendatangi dan mendekati rakyatnya yang miskin, bukan minta didatangi untuk menerima bantuan atau sedekah yang mereka berikan.

Sedekah bukan hanya sekedar menunaikan perintah agama, tanpa makna. Jika melihat langsung keadaan yang sesungguhnya saudara-saudara kita yang miskin, kita selayaknya tersentuh untuk sedikit meringankan kesusahan itu dengan tidak membuat mereka tergencet-gencet saat menerima sedekah kita dan bukan sekedar tahu bahwa mereka miskin.

Betapa nikmatnya jika bukan cuma kaya harta, tapi juga kaya hati dengan selalu mendatangi si miskin bukan hanya minta didatangi.

Ya Allah, hanya dari Engkaulah semua kebenaran ...


*** gambar kedua pinjem di sini

Thursday, September 2, 2010

.... Serem ....

Yang bikin saya serem sebenarnya bukan isi ceritanya, tapi dampaknya pada anak yang mendengar cerita itu.  Jadi gini ceritanya,  sore itu saya sedang duduk sendiri di kursi panjang di depan swalayan sebuah mall di kawasan buncit. Menikmati sekerat roti dan teh kotak, menu buka puasa saya hari itu.

Sedang khusyuknya makan. Datanglah serombongan keluarga, seorang ibu dengan tiga anaknya dan seorang mbak-mbak yang kemudian saya tahu adalah pembantu rumah tangga keluarga itu. Sejenak terjadi kehebohan saat si ibu ngatur anak-anaknya yang masih kecil (sepertinya yang paling besar--dari psotur badannya--masih kelas dua atau tiga SD). Saya tersenyum melihat kerepotan si ibu mengatur dan membujuk anak-anaknya supaya tertib.

Kehebohan itu berakhir, ketika akhirnya si ibu berhasil membujuk anaknya yang paling besar, perempuan, untuk makan (mungkin berbuka)  dan mengajak dua anaknya yang lebih kecil masuk ke swalayan.  Si "mbak" tadi duduk di samping saya, sedangkan si anak perempuan duduk di depannya di kursi berbeda. Kelihatannya, si anak tipe yang susah makan, karena si "mbak" yang sudah siap nyuapin berusaha keras membujuk si anak supaya mau makan. Dan akhirnya, terdengarlah cerita itu dari mulut si "mbak" agar anak asuhannya mau makan.

"Kemarin, ada perempuan yang jatuh, terjun dari loteng rumahnya. Dia bunuh diri. Kasihan deh, perempuan itu mati. Padahal perempuan itu cakep deh. serem kan ..."

tuing ! antena radar saya langsung bereaksi mendengar cerita itu. Cerita yang menurut saya tidak pas untuk anak sekecil itu. sejenak saya melirik ke mereka, dan melihat si anak mau membuka mulutnya menerima suapan nasi si "mbak".  Saya tidak tahu, apakah si anak mau makan karena memang tertarik dengan cerita si "mbak"nya.

Lalu cerita berlanjut ... yang membuat saya makin "terhenyak" mendengarnya ...

"Eh, enggak tahunya perempuan itu mati bukan bunuh diri. Dia mati karena didorong pacarnya, dibunuh.  Pacarnya sebel, karena perempuan itu tahu dia selingkuh. Perempuan itu marah. Pacarnya juga marah. Akhirnya perempuan itu didorong deh sampe jatuh dan mati ..... Pacarnya jahat ... "

Sampai disitu,  saya merasakan tenggorokan saya kering dan hampir tersedak. Astagfirullah .... cerita macam apa ini? kenapa cerita seperti ini yang disampaikan pada si anak? apakah si ibu tahu kalau si "mbak" nya ngarang cerita "horor" ini untuk membujuk anak-anaknya yang rewel? Bagaimana kalau cerita kayak gini juga diceritakan pada adik-adiknya yang masih kecil? Akankah cerita ini akan terekam di otak mereka? kata pacar, bunuh diri, selingkuh, dibunuh ... kosakata yang rasanya terlalu dini buat anak-anak seusia mereka.

Saya tak tahu,  kalimat-kalimat apa lagi yang diucapkan si "mbak" itu. Otak saya sibuk  mencerna  apa yang saya dengar dan saya saksikan dan saya juga harus segera pergi karena teirngat belum salat magrib. Dengan perasaan kasihan, saya memandang sekilas wajah si anak yang mendengarkan cerita si "mbak"nya sambil mengunyah makanan.

Duh, para ibu, berhati-hatilah dengan pembantu yang menjaga anak ibu. Sebaiknya mereka diberi pengarahan cerita macam apa yang boleh disampaikan pada anak-anak. Mungkin, sediakan buku-buku cerita anak, yang bisa dibaca sama si "mbak" saat membujuk anak ibu yang "berulah".sementara ibu tak ada di dekat anak-anaknya.