Tuesday, September 21, 2010

Jilbab Pertamaku di Tanah Suci


Sebetulnya saya pernah menulis tentang pengalaman pertama berjilbab atau lebih tepatnya saat saya memilih mengenakan jilbab di sini sekitar dua tahun yang lalu.  Kemarin saya membaca posting Dian Onasis yang menggelar lomba menulis bertema "Jilbab Pertamaku", saya jadi tertarik untuk menuliskan kembali pengalaman itu untuk dikirim ke lomba ini, sambil memulai menulis dan meng-up date-rumah kecil saya di multiply ini. Jadi semangatnya memang untuk melemaskan kembali otak dan jari jemari merangkai kata dan kalimat, soal  menang atau tidak itu urusan Allah Swt dan Mbak Dian selaku panitia lomba, betul gak mbak Dian? hehehe ....  Baiklah, saya mulai saja pengalaman jilbab pertama saya ...


Di masa SMA dulu (tahun akhir 80-an-awal 90-an), saya memang sering mendengar atau membaca berita betapa siswi yang memutuskan mengenakan jilbab--terutama di sekolah-sekolah negeri--sering menghadapi masalah dan harus melakukan perlawanan terhadap kebijakan sekolah yang melarang siswinya berjilbab. Saya merasa, itulah awal mula saya mulai mengenal jilbab, meski baru pada sebatas "kata" dan "kasus" saja, belum memahami mengapa orang memilih mengenakan jilbab dan begitu gigih mempertahankan keyakinannya.

Seiring waktu berjalan, lepas SMA dan selama di bangku kuliah, saya tidak pernah memikirkan jilbab lagi. Tapi saya tahu, ada perkembangan positif bahwa masa itu siswi sekolah sudah lebih longgar mengenakan jilbab, tidak ada lagi tindakan represif terhadap siswi berjilbab dan saya pun melihat makin banyak muslimah-muslimah berjilbab.

Saya tidak ingat kapan tepatnya, tapi mungkin karena saya melihat sudah makin banyak muslimah berjilbab, saya jadi sering memperhatikan mereka dan mulai menyimpan rasa kagum pada mereka yang berjilbab. Rasanya koq hati saya sejuk dan teduh setiap kali melihat mereka yang berjilbab. Apalagi jika mereka betul-betul mengenakan baju muslim, terlihat anggun, elegan dan cantik. Meski demikian ... hati saya cuma sebatas mengagumi, belum tergerak untuk ikut mengenakannya. Terus terang, saat itu saya masih mempertimbangkan bahwa mengenakan jilbab itu pasti ribet dan repot sekali yah, harus dipeniti'in lah, belum lagi kalau wudu pasti harus dilepas semuanya, dan saya merasa belum pantes mengenakan jilbab. Yang ada di kepala saya saat itu, orang yang berjilbab pastilah sudah memiliki pengetahuan agama yang mumpuni dan tentu saja sudah berperilaku Islami.

Sampai suatu hari di tahun 2002, tanpa disangka-sangka, saya mendapat tugas liputan haji ke tanah suci. Tentu saja saya senang, bertugas sambil menunaikan rukun Islam ke-5, Alhamdulillah. Semuanya saya jalani ringan-ringan saja, termasuk mengenakan jilbab selama berada di tanah suci. Saya tidak merasa ribet atau aneh mengenakan jilbab. Justru merasa nyaman . Tapi, tetap saja, belum terlintas sedikit pun di benak saya bahwa saya akan mengenakan jilbab selamanya.

Hingga suatu malam, saat saya, big bos kantor saya dan istrinya-- yang kebetulan berbarengan menunaikan haji saat itu--sedang berjalan-jalan di selasar pertokoan di kota Madinah, pak big bos bertanya pada saya apakah setelah selesai haji nanti saya akan tetap mengenakan jilbab? Sejenak hati saya tersentak oleh pertanyaan itu. Saya tak segera menjawabnya. Diam sejenak. Sejurus kemudian saya berkata pelan "Insya Allah pak .." sambil tersenyum tak yakin. Big bos saya dan istrinya pun sepertinya tidak mendengar jawaban saya itu, karena mereka kembali asyik melihat-lihat suasana kota Madinah di malam hari. Saya juga kembali tenggelam dengan peribadahan dan tugas liputan di hari-hari selanjutnya.

Soal jilbab kembali mengusik saya menjelang hari-hari terakhir saya di tanah suci. Di kota Mekkah, saya banyak merenung sebelum tidur sambil memandang masjid Haram dari jendela hotel tempat saya menginap. Saya kembali menanyakan pada diri saya sendiri, untuk apa saya ke sini, mengapa saya bisa tiba di sini dan akankah ibadah haji ini akan memberi makna bagi kehidupan saya selanjutnya, atau ibadah ini sama sekali tidak akan meninggalkan kesan dan cuma perjalanan biasa saja ? Bagaimana saya mensyukuri dan mempertanggung jawabkan anugrah haji ini jika sepulangnya nanti saya masih menjadi "orang yang sama", paling tidak ada keinginan kuat untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslimah, salah satunya mematuhi perintah menutup aurat.

Perenungan yang panjang itu akhirnya menguatkan hati saya untuk tetap berjilbab sepulangnya ke tanah air nanti. Alhamdulillah, hingga saat ini saya masih mengenakannya, walau mungkin masih belum sempurna dan harus tertatih-tatih menghadapi aneka benturan. Tapi saya percaya bahwa Allah Swt akan selalu memberikan jalan bagi umatnya dengan caraNya sendiri. Semoga Allah menolong saya untuk tetap istiqomah dengan jilbab ini. Amiin.


*** Lomba Menulis "Jilbab Pertamaku"  Dian Onasis :

http://cambai.multiply.com/journal/item/339/Lomba_Menulis_Tema_Jilbab_Pertama_ku..._




20 comments:

  1. eh bu haji. :D
    waktu itu masih kerja di radio?

    ReplyDelete
  2. wah seru len, ceritanya.....semoga dengan dibagi banyak muslimah lain yang terpanggil.....amin

    ReplyDelete
  3. wuah dua kali komen IE nya eror..
    makasih udah ikutan ya mbak lena.. semoga otak dan jemarinya sudah kembali asyik bercerita di blog MP lagi..)

    ReplyDelete
  4. iyah nih mbak MP lagi error kali ya.
    makasih juga mbak. Insya Allah produktif nulis lagi. Kadang otak kelewat penuh ide, jari-jari malah gak nulis apa-apa ...:)

    ReplyDelete
  5. iyah nih mbak MP lagi error kali ya.
    makasih juga mbak. Insya Allah produktif nulis lagi. Kadang otak kelewat penuh ide, jari-jari malah gak nulis apa-apa ...:)

    ReplyDelete
  6. alhamdulillah...

    seneng baca pengalaman2 kyk gini..
    hhehe...

    belum kontak mb,
    salam kenal

    dzi

    ReplyDelete
  7. salam kenal juga dzi, terima kasih

    ReplyDelete
  8. senang bacanya...semoga istiqomah ya mba :)

    ReplyDelete