Wednesday, December 29, 2010

Ber "Selimut Debu" di Afghanistan

Seorang polisi gendut memerintahkan semua orang turun, berbaris di tepi mobil. Ketika giliran saya, ia meraba-raba tubuh saya sambil menginterogasi.
"In chi ast? Ini apa?"
"Kamera"
"Chi ast?"
"Dompet"
"Chi ast?"
Saya terpekik kaget. Sempat-sempatnya polisi ini meremas kemaluan saya. Ia menyeringai penuh kemenangan.

***

"Ya Allah Khair ... Ya Allah Khair ! Ya Tuhan, tolong ...!" seru saya setiap kali mobil yang saya tumpangi menikung tajam. Penumpang lain tertawa. "Ini sudah biasa. Koi zabardast nehi hai. Tak istimewanya sama sekali." Bagi saya, perjalanan itu sudah membuat saya menjadi lebih mencintai hidup.

***

Nyawa sudah tidak ada lagi harganya. Bahkan orang mulai menertawai nasib. Kandahari pernah menceritakan lelucon tentang orang yang pergi ke bazaar untuk membeli kepala kambing.
"Berapa harganya ini?" tanya si pembeli.
"Lima puluh Afghani," jawab si penjual.
"Lima puluh? Terlalu mahal ! Dua puluh saja," si pembeli menawar.
"Apa? Dua puluh Aghani? kamu gila? kami kira ini kepala manusia?
Kepala manusia sekarang sudah lebih murah daripada kepala kambing.

***

Itulah penggalan-penggalan pengalaman Agustinus Wibowo berkelana selama berbulan-bulan, menyusuri pedalaman Afghanistan yang ia tulis dalam buku berjudul "Selimut Debu."  Setidaknya ada dua orang yang merekomendasikan saya membaca buku ini, dan harus saya akui, buku ini memang sangat "berisi" dan berhasil mengaduk-aduk perasaan saya saat membacanya. Ada banyak kejutan, ada kengerian, kepedihan, kelucuan dan keindahan yang dituliskan Agustinus dalam buku ini, yang membuat saya tercengang, iba, prihatin sekaligus kagum pada Afghanistan, keunikan budaya dan masyarakatnya yang multi etnis.

"Di manapun di Afghanistan, tidak pernah saya bisa lari dari tontonan yang satu ini. Laki-laki Afghanistan, dibalik adat patriarkat dan machoisme yang sudah ditandingi bangsa manapun, dibalik jubah dan jenggot tebal mereka, ternyata penggemar sinetron feminin ..."

"Mehman navazi, keramahtamahan, adalah jalan hidup. Di sini, perang berkepanjangan tak melunturkan rasa cinta sebagai bagian dari harkat kemanusiaan ...."

Demikian tulis Agustinus. Membaca catatan perjalanannya, mengingatkan saya pada novel best-seller "Kite Runner" dan "A Thousand Splendid Suns" karya penulis asal Afghanistan Khaleed Hosseini yang berlatar belakang tentang Afghanistan, tradisi, masyarakatnya dan perang tiada akhir yang telah memporakporandakan dan mempengaruhi tatanan kehidupan sosial di negeri itu.

Tapi "Selimut Debu" bukan novel, buku ini adalah "kisah nyata",  catatan perjalan seorang anak muda (eh, masih muda gak sih :))  yang gemar avonturir. Membaca buku ini akan membuka cakrawala dan bisa jadi mengubah cara pandang kita tentang sebuah negeri bernama Afghanistan, Taliban, ada apa sebenarnya di negeri itu, dan banyak hal lain yang jarang terekspose media massa.

Apa yang terlintas di benak kita mendengar kata "Afghanistan"? Kita mungkin bakal mikir seribu kali untuk melakukan perjalanan ke negeri ini, apalagi sebagai tujuan wisata. Kita mungkin akan menyebut "orang gila" buat mereka yang sengaja bepergian untuk jalan-jalan ke negeri yang masih dalam kecamuk perang itu.

Tapi bagi seorang Agustinus Wibowo, Afghanistan adalah magnet yang selalu menariknya ingin kembali ke negeri itu. "Tatapan mata orang Afghanistan itu sangat dahsyat," begitu kata Agustinus dalam sebuah wawancara di televisi, meski Agustinus tidak pernah menggambarkan sedahsyat apa tatapan mata orang Afghanistan yang membuatnya selalu ingin kembali ke negeri berdebu itu. (atau mungkin saya yang terlewat membacanya?).

Membaca pengalamannya selama berada di Afghanistan dalam "Selimut Debu" menunjukkan bahwa Agustinus bukan seorang backpaker atau petualang biasa, yang mendatangi suatu tempat, menikmati keindahannya, motret sana, motret sini, lalu pergi. Agustinus melakukan lebih dari itu, ia juga berinteraksi dan menyelami kehidupan masyarakat yang disambanginya, sehingga perjalanannya lebih bermakna dan membuat, setidaknya saya, lebih mengenal karakter dan tipikal sebuah bangsa, selain tentu adat istiadatnya.

Lain ladang, lain belalang, Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.  Begitu kata pepatah. Jika ingin tahu seperti apa Afghanistan sebenarnya tapi belum punya nyali untuk berkelana ke negeri itu,  "Selimut Debu" siap membawa kita ke lembah-lembah, pegunungan,  padang pasir, sungai-sungai, padang rumput  sampai ke  zona perang dan bertemu dengan aneka rupa tipikal rakyat Afghanistan yang unik dan eksotik. Selamat membaca ...


catatan:
Enggak heran kalau Nop Nop, sahabat saya yang berbaik hati meminjamkan buku ini, wanti-wanti supaya bukunya dijaga, jangan sampe rusak apalagi  ilang dan kudu dibalikin. Makasih ya Nop, buku ini memang bagus banget.

Monday, December 27, 2010

what you get is what you need

sometimes struggles are exactly what we need in our lives

i asked for strengh
Allah gave me difficulties to make strong

i asked for wisdom
Allah gave me problems to solve

i asked prosperity
Allah gave me brain and brawn to work

i asked for courage
Allah gave me danger to overcome

i asked for love
Allah gave me troubled people to help

i asked for favors
Allah gave me opportunities

then i knew

Allah gave nothing i wanted
but ...
Allah gave everything i needed!

(anonym)

Saturday, November 27, 2010

Merapi, Cerita Dibalik Layar


All my bags are packed, i am ready to go, sembari menutup resleting laptop yang bakal di bawa besok.  Ya, hari Senin (15 November 2010) saya
akhirnya jadi berangkat buat menjalankan amanah dari MP4 Palestine menjadi relawan traumatic healing anak-anak korban letusan gunung Merapi yang berada di pengungsian, bersama Kak Nop Nop.

Sebelum berangkat  keesokan harinya, rasanya sudah di check dan recheck
tidak ada barang yang tertinggal. Baru sadar di tengah jalan menuju meeting point deket Kampung Rambutan  bahwa charger laptop ketinggalan. Pantesan ... tas laptop koq tumben agak ringan yah, tapi waktu masih di rumah gak curiga ada yang ketinggalan. Walhasil, telpon ke rumah, minta tetangga pake motor nganterin charger laptop. Untungnya, Pak Maryadi yang bakal nganterin berbaik hati mau nungguin itu charger laptop datang ... tengkyu ya Pak ...



Alhamdulilllah hati pun tenang karena si charger sudah ditangan. Perjalanan hari itupun lancar sampai ke base camp relawan di Solo.
Tapi emang dasar pelupa kali yah. Ternyata ada barang kecil, yang
kelihatannya sepele tapi sangat penting, juga ketinggalan. Sisir !
Ironisnya, Nop Nop--kepala suku di MP4P--juga enggak bawa sisir. Katanya sih dia sengaja gak bawa sisir karena jemang arang nyisir. Jadilah selama
lima hari nyisir seadanya pake lima jari. Pertolongan baru datang ketika Lulu dan dedek Bilqis nyusul ke Solo dan membawakan kami sisir. So, baru hari Sabtu saya bisa nyisir dengan layak. Rasanya jadi pengen nyisir mulu ...




Selain insiden sisir dan charger. Insiden lainnya adalah pop mie. Jadi
ceritanya, buat antisipasi kalau laper di malam hari (karena seringkali baru tidur lewat tengah malam, buat persiapan ke pengungsian besok atau cuma ngobrol ngalor ngidul sama Nop Nop) saya beli pop mie. Suatu malam, karena agak laper,  saya seduh pop mie. Semua bumbu sudah masuk. Tapi begitu dimakan, rasanya koq aneh yah, enggak seenak yang pernah saya makan dulu.



Menghibur diri, saya mikir mungkin rasa pop mienya beda, jadi rasanya rada aneh. Tapi, ketika pop mie dalam kemasan sudah setengah saya lahap,
garpu plastik yang gunakan terasa menyentuh benda aneh di dalam kuahnya.  Apaan yah ? sambil saya aduk-aduk untuk mencari benda itu. Begitu ke angkat, benda itu adalah..... bungkusan bumbu minyaknya yang terrnyata keselip di dalem. Pantesan rasa pop mienya rada anyep, lah wong bumbu utamanya ketinggalan di dalem, masih dalam bungkusan plastik kecil ... mau dimasukin juga tanggung, pop mie nya dah mau abis, lanjutkan sajalah makannya ...



Sebetulnya masih ada cerita-cerita "kocak" lainnya selama seminggu jadi
relawan pengungsian Merapi. Tapi maaf gak bisa di-share di sini. Termasuk proses membantu penerjemahan yang rada unik. Di hari terakhir, saya membantu salah seorang dokter relawan, ceritanya jadi interpreter. Tapi nyatanya, saya juga butuh penerjemah, penerjemah bahasa Jawa karena saya enggak bisa bahasa Jawa, sementara ada pasien, umumnya yang lansia gak bisa bahasa Indonesia. Jadi, dari bahasa Jawa diterjemahkan ke bahasa Indonesia, baru diterjemahkan lagi ke bahasa Inggris biar dokternya ngerti ...


Tapi pengalaman seminggu bersama anak-anak dan para pengungsi Merapi sungguh berkesan. Makin banyak belajar tentang kehidupan, bertemu orang-orang baru yang menjadi sahabat-sahabat baru, membuat saya se
lalu teringat mereka dan mulai berpikir untuk jadi relawan profesional, ikut UNHCR (badan urusan pengungsi PBB)  misalnya .... bisa gak yah ....



Thursday, November 11, 2010

"Pagi-Pagi Makan Sayur Lodeh, Salaman Dweeehh ..."


Tapi begitu melihat berita di Metro TV dinihari, Jumat (12/11) tadi, saya jadi tergelitik untuk sekedar menulis catatan ini. Tadinya sih enggak pengen banget deh ikut ngomentarin soal insiden salaman Menkominfo Pak Tifatul dengan Michele Obama yang ramai dipergunjingkan di jagat maya.

Tayangan berita Metro TV menyebutkan bahwa "insiden salaman" itu ternyata menjadi pemberitaan seru di tv-tv AS dan sudah pasti menjadi bahan olok-olokan di sana. Metro TV juga menampilkan seorang,  saya lupa apa dia anchor tv atau salah satu satu tokoh masyarakat di AS, mengolok-olok Menkominfo Indonesia atas insiden salaman itu di televisi dan setiap orang itu bicara disambut gelak tawa. Seolah insiden salaman Tifatul dengan Michele Obama adalah sebuah bahan lawakan yang amat sangat lucu.(Srimulat ajah kalah lucu kali ...)

Yang lebih seru lagi, sebuah tv AS, masih menurut pemberitaan Metro TV, menjadikan "insiden salaman" yang tertangkap kamera itu sebagai "gambar terbaik" atau the best of the best (Lebay banget deh !)

Melihat berita itu, sebagai orang Indonesia (tanpa bermaksud membela Tifatul loh ya) saya koq sebel banget yah. Kurang ajar betul orang-orang itu, udah presidennya bikin susah di sini,  terus dengan arogannya menjadikan  "insiden salaman" itu sebagai bahan olok-olokan (yang menurut saya, mereka sebenarnya ingin menertawakan Indonesia). Ah, sungguh menyebalkan  ....

Di sisi lain, saya koq merasa (apa saya yang terlalu perasa yah ... ) tv-tv AS itu sebenarnya ingin mencela Islam. Secara gitu loh, pak Tiffatul adalah tokoh dari partai Islam yang dikenal taat menjalankan syariat Islam, termasuk dalam masalah salaman antara lelaki dan perempuan. Tahu sendiri lah, di Amerika sono, meski ngakunya sebagai negara demokrasi dan menghormati kebebasan, mayoritas warganya dan para politisinya masih mengidap penyakit Islamofobia akut.

Well, alih-alih Indonesia dapat untung atas kedatangan Obama, malah jadi buntung, karena "insiden salaman" pak menteri yang dikenal suka berpantun itu. Menyedihkan banget gak sih ...

Tapi tetap ada hikmah dibalik sebuah peristiwa buruk. Pelajaran yang mungkin bisa kita (tepatnya saya) ambil adalah bahwa kita sebagai bangsa (utamanya Muslim) memang harus punya wibawa, tegas dalam menghadapi "gaya AS." Lebih dari itu, jika kita sudah meyakini sesuatu, adalah tanggung jawab kita untuk menjaga konsistensinya. Dalam kasus Pak Tif, jika selama ini memegang prinsip untuk tidak saling bersentuhan tangan saat salaman dengan yang bukan muhrim, yang mestinya konsisten. Tapi Pak Tif manusia juga yang bisa khilaf, kelewat grogi kali yah saat Michele mengulurkan tangan.

Eh, tapi, saya jadi inget sebuah foto ketika Presiden Ahmadinejad datang ke Indonesia. Beliau dengan anggun cuma membungkukkan badan sedikit, ketika seorang perempuan mengulurkan tangan untuk bersalaman. Apa boleh dalam hal salaman pun, sepertinya kita harus belajar dari Kang Ahamdinejad .

Sebagai penutup tulisan ini, izinkan saya sedikit berpantun ....


Pagi-pagi makan sayur lodeh (gimana coba tuh rasanya)
gara-gara grogi, jadi salaman dweeh ...

no hard feeling ya Pak Tif ... peace ... peace ....


***gambar dari sini

Wednesday, November 10, 2010

Sebuah Ironi di Hari Pahlawan


Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, begitu katanya. Itulah sebabnya setiap Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November,  selalu digelar acara kenegaraan tabur bunga dan mengheningkan cipta. Entahlah kalau di sekolah-sekolah sekarang, apakah setiap tanggal 10 November masih digelar upacara untuk mengheningkan cipta?


Tak terbantahkan besarnya jasa para pahlawan Indonesia, terutama mereka yang gugur saat masa perjuangan melawan penjajahan dulu. Sudah sepantasnya kita sedikit meluangkan waktu untuk menundukkan kepala, mendoakan mereka, tapi yang lebih penting lagi mencoba menelaah lebih dalam lagi makna perjuangan yang telah para pahlawan itu lakukan untuk membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan.

Ada yang "istimewa" di Hari Pahlawan tahun ini. Kita kedatangan seorang tamu yang diperlakukan "sangat amat istimewa" (entah ini permintaan sang tamu, atau pemerintah kita yang kelewat lebay), beda dengan tamu-tamu negara lainnya. Dia adalah Presiden AS Barack Obama yang mengaku punya "keterikatan khusus" dengan Indonesia.  

Dan kita semua melihat euforia itu dimana-mana. Stasiun televisi menayangkan siaran langsung agenda Obama di Indonesia, mulai dari turun dari pesawat, acara makan malam dan pidatonya di UI (cuma Obama ke toilet saja mungkin yang tidak disiarkan secara langsung !). Media massa, utamanya televisi dengan pemberitaannya yang tidak proporsional seolah memaksa rakyat ini yang sedang prihatin oleh berbagai bencana, menelan mentah-mentah omongan Obama dan meyakinkan bahwa Obama adalah pemimpin yang hebat dan mencintai umat Islam, benarkah?

Dukungan Obama terhadap pendirian masjid di dekat Ground Zero, tak bermakna apa-apa, sepanjang kebijakan perangnya mash menumpahkan darah umat Islam di Irak, Afghanistan, Palestina dan negara muslim lainnya.

Setali tiga uang, dengan alasan menghormati tamu, pemerintah menutup akses jalan milik publik. Merelakan kepentingan rakyat sendiri dikorbankan demi "kenyamanan dan keamanan" Obama dan rombongannya, tak peduli kemacetan panjang menyiksa pengguna kendaraan.

Di Hari Pahlawan ini,  kedatangan Obama dan sikap berlebihan pemerintah, media tv, dan para "big fans" nya adalah sebuah ironi yang menyedihkan. Betapa tanpa sadar kita masih berada di bawah kendali "penguasa" negara lain.  Tak perlu lah bicara panjang lebar soal kedaulatan, kesetaraan, karena faktanya kita masih mudah didikte dan tidak memiliki posisi tawar di hadapan negara seperti AS.  Pendek kata, kita memang masih dijajah dan tertipu oleh bahasa imperialisme "negara sahabat" yang dihembuskan dengan halus.

Dan yang memprihatinkan lagi, para pejabat negeri ini seolah tak sadar bahwa mereka sedang menerima seorang pemimpin negara yang masih melakukan penjajahan atas negara lain, bahkan merampok habis-habisan kekayaan alam negeir ini Tak ada tekanan untuk Obama selama kehadirannya di sini, yang ada hanya bahasa basa-basi diplomasi, senyum sumringah dan pujian-pujian memuakkan. Adakah manfaat yang dirasakan bangsa ini setelah kedatangannya?

Entahlah, apakah para pahlawan yang telah gugur itu menangis di alam baka sana melihatnya. Maafkanlah kami wahai para pahlawan, karena kami masih menerima "penjajah" datang ke negeri ini tanpa sikap kritis sama sekali, karena kami belum mampu membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan, penjajahan modern yang sejatinya telah menghancurkan harga diri bangsa ini ...


*gambar dari sini

Sunday, November 7, 2010

Belahan Jiwa



....

suatu saat  dalam kehidupanmu

akan datang sebuah rasa

bernama cinta ...

dan pada saat yang sama

di suatu tempat

ada seseorang

yang mungkin tak pernah kau dengar namanya

tak pernah kau kenal sebelumnya

akan datang padamu

dengan perasaan yang sama

bernama cinta

saat itulah rahasia Allah terbuka

dialah belahan jiwamu

teman hidupmu

sampai engkau menutup mata

 ....

Monday, October 25, 2010

[Film] Seandainya Elizabeth Gilbert Seorang Muslim


Orang yang tidak memiliki pegangan hidup yang kuat  cenderung memiliki karakter yang lemah, mudah bingung, tak tahu untuk apa ia hidup dan tak tahu bagaimana ia harus mengisi kehidupannya, sehingga ia selalu merasa gelisah,  gamang  ketika menghadapi masalah dan merasa hidupnya tidak bahagia sampai harus mencari kebahagiaan itu, meski dengan biaya mahal.


Mudah-mudahan kalimat pembuka di atas tidak terkesan menggurui atau sok tahu. Kita semua, pada suatu masa  pasti pernah merasakan hal di atas, dengan kadar berbeda dan setiap orang juga berbeda dalam menyikapi dan mencari solusinya. Serius banget yah ....

Tapi persoalan semacam ini memang sangat serius dan kabarnya dialami banyak perempuan di negara-negara Barat yang tak kuat menghadapi tekanan hidup,  sementara kita tahu, gaya hidup dan budaya mereka cenderung jauh dari ajaran agama. Tak heran ketika Elizabeth Gilbert menerbitkan bukunya berjudul "Eat Pray Love", buku berisi pengalaman pribadi Gilbert itu laris manis, bahkan dalam waktu seminggu setelah terbit, buku itu terjual 35.000 copy ... wow, fantastis !

Melihat ada peluang "bisnis" dari buku yang fenomenal itu, sutradara Ryan Murphy mengangkat kisah nyata Gilbert ke layar lebar dengan judul sama dengan bukunya. Sosok Gilbert diperankan oleh aktris cantik berbibir seksi Julia Roberts. Di Indonesia, film ini jadi begitu mengundang rasa ingin tahu karena Bali dijadikan salah satu lokasi syuting sesuai kisah di buku itu. Kita tentu masih ingat euforia dan pemberitaan "gempar" kedatangan Julia Roberts dan syuting film itu di Bali yang bikin ribet banyak orang. Kabarnya sebuah lokasi pantai di Bali harus ditutup seharian untuk umum, gara-gara mengambil scene Julia Roberts sedang berenang. Yang membuat film ini ditunggu pecinta film di Indonesia, mungkin juga keterlibatan orang Indonesia, antara lain aktris Christine Hakim dalam film tersebut.

Intinya, "Eat Pray Love" bercerita tentang tipikal seorang perempuan Amerika yang sukses, memiliki kehidupan yang mapan, bisa  jalan-jalan keliling dunia dan memiliki seorang suami yang sangat mencintainya. Tapi semua itu ternyata tak membuatnya bahagia. Ia selalu merasa gelisah menjalani kehidupannya dan selalu ingin melarikan diri dari kegundahan hatinya. Tanpa alasan yang jelas, ia lalu menceraikan suaminya dan memilih pergi ke tempat yang ia anggap bisa menemukan kebahagian disana dan memuaskan semua keinginan hatinya. Ia pergi ke Italia untuk menikmati makanan enak, lalu ke India untuk belajar yoga dan meditasi,  terakhir ia terdampar di Bali dan di Pulau Dewata inilah Gilbert mendapatkan cinta baru. Sampai di situ, film "Eat Pray Love" selesai.

Adakah yang istimewa dari film ini? Menurut saya sih secara keseluruhan film ini biasa-biasa saja. Cukuplah untuk melepas kerinduan pada akting dan tawa renyah si "Pretty Woman". Tapi selalu ada hikmah yang bisa diambil dari pengalaman hidup orang lain bukan? Saya membayangkan jika Gilbert seorang muslim, tentu ia tidak akan sedemikian merana menghadapi kebingungan dalam hidupnya, tanpa harus pergi ke Italia bahkan ke dukun untuk mencari kebahagiaan dan ketenagan jiwa.  Karena bagi seorang muslim, pegangan hidupnya sudah jelas, Al-Quran dan Hadis yang menjadi tuntunan buat mereka dalam menjalani kehidupan ini, agar tidak tersesat dan tidak bingung harus berbuat apa ketika tertimpa masalah atau ketika hati sedang gundah, yang memberikan petunjuk untuk apa sebenarnya kita hidup dan bagaimana mengisi kehidupan itu, yang mengajarkan bahwa kebahagiaan itu tidak bisa dicari tapi kita ciptakan sendiri.

Seorang Gilbert seperti tak mengenal dirinya sendirinya bahkan kehilangan jati dirinya, karena tak punya pegangan hidup yang kuat yang memberinya petunjuk soal makna dan tujuan hidup ini. Ia hanya bicara pada Tuhan saat sedang sedih (itupun di kamar mandi) dan tak mampu bersyukur atas kemapanan yang telah dianugerahkan Tuhan untuknya.

Jadi beruntunglah kita sebagai muslim, khususnya musimah, yang diajarkan untuk ikhlas, sabar dan bersyukur dengan apapun yang menimpa kita. Sehingga, ketika kita menghadapi persoalan seberat apapun, kita tahu kemana kita harus berpaling dan kita sudah punya pegangan kuat yang menjadi petunjuk bagaimana kita harus menyikapi dan menyelesaikan persoalan itu.

Kalau banyak duit seperti Gilbert sih No Problemo mau jalan-jalan kemana dan pengen makan apa saja, tapi tak semua orang seberuntung Gilbert dalam hal materi. Bisa bunuh diri deh kalo gak kuat iman. Satu hal lagi yang penting dari pengalaman hidup Gilbert,  bahwa kekayaan materi bukan jaminan hidup bahagia.

Selamat menonton ...


Thursday, October 21, 2010

[Cerita Minimalis] "Enggak, Makan Di Sini Aja"


Seorang mas-mas datang ke sebuah toko bangunan.  Seorang pelayan toko pun melayaninya ...


pelayan : mau cari apa mas, bisa saya bantu?

mas-mas : saya mau beli paku beton, ada?

pelayan: ohhh, ada mas. mau beli berapa banyak?

mas-mas: sekilo aja ...

pelayan: pakunya dibungkus mas?

mas-mas: enggakkk .... makan di sini aja ...

pelayan: *#($)%)%*#&@&!&!*(#())$*&#$%%


(cerita Shahnaz Haque di Delta FM, yang bikin saya mesem-mesem sendiri)


[Curhat Colongan] Menuntut Bukannya Nuansa ...

Mau sharing aja nih..." kalau masy umum seperti mahasiswa terkena tindakan fisik aparat, spt kena pukul or tembakan, kan dianggap korban pelanggaran HAM oleh aparat, trus kalau aparat negara yang terkena pukulan atau bom molotov mahasiswa, bisa juga ngak dikatakan korban pelanggaran HAM oleh mahasiswa?"

Begitu status sahabat saya olivia di facebooknya. Saya pun langsung tergelitik mengomentarinya, dan komentar saya ;

dua-duanya jelas pelanggaran. mahasiswa, aktivis, atau apalah namanya, kalau dah jumwa mau mengkritik pemerintah seharusnya siap menghadapi resiko ketembak, kepentung dan sejenisnya, itu namanya pejuang sejati, kalau kesenggol dikit sama aparat dah menyek-menyek merasa ham nya dilanggar ... yah ke laut ajah deh ...

Kenapa saya tekankan pada mahasiswanya, bukan aparatnya? Dalam setiap aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa yang berakhir bentrokan dengan aparat, jik
a jatuh korban di pihak pengunjuk rasa, aparat memang selalu kambing hitam. Terlepas dari apakah si aparat memang menyalahi prosedur penanganan terhadap para pengunjuk rasa yang rusuh, tapi dari pengalaman saya saat masih di lapangan dan meliput aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa di era '98 dulu, kadang polah mahasiswa yang provokatif yang memicu terjadinya bentrokan. Tentu saja tidak semua kasus unjuk rasa mahasiswa seperti itu. Tapi bisa dipastikan, setiap terjadi bentrokan dan ada korban, pihak aparat lah yang paling dipojokkan, meski di pihak aparat pun ada yang jadi korban kebrutalan para mahasiswa yang berunjuk rasa. Kalau sudah begitu, para mahasiswa yang menjadi korban, merasa menjadi pihak yang paling dizalimi oleh aparat.

Sama hal nya dengan aksi-aksi mahasiswa dalam gerakan 20 Oktober
kemarin yang mengkritisi setahun pemerintahan EsBeYe. Aksi unjuk rasa yang dijanjikan damai, di sejumlah tempat termasuk di Jakarta, berakhir dengan bentrokan dengan aparat bahkan tindakan anarkis para pengunjuk rasa dari kalangan mahasiswa. Di televisi saya menyaksikan bagaimana mereka merusak fasiitas-fasilitas umum, merusak mobil-mobil milik warga, menimpuki aparat dengan batu hanya karena merasa hak mereka untuk menyampaikan kritik pada pemerintah dihalang-halangi aparat. Apakah aksi unjuk rasa seperti itu yang diinginkan mereka? Terus terang saya sungguh tidak simpati.

Dan seperti biasanya, para mahasiswa menuding aparat sudah bertindak berlebihan dan mereka menjadi pihak yang merasa hak-hak asasinya sudah dilanggar. Apalagi ketika ada rekan mereka (demo di Jakarta) yang
kemudian menjadi korban, terkena tembakan aparat. Jadilah para mahasiswa itu merasa sudah seperti "hero", martir,

Saya sempat termangu, menyaksikan berita di televisi semalam, saat dokter ahli forensik Mun'im Idris memberi keterangan bahwa mahasiswa yang
menjadi korban dalam aksi unjuk rasa 20 Oktober kemarin memang terkena pantulan tembakan yang membuatnya mengalami luka-luka. Begitu dokter Nu'im mengatakan hal itu, langsung disambut tepuk tangan sejumlah mahasiswa yang kelihatannya hadir dalam acara itu.

"Loh, temennya ketembak koq malah tepuk tangan ya,"  kata saya dalam hati.Kesannya mereka bangga sudah melakukan sesuatu heroik,  sudah berani mengorban "jiwa raga" dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap rakyat dan demi bangsa ini. Oh ya? rakyat yang mana ya ...
saya pribadi tidak merasa terwakili oleh aksi kemarin, apalagi begitu melihat aksi mahasiswa yang anarkis.

Skeptis? Ya, saya memang skeptis.  Bagaimana saya bisa percaya dengan aksi mahasiswa yang katanya membela rakyat, sementara di saat yang sa
ma, saya masih sering melihat mereka tawuran antar teman sekampus hanya karena dipicu masalah sepele. Mahasiswa yang terpelajar, pasti akan bersuara vokal dan tidak tidak akan memilih cara-cara kekerasan. Belajar dari pengalaman meliput tahun '98 dulu, belum tentu juga mahasiswa yang aktif berdemo akan konsisten dengan idealismenya, apalagi kalau sudah jadi pejabat negara, sama saja ! Mereka yang memilih konsisten ... minggir atau terpinggirkan dan terlupakan.

Aksi unjuk rasa untuk mengkritisi pemerintah memang penting. Gunakanlah cara-cara yang simpatik, sehingga rakyat yakin bahwa aksi-aksi itu memang untuk kepentingan rakyat. Tanpa bermaksud membela siapa pun dan tan
pa bermaksud sinis, buat adik-adik mahasiswa, sebelum mengecam dan mengkritik pihak lain, cobalah introspeksi ke dalam dulu, masih ada tuh rekan-rekan kalian yang masih suka tawuran antar teman, yang jelas-jelas jadi bikin repot aparat.

Untuk sementara, saya lebih respek sama mahasiswa yang tekun dengan kegiatan akademisnya dan mampu mengharumkan nama bangsa ini di dunia internasional karena prestasi akademisnya, meski mereka tidak pernah
berunjuk rasa dan berkoar-koar di jalan mengatasnamakan rakyat.

Ah, saya pun jadi teringat petikan syair lagu "Pemuda" yang dinyanyikan Caseiro:
........
Pemuda, mengapa wajahmu tersirat
Dengan pena yang bertinta belang
Cerminan tindakan akan perpecahan
Bersihkanlah nodamu semua
Masa depan yang akan tiba
Menuntut bukannya nuansa
Yang selalu menabirimu pemuda





Tuesday, October 19, 2010

Tak Berjudul


dalam lelapku
aku melihat kematian
nyala api
lalu ....
nama-Mu jelas tertulis di sana
di langit yang biru

adakah itu
bagian dari takdir ku?

tak ada lain yang kuharap
selain pertemuan indah dengan-Mu

Ya Rabb
...

anugerahkanlah untukku
kekuatan iman
ketakwaan
dan
kesabaran
....

Wednesday, September 29, 2010

CerMin (Cerita Minimalis) Sayang Istri ?



Seorang suami sedang menunggui istrinya yang sedang menjelang maut.  Dengan raut muka sedih ia berkata pada istrinya, "Mah ... aku berjanji, tidak akan menikah lagi .... sebelum kuburannmu mengering ....". 


Mendengar perkataan itu, sang istri lalu memanggil anaknya dan berkata, "Nak, kalau ibu meninggal, jangan lupa yah, selalu sirami makam ibu dengan air, supaya selalu basah dan tidak kering ...."

Si anak mengangguk.

Lalu sang istri pun menutup mata dengan tenang. Sang suami  cuma bisa bengong ......




catatan:

cerita ini begitu populer. entah siapa pengarang aslinya ...

Monday, September 27, 2010

Engkau Akan Selalu Menjadi Tamu Istimewaku


ada alasan mengapa aku ingin mencatat kehadiranmu pagi ini di rumah mayaku ini. karena kehadiranmu sudah membuatku takjub di pinggiran kota yang makin padat dan pengap oleh debu dan asap polusi serta genangan air ini. kupikir engkau sudah punah karena tumbuhan hijau dan bunga-bunga tempatmu singgah dan bermetamorfosis sudah jarang di kota ini.


tapi pagi ini, tubuh kecilmu dengan warna sayap putih polos terbang lincah kian kemari di halaman belakang rumahku, bersama sinar matahari yang hangat dan lembut dan titik-titik air di dedaunan sisa rintik hujan.

saking lincahnya, lensa kamera pinjaman yang aku pegang begitu gugup menangkap gerakanmu. Ah, ternyata engkau bukan tipikal hewan cantik yang narsis ... hingga aku biarkan engkau terbang bercengkerama dengan dedaunan, titik-titik air dan rumput gajah mini. Maaf tak ada pohon bunga yang berkembang, karena sekarang musim hujan dan musim banjir,  bukan musim semi.

hmmm... senangnya bisa melihat kehadiran kupu-kupu. aku  pikir engkau malaikat kecil atau peri baik hati yang sedang turun ke bumi, karena sayapmu yang berwarna putih bersih.  tahukah engkau, aku benci makhluk indah sepertimu diasosiasikan dengan keburukan "si kupu-kupu malam". dan tahukah engkau, kemunculanmu menjadi mitos yang begitu dipercaya banyak orang bahwa akan ada seorang tamu yang akan datang.

aku tak percaya mitos. tapi aku selalu senang melihat kehadiran seekor kupu-kupu di rumahku. sejelek apapun warna sayapnya. bagiku engkaulah si tamu itu. maka, jika engkau datang, kubiarkan engkau masuk dan terbang bebas di rumahku. kapan mau datang lagi? atau besok aku  atau anak cucuku tidak akan pernah lagi melihat wujudmu yang nyata .... karena engkau sudah tak bermetamorfosis lagi akibat lingkungan dan alam yang sudah begitu rusak oleh ulah manusia ...

kupu-kupu yang lucu
kemana engkau terbang
hilir mudik mencari
bunga-bunga yang kembang
berayun-ayun
pada tangkai yang lemah
tidakkah sayapmu
merasa lelah ....

gambar pnijem dari sini

Tuesday, September 21, 2010

Jilbab Pertamaku di Tanah Suci


Sebetulnya saya pernah menulis tentang pengalaman pertama berjilbab atau lebih tepatnya saat saya memilih mengenakan jilbab di sini sekitar dua tahun yang lalu.  Kemarin saya membaca posting Dian Onasis yang menggelar lomba menulis bertema "Jilbab Pertamaku", saya jadi tertarik untuk menuliskan kembali pengalaman itu untuk dikirim ke lomba ini, sambil memulai menulis dan meng-up date-rumah kecil saya di multiply ini. Jadi semangatnya memang untuk melemaskan kembali otak dan jari jemari merangkai kata dan kalimat, soal  menang atau tidak itu urusan Allah Swt dan Mbak Dian selaku panitia lomba, betul gak mbak Dian? hehehe ....  Baiklah, saya mulai saja pengalaman jilbab pertama saya ...


Di masa SMA dulu (tahun akhir 80-an-awal 90-an), saya memang sering mendengar atau membaca berita betapa siswi yang memutuskan mengenakan jilbab--terutama di sekolah-sekolah negeri--sering menghadapi masalah dan harus melakukan perlawanan terhadap kebijakan sekolah yang melarang siswinya berjilbab. Saya merasa, itulah awal mula saya mulai mengenal jilbab, meski baru pada sebatas "kata" dan "kasus" saja, belum memahami mengapa orang memilih mengenakan jilbab dan begitu gigih mempertahankan keyakinannya.

Seiring waktu berjalan, lepas SMA dan selama di bangku kuliah, saya tidak pernah memikirkan jilbab lagi. Tapi saya tahu, ada perkembangan positif bahwa masa itu siswi sekolah sudah lebih longgar mengenakan jilbab, tidak ada lagi tindakan represif terhadap siswi berjilbab dan saya pun melihat makin banyak muslimah-muslimah berjilbab.

Saya tidak ingat kapan tepatnya, tapi mungkin karena saya melihat sudah makin banyak muslimah berjilbab, saya jadi sering memperhatikan mereka dan mulai menyimpan rasa kagum pada mereka yang berjilbab. Rasanya koq hati saya sejuk dan teduh setiap kali melihat mereka yang berjilbab. Apalagi jika mereka betul-betul mengenakan baju muslim, terlihat anggun, elegan dan cantik. Meski demikian ... hati saya cuma sebatas mengagumi, belum tergerak untuk ikut mengenakannya. Terus terang, saat itu saya masih mempertimbangkan bahwa mengenakan jilbab itu pasti ribet dan repot sekali yah, harus dipeniti'in lah, belum lagi kalau wudu pasti harus dilepas semuanya, dan saya merasa belum pantes mengenakan jilbab. Yang ada di kepala saya saat itu, orang yang berjilbab pastilah sudah memiliki pengetahuan agama yang mumpuni dan tentu saja sudah berperilaku Islami.

Sampai suatu hari di tahun 2002, tanpa disangka-sangka, saya mendapat tugas liputan haji ke tanah suci. Tentu saja saya senang, bertugas sambil menunaikan rukun Islam ke-5, Alhamdulillah. Semuanya saya jalani ringan-ringan saja, termasuk mengenakan jilbab selama berada di tanah suci. Saya tidak merasa ribet atau aneh mengenakan jilbab. Justru merasa nyaman . Tapi, tetap saja, belum terlintas sedikit pun di benak saya bahwa saya akan mengenakan jilbab selamanya.

Hingga suatu malam, saat saya, big bos kantor saya dan istrinya-- yang kebetulan berbarengan menunaikan haji saat itu--sedang berjalan-jalan di selasar pertokoan di kota Madinah, pak big bos bertanya pada saya apakah setelah selesai haji nanti saya akan tetap mengenakan jilbab? Sejenak hati saya tersentak oleh pertanyaan itu. Saya tak segera menjawabnya. Diam sejenak. Sejurus kemudian saya berkata pelan "Insya Allah pak .." sambil tersenyum tak yakin. Big bos saya dan istrinya pun sepertinya tidak mendengar jawaban saya itu, karena mereka kembali asyik melihat-lihat suasana kota Madinah di malam hari. Saya juga kembali tenggelam dengan peribadahan dan tugas liputan di hari-hari selanjutnya.

Soal jilbab kembali mengusik saya menjelang hari-hari terakhir saya di tanah suci. Di kota Mekkah, saya banyak merenung sebelum tidur sambil memandang masjid Haram dari jendela hotel tempat saya menginap. Saya kembali menanyakan pada diri saya sendiri, untuk apa saya ke sini, mengapa saya bisa tiba di sini dan akankah ibadah haji ini akan memberi makna bagi kehidupan saya selanjutnya, atau ibadah ini sama sekali tidak akan meninggalkan kesan dan cuma perjalanan biasa saja ? Bagaimana saya mensyukuri dan mempertanggung jawabkan anugrah haji ini jika sepulangnya nanti saya masih menjadi "orang yang sama", paling tidak ada keinginan kuat untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslimah, salah satunya mematuhi perintah menutup aurat.

Perenungan yang panjang itu akhirnya menguatkan hati saya untuk tetap berjilbab sepulangnya ke tanah air nanti. Alhamdulillah, hingga saat ini saya masih mengenakannya, walau mungkin masih belum sempurna dan harus tertatih-tatih menghadapi aneka benturan. Tapi saya percaya bahwa Allah Swt akan selalu memberikan jalan bagi umatnya dengan caraNya sendiri. Semoga Allah menolong saya untuk tetap istiqomah dengan jilbab ini. Amiin.


*** Lomba Menulis "Jilbab Pertamaku"  Dian Onasis :

http://cambai.multiply.com/journal/item/339/Lomba_Menulis_Tema_Jilbab_Pertama_ku..._




Sunday, September 5, 2010

Kaya Harta, Tapi Miskin Hati

Pemandangan yang sama selalu berulang setiap menjelang hari raya.  Meski sudah sering jatuh korban sia-sia, entah kenapa sepertinya kita tidak pernah (atau tidak mau?) belajar dari pengalaman, apalagi pengalaman buruk untuk menjadi lebih baik. Sayang sekali jika niat baik bersedekah harus ternoda karena justru "menyiksa" orang yang akan diberi sedekah ...

Mereka berdesak-desakan di depan pintu pagar rumah si pemberi sedekah hanya untuk mendapatkan sembako, kain sarung dan rupiah.  Orang-orang lanjut usia ikut serta, anak balita dibawa ibunya, tak peduli resiko tergencet-gencet bahkan mungkin terinjak-injak. Kita yang melihatnya, bakal mengelus dada dan tanpa sadar mungkin bakal buka suara, "Ya ampun, cuma buat dapetin begituan aja, sampai mau-maunya desek-desekan kayak gitu..."


Yah, buat kita yang sudah hidup di "zona nyaman" mungkin akan mudah berkata seperti itu. Tapi buat mereka yang papa, segenggam beras, setetes minyak goreng, sehelai kain sarung murahan, lima lembar seribuan, adalah harta karun yang berharga dan untuk itu mereka bersedia "berjuang keras" untuk mendapatkannya. Tak ada yang salah dengan mereka, karena itulah bagian dari mozaik kemiskinan negeri kita.

Tetapi selalu saja sebuah pertanyaan mengganggu pikiran saya setiap kali melihat pemandangan seperti itu lewat pemberitaan di televisi, terutama menjelang hari Raya Idul Fitri. Pertanyaan itu, mengapa si miskin yang harus selalu menderita bahkan untuk mendapatkan sedekah dari si kaya.  Tidak bisakah si kaya yang mendatangi si miskin untuk memberikan sedekahnya dengan tangannya sendiri? Soal bagaimana teknisnya, tokh mereka bisa mendata terlebih dulu berapa warga miskin yang akan mereka santuni?

Bukankah lebih mulia jika si kaya mendatangi si miskin, memberi sedekah sekaligus bersilaturahmi dan menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan mereka di tengah lilitan kemiskinan yang mereka jalani. Saya tidak tahu bagaimana ajaran Islam memandang cara memberi sedekah yang "merepotkan"  dan "menyusahkan" orang-orang miskin itu. Setahu saya, para pemimpin-pemimpin Islam di masa Rasulullah Saw dan sahabatnya, selalu mendatangi dan mendekati rakyatnya yang miskin, bukan minta didatangi untuk menerima bantuan atau sedekah yang mereka berikan.

Sedekah bukan hanya sekedar menunaikan perintah agama, tanpa makna. Jika melihat langsung keadaan yang sesungguhnya saudara-saudara kita yang miskin, kita selayaknya tersentuh untuk sedikit meringankan kesusahan itu dengan tidak membuat mereka tergencet-gencet saat menerima sedekah kita dan bukan sekedar tahu bahwa mereka miskin.

Betapa nikmatnya jika bukan cuma kaya harta, tapi juga kaya hati dengan selalu mendatangi si miskin bukan hanya minta didatangi.

Ya Allah, hanya dari Engkaulah semua kebenaran ...


*** gambar kedua pinjem di sini

Thursday, September 2, 2010

.... Serem ....

Yang bikin saya serem sebenarnya bukan isi ceritanya, tapi dampaknya pada anak yang mendengar cerita itu.  Jadi gini ceritanya,  sore itu saya sedang duduk sendiri di kursi panjang di depan swalayan sebuah mall di kawasan buncit. Menikmati sekerat roti dan teh kotak, menu buka puasa saya hari itu.

Sedang khusyuknya makan. Datanglah serombongan keluarga, seorang ibu dengan tiga anaknya dan seorang mbak-mbak yang kemudian saya tahu adalah pembantu rumah tangga keluarga itu. Sejenak terjadi kehebohan saat si ibu ngatur anak-anaknya yang masih kecil (sepertinya yang paling besar--dari psotur badannya--masih kelas dua atau tiga SD). Saya tersenyum melihat kerepotan si ibu mengatur dan membujuk anak-anaknya supaya tertib.

Kehebohan itu berakhir, ketika akhirnya si ibu berhasil membujuk anaknya yang paling besar, perempuan, untuk makan (mungkin berbuka)  dan mengajak dua anaknya yang lebih kecil masuk ke swalayan.  Si "mbak" tadi duduk di samping saya, sedangkan si anak perempuan duduk di depannya di kursi berbeda. Kelihatannya, si anak tipe yang susah makan, karena si "mbak" yang sudah siap nyuapin berusaha keras membujuk si anak supaya mau makan. Dan akhirnya, terdengarlah cerita itu dari mulut si "mbak" agar anak asuhannya mau makan.

"Kemarin, ada perempuan yang jatuh, terjun dari loteng rumahnya. Dia bunuh diri. Kasihan deh, perempuan itu mati. Padahal perempuan itu cakep deh. serem kan ..."

tuing ! antena radar saya langsung bereaksi mendengar cerita itu. Cerita yang menurut saya tidak pas untuk anak sekecil itu. sejenak saya melirik ke mereka, dan melihat si anak mau membuka mulutnya menerima suapan nasi si "mbak".  Saya tidak tahu, apakah si anak mau makan karena memang tertarik dengan cerita si "mbak"nya.

Lalu cerita berlanjut ... yang membuat saya makin "terhenyak" mendengarnya ...

"Eh, enggak tahunya perempuan itu mati bukan bunuh diri. Dia mati karena didorong pacarnya, dibunuh.  Pacarnya sebel, karena perempuan itu tahu dia selingkuh. Perempuan itu marah. Pacarnya juga marah. Akhirnya perempuan itu didorong deh sampe jatuh dan mati ..... Pacarnya jahat ... "

Sampai disitu,  saya merasakan tenggorokan saya kering dan hampir tersedak. Astagfirullah .... cerita macam apa ini? kenapa cerita seperti ini yang disampaikan pada si anak? apakah si ibu tahu kalau si "mbak" nya ngarang cerita "horor" ini untuk membujuk anak-anaknya yang rewel? Bagaimana kalau cerita kayak gini juga diceritakan pada adik-adiknya yang masih kecil? Akankah cerita ini akan terekam di otak mereka? kata pacar, bunuh diri, selingkuh, dibunuh ... kosakata yang rasanya terlalu dini buat anak-anak seusia mereka.

Saya tak tahu,  kalimat-kalimat apa lagi yang diucapkan si "mbak" itu. Otak saya sibuk  mencerna  apa yang saya dengar dan saya saksikan dan saya juga harus segera pergi karena teirngat belum salat magrib. Dengan perasaan kasihan, saya memandang sekilas wajah si anak yang mendengarkan cerita si "mbak"nya sambil mengunyah makanan.

Duh, para ibu, berhati-hatilah dengan pembantu yang menjaga anak ibu. Sebaiknya mereka diberi pengarahan cerita macam apa yang boleh disampaikan pada anak-anak. Mungkin, sediakan buku-buku cerita anak, yang bisa dibaca sama si "mbak" saat membujuk anak ibu yang "berulah".sementara ibu tak ada di dekat anak-anaknya.



Tuesday, August 31, 2010

Pesan Pendek Itu ....

Selasa malam sebuah pesen sms dengan nomor tak dikenal masuk ke Esia saya;

"Tolong kirim pulsa ke hape mama sekarang, penting. mama ada urusan penting. tolong ya, kiriman pulsa 50ribu ke mama. ini mama pinjem hape orang. penting."

Saya mengernyitkan dahi membaca sms itu. Bertanya-tanya siapa pengirim sms karena hanya segelintir orang yang tahu nomor Esia saya.  Sempet khawatir juga kalau memang pengirimnya saya kenal dan memang sedang membutuhkan pertolongan. Tapi ... koq ada yang janggal yah ...  orang ini menyebut mama? maksudnya ibu gituh (bukan nama orang)? dan rasa khawatir berganti jadi curiga.

Saya tak langsung menjawab sms itu dan positif thinking mungkin pengirimnya salah pencet nomor, jadinya salah kirim sms deh. Sering tokh, kejadian kayak gitu.  Tapi satu jam kemudian, sms dengan nomor sama masuk lagi, isinya ...

"Cepetan dong kirim pulsa ke mama. ke nomor ini ...(tertera sebuah nomor hp, mungkin si pengirim tadi lupa nyantumin nomor hp yang diminta diisiin pulsa... hihihi). mama lagi di rumah sakit nih. penting ...."

Karena maksa-maksa dan makin jelas kejanggalannya, akhirnya sambil nyengir saya balas sms itu, "Maaf ... (masih sopan), ini mama siapa yah .... mama saya kan udah lama meninggal." Karena memang ibu saya sudah enam tahun yang lalu wafat dan sepertinya enggak mungkin banget di "alam sana" ada hape dan bisa kirim sms .

Saya enggak bisa ngebayangin raut muka si pengirim sms tadi begitu membaca balasan sms saya itu, karena setelah itu  tak ada balasan lagi dari si pengirim sms  ...  Biar kapok ! bulan puasa koq masih aja ada orang yang coba-coba nipu. crazy world ...



Wednesday, August 11, 2010

[Catatan Ramadan] Feeling Guilty

Ini adalah tahun pertama Faishal, keponakan saya, belajar puasa di bulan Ramadan. Alhamdulillah, di hari pertama, Faish mampu menuntaskan puasanya sampai azan magrib, padahal saya dan uminya bilang supaya Faish jangan memaksakan diri kalau merasa tak kuat, boleh puasa setengah hari. Tapi Faish bilang "enggak apa-apa koq, aku enggak laper" ketika jam dua siang tadi aku tanya apakah perutnya sakit atau merasa pusing.

Maklumlah, usia Faish belum genap tujuh tahun, meski sudah harus belajar berpuasa Ramadan, belum ada kewajiban baginya untuk berpuasa sampai azan magrib. Tapi dasar anak-anak (jadi inget pengalaman waktu kecil dulu) kadang tercetus pula kata "lapar" atau "aku jadi pengen" saat mencium bau makanan dari dapur atau melihat iklan makanan di televisi.

Tapi sebenarnya saya merasa "feeling guilty" sama Faish. Saya merasa kurang bijak menjelaskan kewajiban puasa Ramadan pada anak sekecil Faishal. Sehari sebelum puasa, saya bertanya apakah Faish besok mau puasa. Dengan tegas Faish menjawab bahwa ia akan puasa dan dengan kepolosannya ia bilang begini, "Kata tante Rika (adik saya) aku boleh minta apa aja kalau puasaku pol."

Saya tersenyum mendengar perkataannya. Tanpa pikir panjang, saya bilang ke Faish, kalau puasa itu harus niat karena Allah, bukan karena pengen dapet hadiah. Kalau kita puasa, menahan lapar dan haus karena kita mengharapkan pahala dari Allah, bukan mengharapkan hadiah. Entah bagaimana kata-kata itu meluncur begitu saja. Kata-kataku itu sepertinya mengena di hati Faish karena kulihat Faish "bengong" menatapku dan seperti memikirkan kata-kataku tadi.

Deg ! tiba-tiba saja dadaku tersentak melihat perubahan air muka Faish. Saya merasa telah mematahkan semangatnya untuk berpuasa. Saya jadi begitu merasa bersalah. "Bodohnya saya," saya mengutuk diri sendiri sambil buru-buru mencoba mengalihkan lagi perhatian Faishal. Saya langsung memeluknya dan bilang kalau Faish boleh berpuasa setengah hari karena Faish masih belajar puasa, untuk menutupi rasa bersalah saya. Seketika wajah Faish memang sedikit berubah senang, "enggak ah, aku pengen puasa sampe magrib", ujarnya antusias. Duh, Tuhan, saya jadi makin merasa bersalah. Dalam hati, semoga kata-kata saya sebelumnya tidak membekas di hati Faish.

Dan di hari pertama puasa, Faish membuktikan ucapannya, puasa sampai azan magrib berkumandang dan dengan semangat ikut tarawih di masjid.

"Ya, Allah maafkan hamba. Tumbuhkanlah semangat dalam jiwa Faish untuk senantiasa berkhidmat melaksanakan perintah-perintah-Mu, menjadi anak yang bertakwa dan bisa mengangkat derajat orang tuanya di akhirat kelak, amiin."

Saturday, August 7, 2010

Menikmati Wisata "Legenda Angklung" di Padasuka


Senang rasanya ketika turun dari bis dan menjejakan kaki di halaman luas yang nampak asri dan berudara sejuk karena dinaungi beberapa pohon
besar. Suasana khas daerah Jawa Barat langsung terasa ketika saya masuk ke kompleks bangunan yang ada di tempat itu.

Tempat yang saya datangi itu berada di kawasan pemukiman penduduk di
Jalan Padasuka 118, Bandung. Buat yang pernah ke tempat ini, pasti mengenal alamat ini dengan baik. Ya, tempat itu adalah sebuah lokasi wisata seni budaya sunda, Saung Angklung Mang Udjo. Ah, akhirnya kesampaian juga saya berkunjung ke sini, sebuah keinginan terpendam setelah sering menyaksikan liputan tentang Saung ini di televisi.



Hari itu, saya dan teman-teman dari rombongan Lintas Wisata akan
menyaksikan pertunjukkan jam 04.00 sore. Setelah membayat tiket seharga Rp50.000 / orang, kami diberi souvenir berbentuk angklung mungil yang bisa digunakan sebagai kalung atau bros dan ditawari minuman, bisa pilih; air mineral atau bandrek. Saya pilih bandrek--minuman ringan khas Jawa Barat--yang rasanya menurut saya "pas banget", paduan rasa santan dan jahenya membuat badan terasa segar dan pegal-pegal langsung hilang (karena sebelumnya kita semua habis manjat Gunung Tangkuban Perahu), apalagi bandreknya disajikan hangat, menjelang sore hari pula ... nikmat deh !

Setelah urusan di pintu masuk selesai, kami dipersilahkan masuk ke arena
pertunjukan, melewati sebuah toko penjualan soevenir yang membuat mata saya jadi jelalatan  (biasa deh kalau sudah melihat barang-barang kerajinan, susah untuk membuat pandangan mata lurus ke depan). Setelah dengan selamat melewati toko souvenir itu, saya melihat sudah banyak yang duduk di tempat pertunjukkan angklung yang berbentuk seperti ampiteater mini. Saya juga melihat ada beberapa turis mancanegara di sana.


Tepat pukul 04.00 sore, acara pun dimulai dengan menampilkan berbagai
kesenian Sunda. Diawali dengan demo wayang golek, lalu ada Helaran (kesenian untuk mengiringi upacara tradisional khitanan atau saat panen padi masyarakat Sunda), pencak silat dan disambung dengan tari-tarian tradisional, ada tari topeng, tari merak dan tentu saja jaipongan !  Suasananya betul-betul meriah,  ... Kalau melihat pertunjukkan seni tradisional ini, kagum rasanya dengan Indonesia yang kaya budaya, ini baru Jawa Barat ... bagaimana dengan daerah-daerah lainnya di seluruh Indonesia...


Keceriaan sore itu makin lengkap dengan penampilan alat musik bambu. Inilah pertunjukkan inti di Saung Mang Udjo. Para pengunjung diajak menikmati merdunya harmonisasi musik calung, arumba dan angklung lewat
lagu-lagu yang sudah sangat akrab dengan telinga kita. Puncak acara adalah main angklung bersama. Jadi, kita bukan cuma disuruh nonton, tapi juga diajarkan bermain angklung. Bagaimana cara memegang angklung dan cara membunyikannya sehingga suara yang keluar enak didengar. Pembawa acaranya yang luwes memberikan kode dengan tangan, angklung mana yang dipegang pengunjung yang harus dibunyikan, sehingga terdengar rangkaian nada-nada lagu yang dimainkan.


Ternyata .... main angklung itu susah-susah gampang. Butuh kosentrasi dan yang lebih penting adalah kekompakan. Itulah sebabnya, alat musik angklung yang terbuat dari batang bambu ini disebut alat musik 5 M; Mudah, Murah, Mendidik, Menarik dan Massal. Wah, tahu asyik begini,
pengen rasanya berlama-lama belajar main angklung.

Saung Angklung Mang Udjo, satu dari sedikit cagar budaya di Indonesia yang berkosentrasi pada seni musik tradisional. Saung Angklung ini didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena (alm) dan istrinya, Uum Sumiati. Karena kiprahnya melestarikan kesenian musik angklung, Mang
Udjo dijuluki sebagai tokoh "Legenda Angklung". Tapi sebenarnya, ada sosok Daeng Soetigna (alm) yang disebut-sebut sebagai "Bapak Angklung Dunia."  Nah, Saung Angklung ini adalah upaya Mang Udjo untuk mewujudkan pesan Daeng Soetigna agar meneruskan misi memperkenalkan angklung ke seluruh dunia, bukan semata-mata untuk melestarikan budaya tapi untuk ikut mendorong terciptanya perdamaian dunia. Sebuah cita-cita mulia, mengingat di zaman sekarang ini perdamaian dunia menjadi hal yang terasa sulit terjangkau.

Selain sebagai obyek wisata, Saung Angklung Mang Udjo juga menjadi
laboratorium pendidikan. Satu hal yang mengesankan, Saung Angklung ini dibangun dan bisa bertahan hingga sekarang atas gotong royong sesama warga. Selain itu,  mereka juga melibatkan anak-anak dan remaja dalam semua pertunjukkan seni yang ditampilkan. Keren.



Waktu dua jam terasa begitu cepat. Usai main angklung bersama, acara
ditutup dengan menari bersama. Enggan rasanya meninggalkan keceriaan dan kemeriahan sore itu. Pengunjung, satu per satu meninggalkan ampiteater mini itu dan beralih menyerbu toko souvenir yang saya lewati tadi. Belanja ... sudah pasti dong 

Di atas bis yang membawa saya kembali ke Jakarta,  terasa masih terngiang-ngiang alunan merdu suara angklung Saung Mang Udjo mengalunkan lagu-lagu masa kecil;

Burung Kakatua
Hinggap di Jendela

Nenek sudah tua
giginya tinggal dua
Ledrum ...
Ledrum ... Ledrum  la ... la...la ...


Suatu saat saya harus kembali ke sana, ke Saung Angklung Mang Udjo.
Ada yang mau ikut?