Wednesday, September 30, 2009

Malaysian Amazed by "Allah Meat"


A family of Malaysian villagers became the talk of the town after they found the word Allah, meaning God in Arabic, inscribed on meat bought from the local market, the country's press reported on Tuesday.


Housewife Rashadah Abdul Rani, 57, said her son bought the meat from a market in the village and it was her daughter who discovered the inscription.

"I cut the meat into six pieces and soaked them in the water. It was my daughter, who was helping me in the kitchen, who saw the word "Allah" on all six pieces of the meat," Rani told reporters at her house in Kampung Alur Gunung.

Rani said the discovery had changed her plans of cooking the meat for feast and said she would now dry the meat and keep it to use for medicinal purposes.

In 2008, a similar story was reported from northern Nigeria where a restaurant served a piece of meat inscribed with Allah. The customer who discovered the meat said he was about to eat it when he suddenly noticed the words.

Two fish inscribed with the names Allah and Muhammad

Also a similar incident was reported in 2006 when hundreds of Muslims flocked to a pet shop in Liverpool, England to see two gold fish hailed a "miracle" as one's scales spelled Allah and the other Muhammad, Islam's prophet.

In Januari 2008, a photo journalist from Kashmir accidentally saw clouds that shape as word "Allah" in the city of Barramulla, northern Kashmir. You can see the pictures here

For Muslims such occurrences only further signal the greatness of their Lord as Islam teaches that everything in the world from the sun and moon to everything with a soul is commanded by God. Subhanallah ...

source: Al-Arabiya

Thursday, September 24, 2009

Setiap Habis Ramadan


Tak terasa, sudah beberapa hari kita lewati bulan suci Ramadan, berganti dengan bulan Syawal, dimana kaum Muslimin sedunia bergembira merayakan hari Idul Fitri, hari lebaran, bersilaturahmi dan bermaaf-maafan.

Ditengah kegembiraan itu, adakah yang tersisa dari bulan Ramadan yang baru saja kita lewati? Jika sebagian kita bergembira dengan berakhirnya Ramadan, sahabat-sahabat Rasulullah justeru merasa sedih dan cemas menjelang berakhirnya bulan Ramadan. Para sahabat Rasulullah sedih karena mereka harus menunggu setahun lagi untuk bertemu kembali dengan Ramadan, bulan yang penuh keistimewaan karena Ramadan menjadi satu-satunya bulan dalam penanggalan Islam yang disebut dalam Al-Quran (Al-Baqarah;185), bulan yang penuh berkah dan ampunan dimana pahala untuk setiap perbuatan baik dilipatgandakan.

Itulah sebabnya, para sahabat Rasulullah cemas dan gundah gulana menjelang berakhirnya bulan Ramadan karena mengkhawatirkan kualitas ibadah puasa mereka selama satu bulan penuh. Mereka takut ibadah puasa yang mereka jalani hanya mendapatkan “haus dan lapar”, tidak bernilai apalagi diterima di sisi Allah Swt.

Kita mungkin tidak pernah bersedih seperti para sahabat Rasulullah menjelang berakhirnya Ramadan. Tak pernah merasa cemas dengan kualitas puasa kita dan bertanya-tanya apakah Allah Swt menerima ibadah puasa kita selama Ramadan. Kita justeru cenderung gembira jika Ramadan usai, karena setelah Ramadan kita tidak perlu menahan lapar dan haus lagi setiap hari, tidak perlu salat tarawih di malam hari, tidak perlu bangun di pagi buta untuk sahur. Tak pelak, ibadah puasa Ramadan jadi seperti rutinitas tahunan yang dijalankan semata-mata karena beban kewajiban, tanpa makna, tanpa membawa perubahan dari sisi mental maupun spiritual.

Begitu Ramadan berlalu, berakhir pula kebiasaan-kebiasaan baik yang kita lakukan secara rutin selama bulan Ramadan yang jarang bahkan tidak pernah kita lakukan di bulan-bulan selain Ramadan, seperti kebiasaan salat malam, tadarus Al-Quran, memperbanyak sedekah, salah berjamaah di masjid dan kegiatan amaliyah lainnya. Padahal idealnya, seusai Ramadan, setiap manusia mencapai kesempurnaan diri yang tercermin dari makin meningkatnya ketaqwaaan, dan itu terlihat dari kebiasaan baik di bulan Ramadan yang tetap terpelihara seusai Ramadan, bahkan lebih baik kualitasnya. Karena inti dari perintah berpuasa di bulan Ramadan yang dititahkan Allah Swt, adalah “supaya kamu bertaqwa” (Al-Baqarah;183).

Jika seusai Ramadan kebiasaan baik itu juga ditinggalkan, kita mungkin perlu merenungkan kembali apakah puasa Ramadan kita memberikan pengaruh dan menambah nilai positif bagi keimanan kita. Apakah Allah Swt menganugerahkan ampunan dan jaminan terbebas dari api nerja seperti yang dijanjikanNya untuk mereka yang puasanya diterima.

Tak ada hal yang paling berharga dari seisi dunia selain kita mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita dan ampunan itu dijanjikan Allah Swt di bulan Ramadan. Alangkah ruginya jika ibadah puasa Ramadan kita hanya mendapatkan “lapar dan dahaga” karena belum tentu kita akan berjumpa kembali di Ramadan berikutnya.

Semoga Allah Swt menerima amal ibadah puasa kita dan memberi kekuatan bagi saya, Anda dan kita semua untuk tetap menjaga dan menciptakan suasana Ramadan di bulan-bulan selanjutnya. Taqabbal-llahu minnaa waminkum. Semoga Allah Swt menerima (amaliyah Ramadan) diriku dan dirimu.

Setiap habis Ramadhan
Hamba rindu lagi Ramadhan
Saat - saat padat beribadah
Tak terhingga nilai mahalnya

Setiap habis Ramadhan
Hamba cemas kalau tak sampai
Umur hamba di tahun depan
Berilah hamba kesempatan

Setiap habis Ramadhan
Rindu hamba tak pernah menghilang
Mohon tambah umur setahun lagi
Berilah hamba kesempatan

Alangkah nikmat ibadah bulan Ramadhan
Sekeluarga, sekampung, senegara
Kaum muslimin dan muslimat se-dunia
Seluruhnya kumpul di persatukan
Dalam memohon ridho-Nya

(Setiap Habis Ramadan, Bimbo)

*Disarikan dari khutbah Idul Fitri, di Lapangan Kampus IISIP, Lenteng Agung, Jakarta

Wednesday, September 16, 2009

[movie] KCB 2, Apanya Yang Istimewa?


Sekuel film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) akhirnya keluar juga. Gala Premier film KCB 2 berlangsung di Sinema XXI, Plaza ex hari Selasa (15/9) malam. Meski tidak terlalu antusias pengen nonton KCB 2- karena KCB 1 yang 'garing' itu-saya bersama dua orang teman tetep datang ke Plaza ex untuk ikut menyaksikan penayangan perdana (Gala Premier) KCB 2. Alasannya, karena sayang kalau undangan gratis tidak dimanfaatkan (hehehe) dan ingin membuktikan ucapan seorang teman yang bilang kalau KCB 2 lebih bagus dari KCB 1. Betulkah?

Sebelum saya bilang betul atau tidak. Saya ingin menceritakan sedikit film KCB 2. Sesuai tag line yang tertulis dalam promo filmnya "It's A Love Story", KCB 2 memang film melodrama cinta-cintaan yang menceritakan lika-liku seorang Khairul Azzam menemukan cinta sejatinya. Cinta yang ia semai pada seorang puteri kyai sejak masih berada di Kairo.

Seperti goresan pena Khalil Gibran dalam puisi cintanya, "Apabila cinta memanggilmu, ikutilah ia meski jalannya terjal dan berliku. Pabila sayapnya merengkuhmu, pasrahlah serta menyerah, meski pedang yang tersembunyi di balik sayap itu melukaimu."

Seperti itulah kisah seorang Azzam sebelum akhirnya sampai pada cinta sejatinya. Ia harus menempuh jalan berliku, merasakan dulu banyak kekecewaan, bahkan kepedihan karena harus kehilangan orang yang paling dikasihinya. Semuanya dikemas oleh sutradara Chaerul Umam dalam KCB 2 yang menjadi klimaks dari keseluruhan cerita Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburahman El Shirazy.

Kalau di KCB pertama banyak adegan dan dialog yang mengundang tawa, di KCB 2 sebaliknya, banyak scene yang mengharu biru atau paling tidak membuat mata penonton berembun. Untuk kali ini, Chaerul Umam berhasil membuat saya "nyaman" menonton film ini dari awal hingga akhir, meski masih ada beberapa "cacat" yang agak mengganggu, dan itu cuma terkait dengan "pesan sponsor" dan akting figurannya yang sepertinya lepas dari perhatian sang sutradara. Lepas dari itu, saya suka dengan gaya (baca:akting) Niniek L. Karim dan Deddy Mizwar yang telah "mewarnai" film ini.

Rasa "nyaman" yang saya rasakan sepertinya juga dirasakan penonton lainnya malam itu. Begitu film selesai, terdengar tepuk tangan dari penonton-meski tidak terlalu bergemuruh-yang nampaknya puas menyaksikan akhir cerita KCB 2.  Apa boleh buat, saya harus mengatakan KCB 2 memang lebih baik dari KCB 1, jika tidak bisa disebut bagus. Karena dari sisi cerita dan kualitas sinematografinya sebenarnya biasa-biasa saja. Beda ketika saya menyaksikan film macam The Kite Runner, Children of Heaven atau Turtle Can Fly. Film-film yang membuat saya betul-betul bukan hanya menikmati jalan ceritanya, tapi juga kepiawaian dan kreativitas seorang sutradara menggunakan teknik-teknik sinematografi, mengambil sudut pandang lewat lensa kamera, sehingga menghasilkan gambar visual yang enak dipandang mata serta eksplorasi tempat dan lingkungan tempat film dibuat.

Tapi tak apalah, KCB semoga menjadi batu loncatan film-film bergenre islami yang layak dan sehat dikonsumsi para pecinta film di negeri ini. Semoga.

 

 

 

Monday, September 14, 2009

Multiply Indonesia Bloggers "Ramadan With Love"


Being a blogger in cyber world it doesn't mean that we just keep ourselves busy with articles or photos we are posting in our respective blogs and get the comments. Bloggers also can give a positive contribution in a real world by doing meritorious social activities to help other people w
ho need a helping hand or are less fortunate.



That's what Multiply Indonesia Bloggers (MPID) did on Saturday (12/
9). They held Ramadan Charity Works that becomes an annual program of MPID. Dozens of Multiply blogger and some volunteers got involved on this social activities. We raised donation from MPID bloggers or non-bloggers who want take a part on the program.



All participants divided into some teams to carried out  four social services we did simultaneously on Saturday. The first team distributed a pac
ket of groceries to people on the road (Parcel Lebaran on the Road)  that we consider poor or duafa such as garbage man, the hawkers, shoeshine, etc. The second team visited nursing home for old people in Cipayung, gave the lebaran parcel for the workers there and also held iftar (breakfasting) with them. The other teams carried out what we called it Sahur on the Road.




Alhamdulillah ... all the activities ran well. I am happy to be a part of multiply blogger community, a place where i meet many wonderful pe
ople whose big attention to humanity and solidarity to other people. May Allah blessed what we have done on this Ramadan. Viva Multiply Indonesia ...



*special thank to tity and yogi for the pictures ...

Thursday, September 10, 2009

Demi Malam MuliaMu

Demi Malam MuliaMu
created by.MgLena.K

aku menanti senjaMu turun hari ini

dalam sujudku ashar tadi
aku memohon kasih sayangMu
untuk meneguhkan hati ini
menguatkan langkah kaki ini
melapangkan niat ini
untuk menuju rumah suciMu
 ...ya Robbi ...

20 hari yang telah terlalui
akan datang malam yang dinanti
di waktu yang telah Engkau tentukan
untuk menyempurnakan jihad di bulan ini
Ramadan bulan suci

ya Robbi ...
hamba adalah butiran debu di hadapanMu
yang tak sempurna dalam mencintaiMu
dengan sepenuh harap aku menengadahkan
kedua tanganku padaMu
ijinkan hamba melewati 10 malam terakhir ini
menyaksikan malaikat-malaikatmu
memenuhi langit dan bumi
yang dengan sayap-sayapnya
akan memercikkan kemuliaan
di hati hamba-hambaMu yang terpilih

ya Robbi ..
hampirilah hamba dengan malam muliaMu
malam yang lebih mulia dari 1000 bulan
malam laylatul qadar ...

20 Ramadan 1430 H/Kamis, 10 September 2009

Sunday, September 6, 2009

[Book Review] Seribu Mentari Surga


Mariam terlahir sebagai Harami (anak haram). Status Harami ibarat kutukan buat Mariam yang karenanya harus selalu disisihkan dan menanggung penderitaan seumur hidupnya. Sementara Laila, berlatar belakang keluarga yang cukup berpendidikan, terutama didikan dari ayahnya, membuat Laila menjadi seorang perempuan yang berani mengungkapkan pendapat dan pikiran-pikirannya dan berani berpikir untuk melakukan perubahan.

Garis nasib dan peperangan, membawa kedua perempuan yang berbeda generasi dan berbeda latar belakang ini, bertemu dalam satu ikatan 'perkawinan yang dipaksakan' dengan seorang lelaki bernama Rashid, lelaki Afghan yang cuma menginginkan anak laki-laki, yang memaksa Mariam dan Laila mengenakan burqa, yang tidak segan-segan menganiaya kedua isterinya dan berkonspirasi untuk membuat Laila percaya bahwa kekasihnya bernama Tariq sudah mati dalam perjanalan ke kamp pengungsian.

Hubungan antara Mariam dan Laila awalnya tidak harmonis. Mariam menganggap Laila sebagai perempuan yang tidak tahu terimakasih dan hanya membuatnya bertambah menderita oleh penganiayaan yang dilakukan Rashid. Tapi Laila, dengan sabar berhasil mengikis kebencian di hati Mariam dan berhasil meyakini Mariam bahwa mereka senasib dan harus bersama-sama melawan ketidakadilan, kekejaman dan penderitaan yang diciptakan oleh Rashid dan oleh perang yang berkepanjangan. Laila berhasil meyakini Mariam bahwa mereka harus berani bersikap untuk keluar dari semua kemelut itu, mencari kehidupan yang lebih baik di luar Afghanistan. Menggapai seribu mentari surga. Meski untuk itu, Mariam harus menebusnya dengan hukuman mati yang harus ditanggungnya.
 
Mariam dan Laila adalah adalah tokoh sentral dalam novel A Thousand Splendid Suns (Seribu Mentari Surga) karya penulis asal Afghanistan Khaled Hosseini.  Novel ini merupakan novel kedua Hosseini yang menjadi best seller internasional setelah novel pertamanya The Kite Runner yang fenomenal dan berhasil terjual 8 juta kopi di seluruh dunia. The Kite Runner bahkan sudah diangkat ke layar lebar dan memenangkan berbagai penghargaan, sama seperti bukunya. reviewnya di sini 

Film The Kite Runner yang begitu menyentuh hati, yang sebenarnya membuat saya penasaran untuk membaca karya Hosseini lainnya, A Thousand Splendid Suns. Dan ternyata, kehebatan Hosseini menulis plot dan merangkainya dalam jalinan kisah, berhasil memaksa saya membaca novel itu dalam setiap kesempatan, bahkan membawa novel yang lumayan tebal itu ke dalam tas saya, agar bisa dibaca di bis dalam perjalanan menuju kantor.

Sebagai penulis, Hosseini mampu menciptakan emosi pembacanya lewat karakter,  dialog tokoh-tokohnya serta rangkaian peristiwa yang ia jalin dalam satu cerita utuh. Bukan cuma itu, Hosseini juga memberikan gambaran keindahan alam Afghanistan, tentang kehidupan multi etnis masyarakat Afghan, budaya patriarki dan memahami konflik panjang yang telah melululantakkan hampir seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakatnya.

Novel A Thousand Splendid Suns adalah sebuah novel tragedi kehidupan perempuan Afghanistan yang menjadi korban tradisi dan korban kecamuk perang yang tiada henti di negeri itu.  Berlatar belakang Afghanistan sebelum masa invasi Soviet sampai masa kekuasaan Taliban, dilanjutkan dengan masa  agresi pasukan koalisi AS ke negeri itu, pasca serangan 11 September 2001.

Seperti The Kite Runner, benang merah A Thousand Splendid Suns bercerita tentang persahabatan, cinta sejati dan pengorbanan anak manusia untuk memberi arti dalam kehidupannya. Hosseini begitu kreatif mengangkat tema ini dalam sebuah cerita novel yang menyentuh, menegangkan, mengharukan dan tragis sekaligus membuka mata hati kita bahwa perang hanya menyisakan kehancuran, duka dan penderitaan. Bahwa masih banyak kaum perempuan yang termarginalkan dan direndahkan martabatnya karena tradisi yang mengatasnamakan ajaran agama.

 

Thursday, September 3, 2009

Setiap 4 September, Mengapa Ada Hari Jilbab Internasional?


Ketua Assembly for the Protection of Hijab, Abeer Pharaon lewat situs Islamonline bulan Juli kemarin menyerukan umat Muslim se-dunia untuk menjadikan Hari Jilbab Internasional yang jatuh setiap tanggal 4 September sebagai hari solidaritas untuk mengenang Marwa Al-Sharbini, seorang muslimah asal Mesir yang dibunuh oleh seorang pemuda Jerman keturunan Rusia di ruang sidang kota Dresden, Jerman awal Juli lalu.


cerita lengkapnya di sini : Antara Marwa Al-Sharbini dan Michael Jackson

Abeer mengatakan, Marwa Al-Sharbini adalah seorang martir bagi perjuangan muslimah yang mempertahankan jilbabnya. "Ia menjadi korban Islamofobia, yang masih dialami banyak Muslim di Eropa. Kematian Marwa layak untuk diperingati dan dijadikan sebagai Hari Hijab Sedunia," kata Abeer.

Jilbab memang masih menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian orang. Bukan hanya di negara-negara Barat yang mayoritas penduduknya non-Muslim, bahkan di negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim seperti Indonesia. Bukti bahwa jilbab masih belum sepenuhnya mendapat tempat di negeri ini salah satu contohnya, masih banyak rumah-rumah sakit di negeri ini yang memberlakukan larang berjilbab terutama bagi tenaga perawatnya dan masalah ini masih belum menjadi perhatian para pemimpin di negeri ini yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil seluruh warga negaranya.

Tapi itulah faktanya, jika di negeri Muslim seperti Indonesia saja jilbab masih menjadi hal yang menakutkan, bukan hal yang mengherankan jika banyak muslimah berjilbab di negeri-negeri non-Muslim yang mengalami diskriminasi, pelecehan dan penghinaan hanya karena mengenakan jilbab. Bahkan di beberapa negara, jilbab terang-terangan dilarang. Itulah sebabnya mengapa ada Hari Solidaritas Jilbab Internasional, karena banyak muslimah yang masih harus memperjuangkan hak-haknya untuk menjalankan perintah agamanya dalam hal ini perintah mengenakan jilbab.

Berawal Dari Inggris

Bulan Juli tahun 2004, tokoh-tokoh Muslim di seluruh Eropa berkumpul di kota London, Inggris. Mereka menggelar konferensi mendukung jilbab, sebagai reaksi atas keputusan pemerintah Prancis yang menyatakan melarang jilbab di institusi-institusi pendidikan dan institusi publik.

Konferensi dibuka oleh walikota London, Ken Livingstone dan dihadiri oleh 300 delegasi, mewakili 102 organisasi-organisasi Inggris dan internasional. Hadir pula dalam konferensi itu tokoh cendekiawan Muslim Sheikh Yusuf Al-Qaradawi dan Profesor Tariq Ramadan.

Dari hasil konferensi itu terbentuklah Assembly for the Protection of Hijab (Majelis untuk Perlindungan Jilbab) dan seluruh peserta mendeklarasikan tanggal 4 September sebagai International Hijab Solidarity Day (Hari Solidaritas Jilbab Internasional). Dalam konferensi itu, para peserta merancang berbagai rencana aksi untuk membela hak kaum perempuan Muslim untuk mempertahankan busana muslim mereka.

“Kampanye ini bukan hanya untuk wanita Muslim semata. Aksi ini ditujukan bagi siapa saja yang percaya bahwa merupakan hak seorang wanita Muslim untuk bisa mengenakan jilbabnya tanpa perlakuan diskriminatif dari masyarakat maupun pemerintahnya,” kata Koordinator Pro-Hijab, Abeer Pharaon ketika itu.

Sementaa itu, Livinstone-walikota London yang dikenal dekat dengan komunitas Muslim di Inggris-dalam pernyataannya mengatakan, “Jika kami membiarkan serangan terhadap Islam terjadi, saya tahu siapa yang akan menjadi sasaran tembak dan korban berikutnya,” tukasnya.

Sejak itulah, setiap tanggal 4 September, organisasi-organisasi dan umat Islam, terutama muslimah yang tinggal di negara-negara non-Muslim menggelar Hari Solidaritas Jilbab Internasional. Meski gaungnya tidak sampai ke negeri-negeri Muslim lainnya, termasuk Indonesia.

Padahal setelah kasus Marwa Al-Sharbini, kasus-kasus larangan jilbab masih terjadi di mana-mana. Beberapa negara bagian di Jerman sudah memberlakukan larang jilbab bagi para siswa sekolah, Mahkamah Agung di negara bagian Michigan AS, baru-baru ini mengabulkan permohonan pengadilan-pengadilan dibawahnya yang melarang muslimah berjilbab masuk ke ruang sidang, belum lama ini, seorang muslimah Selandia baru menggugat seorang hakim di Negeri Kiwi itu yang melarangnya masuk ke ruang sidang hanya karena ia berjilbab, bahkan di negara Turki yang pernah menjadi pusat kekhalifahan Islam, jilbab juga dilarang di institusi-institusi pendidikan terutama di universitas.

Tak ada alasan yang masuk akal atas semua larangan jilbab, kecuali karena fobia terhadap Islam dan arogansi budaya. Tapi dalam Islam, jilbab bukan semata-mata simbol agama tapi perintah yang diturunkan Allah Swt terhadap para muslimah untuk memuliakan kaum perempuan. Tak ada salahnya jika hari ini kita menunjukan solidaritas, jilbabkan aurat kita, jilbabkan hati dan perilaku kita. Have a blessed Ramadan.

Bencana dan Kualitas Puasa Kita

Baru kemarin rasanya kita bersuka cita menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Mungkin di benak banyak orang sudah tersusun banyak rencana di bulan suci ini. Tapi memasuki sepuluh hari kedua Ramadan, masa pengampunan, kita, disentakkan oleh getaran gempa yang membuat panik dan membuat orang berhamburan ke luar.

Pada saat itu, mungkin kita tidak ingat lagi apa yang harus kita bawa, bahkan mungkin siapa teman di sebelah kita, yang penting segera menyelamatkan diri. Dalam kepanikan, seketika kita mendengar teriakan menyebut asma Allah berbaur dengan jeritan ketakutan atau tangisan kalut. Seolah, itulah menit-menit yang menentukan kehidupan kita ..


Berapa lama guncangan gempa kemarin? tiga sampai lima menit? tapi kita bisa melihat efek gempa yang seketika melululantakkan gedung-gedung, merenggut nyawa, membuat orang trauma dan mungkin memupuskan banyak rencana yang sudah dirancang selama bulan suci ini.

Gempa kemarin memberikan banyak pelajaran rohani. Bahwa kematian selalu mengintai kapan saja dan dimana saja kita berada. Ketika kematian itu tiba, bekal yang kita bawa cuma amalan selama hidup di dunia. Bahwa, sangat mudah bagi Allah untuk memerintahkan alam raya ciptaanNya untuk memberikan peringatan pada manusia. Bahwa betapa kecilnya kita di hadapanNya mengingat kepanikan dan ketakutan yang kita rasakan.

Pelajaran itu membuat saya mengkaji kembali ibadah puasa yang
telah saya lewati selama 12 hari kemarin, sudah berkualitaskah ibadah puasa saya atau hanya mendapatkan lapar dan dahaga? Apakah menahan lapar dan dahaga itu juga berdampak pada peningkatan kesalehan-bukan cuma kesalehan ritual tapi juga kesalehan sosial-keimanan, ketakwaan serta usaha untuk lebih mendekatkan diri pada Allah Swt danmendapatkan ampunannya? Sehingga jika sewaktu-waktu terjadi bencana dan saya menjadi salah satu korbannya, saya sudah punya cukup bekal untuk mempertanggungjawabkan kehidupan saya. Tiba-tiba saja hati saya menjadi ciut memikirkannya.

Di sela keprihatinan melihat kondisi para korban gempa kemarin, terselip rasa syukur karena Allah Swt masih memberikan kesempatan saya untuk hidup dan memberikan peringatan yang sempurna ini. Semoga amal ibadah para korban gempa yang meninggal dunia diterima di sisi Allah dan mereka yang ditinggalkan tetap diberi ketabahan dan kesabaran. Semoga sisa ibadah puasa Ramadan yang akan masih kita jalani lebih berkualitas dan kita bersegera meraih ampunanNya. Amiin ...




“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu, dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa”.
(Surah Ali ‘Imran: 133)."



*introspeksi dari pojok kantor,
13 Ramadan 1430 H/3 September 2009


Tuesday, September 1, 2009

Ketika Masjid-Masjid Mulai Sepi


Suatu saat saya berkesempatan berkunjung ke Masjid Salman di kompleks universitas Institut Teknologi Bandung. Kebetulan waktu itu pas waktu dzuhur. Karena sedang tidak salat, saya memilih duduk di luar masjid, menunggu adik yang akan menunaikan salat.


Beberapa saat setelah adzan berkumandang. Dari luar masjid saya mendengar suara-sepertinya imam yang akan memimpin salat siang itu-yang meminta agar makmum merapatkan shaf sebelum salat dimulai. Saya tidak tahu bagaiman
a situasi di dalam masjid. Tapi yang saya dengar, beberapa kali suara itu meminta agar makmum merapikan dan merapatkan shafnya dan itu berlangsung selama beberapa menit. Belakangan, dengan nada tinggi dari suara yang saya dengar, sang imam sepertinya meneliti shaf-shaf yang masih longgar dan menginstruksikan dengan nada tegas agar makmum mengisi shaf-shaf yang masih longgar.

Saya sempat tersentak mendengar nada tinggi suara sang imam dan spontan nyeletuk "waduh, galak bener nih imam". Karena rasanya, baru kali ini ada seorang imam salat yang begitu perhatian untuk mengatur shaf para makmumnya, sampai makan waktu hampir lima
menit ia mengatur barisan salat itu. Biasanya, imam hanya mengingatkan saja seperti menjalankan "prosedur" biasa, perkara shaf yang dibelakang masih berantakan, yang penting sudah mengingatkan.

Usai salat, saya berkomentar sekali lagi pada adik saya yang baru keluar masjid, "imamnya galak amat ya ...". Adik saya tersenyum, "iya, dia sampai memperhatikan shaf dibelakang udah rapat
apa belum. jarang-jarang tuh imam yang mau repot-repot ngatur shaf makmum sampe teliti kayak gitu," komentar adik saya.

Saya cuma berdehem membenarkan. Obrolan itu berakhir sampai di situ, tak ada pembahasan panjang seperti biasanya jika kami menemukan hal-hal yang antagonis dengan praktik-pratik keislaman. Dalam hati, saya salut dengan imam salat siang itu, begitulah seharusnya seorang imam, pemimpin, men
gatur barisan makmumnya.

Tapi ... di bulan Ramadan ini, tiba-tiba saya teringat kembali dengan peristiwa Masjid Salman itu. Terutama saat salat di masjid dekat rumah dan melihat shaf-shaf salat yang berantakan. Padahal Ramadan belum lagi melewati 10 hari pertama, tapi jamaah salat tarawih di masjid sudah menyusu
t drastis yang menyebabkan barisan shaf salat makin sedikit.

Yang memprihatinkan, sudah jamaahnya makin menyusut, sepertinya sebagian jamaah tidak sadar (atau enggak tahu yah) pentingnya merapikan dan merapatkan shaf saat salat. Yang saya lihat, mudah-mudahan tidak
terlalu berlebihan kalau saya bilang menyedihkan, shaf-shaf salatnya amburadul. Selain renggang, barisannya juga tidak teratur. Kadang ada shaf yang dibiarkan kosong di tengah, sementara di sisi kiri dan kanannya terisi.  Parahnya lagi, sulit sekali meminta mereka untuk mengisi shaf-shaf yang kosong itu, agar barisannya rapat, rapi dan lurus. Duh ... ada apa dengan umat ini?.

Shaf dalam salat bukan masalah sepele, karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan salat seperti sabda Rasulullah Muhamad Saw.


"Luruskan shaf-shaf kalian, karena meluruskan shaf termasuk kesempurnaan salat." (HR Bukhari)

Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah mengingatkan;

"Luruskan shaf kalian, jadikan setentang di antara bahu-bahu dan tutuplah celah-celah yang kosong, lunaklah terhadap tangan saudara kalian dan
jangan kalian meninggalkan celah-celah bagi syaitan. Barang siapa menyambung shaf, maka Allah menyambungkannya dan barang siapa memutuskannya maka Allah memutuskannya." (HR Bukhari, Abu Dawud 666)


Itulah fenomena yang saya lihat ketika jamaah salat tarawih di masjid mulai menyusut. Sebuah fenomena yang memprihatikan sebenarnya karena kesadaran untuk merapatkan barisan shaf ketika salat berjamaah setidaknya mencerminkan sejauh mana ukhuwah islamiyah umat Islam. Menunjukkan kekuatan persatuan umat Islam. Jadi, kalau di dalam masjid saja sulit sekali diatur barisannya ... bagaimana kalau sudah di luar masjid? Tak heran kalau kita menyaksikan bahwa kita masih begitu lemah untuk melawan kekuatan syaitan yang ingin memecah belah umat.

Dalam masalah ukhuwah ini, seorang tokoh Yahudi pernah menyindir umat Islam ketika ditanya seorang wartawan apakah orang-orang Yahudi tidak percaya bahwa suatu saat mereka akan dikalahkan oleh umat Islam seperti yang ditasbihkan dalam kitab mereka.. Tokoh Yahudi  itu menjawab pertanyaan tersebut dengan tenang, "Masa itu masih sangat jauh kawan. Orang-orang Islam baru bisa mengalahkan kami kalau jamaah salat subuh mereka sama dengan jamaah salat jum'atnya".

Ironis bukan? so, mumpung masih momen Ramadan mari kita ramaikan masjid, rapatkan dan luruskan shaf  ...