Thursday, December 29, 2011

Baca Buku Lompat-Lompat, Kebiasaan Jelek?

Let books be your dining table,
And you shall be full of delights
Let them be your mattress
And you shall sleep restful nights.
~Author Unknown




Saya tidak tahu apakah cara saya membaca buku ini benar atau tidak, bagus atau tidak.  Saya punya kebiasaan untuk membaca beberapa buku dalam satu waktu. Kalau ada kesempatan buat beli buku, saya biasanya beli beberapa buku dengan plihan, ada buku yang isinya "berat" dan buku yang isinya ringan, dengan pertimbangan kalau lagi bosen baca buku yang berat, bisa pindah dulu, membaca buku yang ringan.

Dengan kata lain, kebiasaan membaca saya enggak karuan. Tidak pernah menyelesaikan membaca buku satu persatu, tapi pindah-pindah, dari buku yang satu ke buku yang lain. Tergantung mood aja. Kadang ada buku yang bisa sampai selesai terbaca semuanya,  ada juga yang enggak, terutama buku-buku yang terlanjur dibeli tapi ternyata isinya gak menarik, atau bahasanya bikin pusing kepala.

Jeleknya, kalau lagi asyik ke salah satu buku, buku lain yang baru setengah dibaca, ditinggal dulu. Walhasil begitu pengen melanjutkan baca lag buku yang ditinggalin kemarin, suka lupa apa isi sebelumnya, dan kadang jadi dibaca ulang dari depan lagi.  Kadang saya merasa gaya membaca seperti ini tidak efektif dan efisien, tapi entah kenapa, koq susah ya menghilangkan kebiasaan ini. Rasanya, jarang banget saya menyelesaikan satu bacaan terlebih dulu, baru dilanjutkan ke bacaan lain, kecuali bacaan itu memang asyik banget dan bikin penasaran.

Ada jeleknya lagi nih, kalo lagi baca buku yang memang asyik dan bikin penasaran itu, saya suka gak sabar pengen tahu ending-nya, jadi kadang langsung dibaca bagian endingnya dulu, baru deh dibaca seluruhnya. Kalau sudah tahu ending-nya, rasanya koq ya jadi tenang bacanya ... hehehe ...

Satu lagi, beberapa tahun belakangan ini, saya jadi cepet lupa isi buku yang baru saya baca. Jadi kadang suka gak nyambung kalau ada yang nanya. Biasanya kalau ada yang cerita isi buku yang pernah saya baca ... baru deh saya inget "rasanya saya pernah baca buku ini deh"  Ini mungkin faktor "u" ya ...  sudah cepet lupa ....


Thursday, December 22, 2011

Hafalan Shalat Delisa, Bagian Uneg-Uneg

Selasa, 20/12/2011 sore, saya menemani rekan dari bagian marketing kantor, menghadiri pemutaran film perdana  Hafalan Shalat Delisa di sebuah bioskop di bilangan jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Acara pemutaran film berjalan lancar. Soal waktu yang molor, itu sih sudah biasa lah ya di Indonesia.  Setelah itu, acara dilanjutkan dengan jumpa pers dengan para pendukung film tersebut.  

Setelah beberapa menit acara berjalan, saya mencium bau yang khas, bau asap rokok !  Saya coba menahan diri dengan menutup hidung. Tapi lama-lama bau asap rokok makin pekat dan terlihat kepulan asap rokok dari beberapa orang yang ada dalam ruangan (saya kira mereka adalah wartawan, atau kru media)

Buat orang seperti saya yang sensitif dengan asap rokok, tak pelak membuat kepala saya langsung pening dan perut terasa mual. Sebelum muntah betulan, saya memilih keluar ruangan yang pastinya ber-ac itu dan seharusnya tidak boleh ada orang yang merokok. Beruntung ada teman saya yang kuat, jadi saya bisa titip pertanyaan dan mendapat informasi hasil keterangan pers malam itu.

Saya cuma bisa memaki dalam hati, kenapa ada orang yang bisa-bisanya merokok dengan leluasa di acara publik seperti itu. Apalagi dalam acara tersebut, ada beberapa anak-anak yang bermain dalam film tersebut, ikut jumpa pers dengan para wartawan.

Saya bukannya tidak berani protes, tapi saya melihat posisi saya (apalagi kami dari media muslim yang nyaris tak pernah bertemu apalagi kumpul-kumpul dengan para wartawan entertain) yang tidak memungkinkan jika saya tiba-tiba protes dengan asap rokok.

Saya cuma menyesalkan pihak panitia yang menggelar jumpa pers Hafalan Shalat Delisa yang tidak peka dengan asap rokok. Apalagi ada anak-anak di situ. Sungguh ironis, di sebuah acara peluncuran film untuk anak-anak dan keluarga, justru orang bisa seenaknya menghembuskan asap rokok dan menyebarkan penyakit pada orang lain. Padahal setahu saya, undang-undang larangan merokok di tempat publik masih berlaku di Jakarta.

Saya sih tidak mau menyalahkan penegak hukumnya. Karena ternyata yang jadi salah satu persoalan adalah minimnya kesadaran untuk mematuhi aturan yang berlaku. Kondisinya tambah menyedihkan, karena aturan itu dilanggar oleh segelintir insan pers, yang seharusnya memilik kesadaran lebih tinggi dan menjadi contoh warga masyarakat lainnya.

Catatan Film: Hafalan Shalat Delisa


Mulai tanggal 22 Desember kemarin, bertepatan dengan Hari Ibu, keluarga Indonesia sudah bisa menyaksikan film yang ditunggu-tunggu, Hafalan Shalat Delisa. Sebuah film yang diangkat dari novel laris karya Tere Liye dengan judul yang sama.

Hafalan Shalat Delisa, kisah yang berlatar belakang bencana tsunami Aceh tahun 2006 lalu,  menambah kaya khasanah film berkualitas yang masih minim di negeri ini. Film yang ber-genre drama dan bernuansa islami ini sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan, keberagaman, semangat hidup, keikhlasan serta bagaimana mengubah kesedihan menjadi kekuatan yang memberikan energi positif bagi orang-orang di sekitarnya yang sudah kehilangan harapan.

Semua semangat itu ditularkan oleh seorang anak perempuan bernama Delisa, yang dengan ketabahan dan keceriaannya berhasil mengatasi rasa duka akibat kehilangan orang-orang yang dicintai, bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga orang-orang di sekitarnya yang mengalami penderitaan yang sama.

Kisah film ini dibuka dengan kehidupan sebuah keluarga muslim yang utuh, keluarga Umi Salamah (Nirina Zubir) dan empat orang anak perempuannya bernama Fatimah (Ghina Salsabila), si kembar Aisyah (Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi), dan si bungsu bernama Delisa (Chantiq Schagerl).

Keluarga bahagia itu tinggal di desa Lhok Nga, Aceh yang terletak di tepi pantai. Saat tsunami terjadi, mereka cuma berlima karena sang ayah, yang biasa dipanggil Abi Hasan (Reza Rahadian) sedang  bekerja di di sebuah kapal tanker perusahaan minyak internasional.

Delisa, yang menjadi sentral cerita film ini, adalah anak yang periang, cerdas, suka ceplas-ceplos, hobi main bola. Seperti anak-anak lainnya di desa itu, anak perempuan berusia 7 tahun itu, juga belajar mengaji, dan sedang menghapal bacaan shalat untuk ikut ujian praktek shalat, yang lazim dilakukan anak-anak seusianya di desa Lhok Nga.

Dalam tradisi keluarga Delisa, Umi Salamah akan memberikan hadiah berupa seuntai kalung untuk anak-anaknya yang berhasil lulus ujian praktek salat. Semua kakak Delisa sudah mendapatkanya, tinggal Delisa yang belum, karena ia belum ikut ujian praktek salat.

Delisa begitu rajin dan bersemangat menghafal bacaan shalat, setelah Umi membelikannya kalung berinisial D. Tapi kalung itu baru akan diberikan, setelah Delisa dinyatakan lulus ujian praktek salat.

Hari ujian yang ditunggu Delisa pun tiba. Saat itu tanggal 26 Desember 2004, Umi dan Delisa sudah bersiap-siap akan menuju tempat ujian praktek salat, ketika tiba-tiba yang cukup keras mengguncang dan membuat Delisa ketakutan. Tapi gempa akhirnya reda, Umi dan Delisa pun berangkat. Sedangkan ketiga kakak Delisa, tinggal di rumah.




Di tempat ujian, Delisa gelisah menanti gilirannya. Umi menyemangati agar Delisa tak lupa hafalan salatnya. Ketika tiba giliran Delisa, tiba-tiba air bah datang. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri, tapi Delisa tetap konsentrasi membaca bacaan salatnya. Yang ada di pikirannya saat itu, ia bisa lulus ujian praktek salat dan mendapatkan kalung berinisial D dari uminya. Delisa tak paham bahaya yang sedang menghantam, tsunami meluluhlantakkan Aceh termasuk desa Lhok Nga, tempat keluarga Delisa tinggal.

Delisa selamat dalam bencana itu, meski salah satu kakinya diamputasi. Ia diselamatkan oleh relawan internasional, seorang prajurit marinir AS bernama Smith, dan seorang suster bernama Sophie yang kemudian menjadi sahabat Delisa. Bersyukur Delisa akhirnya bisa bertemu dengan abi-nya.

Delisa sedih begitu tahu ketiga kakaknya sudah tiada, dan ibunya belum diketahui nasibnya. Pada satu titik ia merasa sangat sedih, marah, kecewa dan merasa Tuhan tidak adil karena telah mengambil orang-orang yang dicintainya. Tapi Delisa berusaha mengatasi kesedihannya itu dengan selalu tersenyum dan berwajah ceria. Ia tetap bermain bola meski sudah kehilangan satu kakinya dan harus mengenakan tongkat penyangga saat berjalan.

Keceriaan dan senyum Delisa yang membuat orang disekitarnya terharu dan jadi ikut bersemangat, meski mengalami kehilangan yang menyakitkan akibat bencana tsunami.  Lalu bagaimana kisah Delisa selanjutnya, apakah ia berhasil menemukan umi-nya, apakah ia akhirnya mendapatkan kalung berinisial D yang diidam-idamkanya, apakah ia berhasil lulus dalam praktek ujian salat?

Hafalan Shalat Delisa adalah film yang menyentuh. Beberapa adegan dan dialog akan membuat kita meneteskan air mata. "Delisa cinta Umi karena Allah", "Delisa cinta Abi karena Allah", begitu kata Delisa.

Bukan Sekedar Film



Hafalan Shalat Delisa disutradarai oleh Sony Gaokasak. Film yang dibuat selama 20 hari ini, mengambil lokasi syuting di kawasan Ujung Genteng. Menurut Sony, film ini mengusung tema "Kehilangan yang Menguatkan".

Sementara penulis novelnya, Tere Liye mengaku tidak pernah menyangka novel Hafalan Shalat Delisa yang ditulisnya ini akan sampai pada tahap difilmkan.

"Setiap orang punya cara untuk mengungkapkan kejadian itu (tsunami Aceh) dengan cara yang lebih baik. Saya hanya punya keyakinan yang kokoh bahwa selalu ada hikmah dibalik kejadian besar ini," kata Tere dalam keterangan pers usai pemutaran film.

Penulis novel yang sehari-harinya berprofesi sebagai akuntan itu menambahkan, ia berharap orang-orang yang belum membaca novelnya atau tidak suka membaca, juga mendapatkan manfaat setelah menyaksikan versi film Hafalan Shalat Delisa.

Buat beberapa pemain dan kru film, film ini ternyata memberikan pengaruh luar biasa. Al-Fathir Muchtar (yang memerankan Ustaz Rahman) misalnya, mengaku jadi termotivasi menghatamkan Al-Quran setelah menyelesaikan proses pembuatan film ini.  

Seorang kru, Cesa David Luckmansyah, penyunting gambar,  mengaku kembali terdorong untuk menghafalkan bacaan shalatnya, yang sudah agak sedikit terlupa.

Semoga Hafalan Shalat Delisa juga memberi pengaruh positif bagi seluruh keluarga Indonesia. Selamat menonton.

ditulis untuk eramuslim

Monday, December 19, 2011

Catatan Perjalanan: "Adventure of Tafakkur" Pulau Untung Jawa



Di sepertiga malam itu, sayup-sayup terdengar isak tangis dari para peserta yang bertafakkur dan bermuhasabah. Tak ada hal lain yang bisa dilakukan manusia, selain memanjatkan doa memohon ampunan dari Yang Maha Kuasa atas semua kelalaian yang dilakukan, dan bertekad untuk membenahi diri kembali ke komitmen seorang muslim pada Penciptanya.





Menjelang Subuh, acara tafakkur selesai dan kapal kembali ke pulau. Sungguh ajaib, saat perjalanan menuju pulau, langit di sepertiga malam yang tadinya gelap gulita, seolah menjadi cerah sehingga bintang-bintang yang bertaburan nampak jelas, berkelip-kelip di kejauhan. Subhanallah ....


--------------




Perjalanan kali ini memang bukan perjalanan biasa. Kalo biasanya nge-trip cuma bersuka ria dan foto-foto, kali ini ada unsur spiritualnya sesuai dengan teman perjalanan "Adventure of Tafakkur"  ke Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu, pada 16-17 Desember 2011, kemarin. 

Selain bertafakkur, perjalanan hari itu sekaligu meninjau lokasi di pulau itu yang akan dibangun sebuah pesantren tahfiz.  Mudah-mudahan niat baik itu segera terwujud ... aamiin


Tulisan lengkap tentang perjalanan ke Pulau Untung Jawa, bisa di baca di sini
  Eramuslim.Com

Monday, December 12, 2011

Remaja Sekarang, Antara Klub Sains dan Boy/Girl Band

Meski yakin gak bakal bisa liat gerhana bulan total karena cuaca Jakarta yang mendung sepanjang hari, dan hujan sepanjang sore, demi memenuhi rasa penasaran sang ponakan, akhirnya saya dan Faish (ponakan saya) berangkat juga ke Planetarium di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (10/12/2011).

Sampai di Planetarium pas Maghrib, dan saya lihat sudah banyak orang berkumpul di sana, mulai dari anak-anak sekolah, mayoritas siswa-siswi SMA dari klub astronomi, beberapa orang (yang saya kira penggemar fotografi) lengkap dengan peralatan fotonya dan orang tua yang membawa serta anak-anak mereka.

Hari itu, Planetarium Jakarta memang membuka kesempatan bagi masyarakat umum yang ingin ikut melakukan pengamatan gerhana bulan "berdarah", karena kali ini merupakan gerhana bulan terakhir di penghujung tahun 2011. Tapi, sudah bisa ditebak, masyarakat umum yang datang harus kecewa karena gerhana bulan tak bisa diamati karena langit Jakarta gelap dan bulan sama sekali tak terlihat.

Beberapa diantara mereka, akhirnya memilih pulang. Sedangkan saya dan Faish menunggu sebentar sambil menanti hujan reda. Sambil duduk-duduk di ruang tunggu Planetarium, saya perhatikan anak-anak yang juga masih bertahan di Planetarium, beberapa kelompok ditemani guru mereka. Saya pikir mereka adalah anak-anak sekolah yang beruntung karena bisa ikut klub astronomi. Dulu, zaman saya sekolah, belum ada tuh yang namanya klub astronomi, paling cuma klub science. Pelajaran astronomi di sekolah pun sangat amat minim, digabung ke pelajaran Geografi.

Saya melirik seorang siswi SMA yang duduk di sebelah saya, sedang asyik membuka simulasi gerhana bulan dari laptopnya, yang katanya dari software astronomi. Sebagai "orang tua" (maksudnya yang sudah sangat lama melewati masa SMA) saya koq seneng banget melihat anak-anak remaja ini sudah meminati astronomi, salah satu cabang ilmu yang bagi sebagian orang sama sekali tidak menarik.

Memang sih, semua tergantung minat dan hobi masing-masing orang. Tapi, senang melihat masih banyak remaja-remaja Indonesia yang berkumpul, membahas fenomena langit yang rumit dan penuh misteri ... di tengah fenomena para ABG saat ini yang lebih sering berkumpul buat membentuk boyband atau girlband.


Friday, December 2, 2011

Temans, Jangan Lupa Ya, Minggu 4 Desember, Kita Kumpul di Taman Menteng


Penjajahan Zionis Israel di tanah Palestina adalah bentuk penjajahan yang masih tersisa di abad modern ini. Tapi negara-negara besar dan berpengaruh,  utamanya Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya tidak pernah mau mengakui penjajahan Israel atas rakyat Palestina. Mereka berdalih bahwa Israel berhak berdiri sebagai "negara",  tapi tidak pernah memberi peluang bagi Palestina untuk juga berdiri sebagai negara yang merdeka.

AS beserta sekutu-sekutunya, yang mengklaim diri sebagai negara demokratis dan menghormati hak asasi manusia, justru mendukung penjajahan  dan penindasan yang dilakukan rezim Zionis di Palestina, penjahan yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip dan semangat demokrasi serta melanggar hak asasi manusia.

Rakyat Palestina yang masih terus berjuang merebut kembali kemerdekaan dan hak-haknya yang terampas, mendapat dukungan dan solidaritas dari sebagian masyarakat dunia yang peduli dan paham betul makna sebenarnya dari "demokrasi" dan penghormatan terhadap hak asasi. Mari menjadi bagian dari mereka yang peduli .... dengan doa dan aksi solidaritas untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina membebaskan diri dari penjajahan Zionis Israel.

Datang dan meriahkan aksi solidaritas untuk Palestina "Asia Pacific Solidarity for Al-Quds, Freedom Palestine" yang akan digelar hari Minggu, 4 Desember 2011 di Taman Menteng, Jakarta Pusat, mulai pukul 06.30 WIB sampai selesai.

Ajak keluarga dan ikuti berbagai acaranya seperti fun bike, jalan sehat, lomba foto dan lomba untuk anak-anak. Gratis. Ayo, saatnya kita tunjukkan solidaritas untuk rakyat Palestina. Sampai jumpa di Taman Menteng .... semangat !