Thursday, December 22, 2011

Catatan Film: Hafalan Shalat Delisa


Mulai tanggal 22 Desember kemarin, bertepatan dengan Hari Ibu, keluarga Indonesia sudah bisa menyaksikan film yang ditunggu-tunggu, Hafalan Shalat Delisa. Sebuah film yang diangkat dari novel laris karya Tere Liye dengan judul yang sama.

Hafalan Shalat Delisa, kisah yang berlatar belakang bencana tsunami Aceh tahun 2006 lalu,  menambah kaya khasanah film berkualitas yang masih minim di negeri ini. Film yang ber-genre drama dan bernuansa islami ini sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan, keberagaman, semangat hidup, keikhlasan serta bagaimana mengubah kesedihan menjadi kekuatan yang memberikan energi positif bagi orang-orang di sekitarnya yang sudah kehilangan harapan.

Semua semangat itu ditularkan oleh seorang anak perempuan bernama Delisa, yang dengan ketabahan dan keceriaannya berhasil mengatasi rasa duka akibat kehilangan orang-orang yang dicintai, bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga orang-orang di sekitarnya yang mengalami penderitaan yang sama.

Kisah film ini dibuka dengan kehidupan sebuah keluarga muslim yang utuh, keluarga Umi Salamah (Nirina Zubir) dan empat orang anak perempuannya bernama Fatimah (Ghina Salsabila), si kembar Aisyah (Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi), dan si bungsu bernama Delisa (Chantiq Schagerl).

Keluarga bahagia itu tinggal di desa Lhok Nga, Aceh yang terletak di tepi pantai. Saat tsunami terjadi, mereka cuma berlima karena sang ayah, yang biasa dipanggil Abi Hasan (Reza Rahadian) sedang  bekerja di di sebuah kapal tanker perusahaan minyak internasional.

Delisa, yang menjadi sentral cerita film ini, adalah anak yang periang, cerdas, suka ceplas-ceplos, hobi main bola. Seperti anak-anak lainnya di desa itu, anak perempuan berusia 7 tahun itu, juga belajar mengaji, dan sedang menghapal bacaan shalat untuk ikut ujian praktek shalat, yang lazim dilakukan anak-anak seusianya di desa Lhok Nga.

Dalam tradisi keluarga Delisa, Umi Salamah akan memberikan hadiah berupa seuntai kalung untuk anak-anaknya yang berhasil lulus ujian praktek salat. Semua kakak Delisa sudah mendapatkanya, tinggal Delisa yang belum, karena ia belum ikut ujian praktek salat.

Delisa begitu rajin dan bersemangat menghafal bacaan shalat, setelah Umi membelikannya kalung berinisial D. Tapi kalung itu baru akan diberikan, setelah Delisa dinyatakan lulus ujian praktek salat.

Hari ujian yang ditunggu Delisa pun tiba. Saat itu tanggal 26 Desember 2004, Umi dan Delisa sudah bersiap-siap akan menuju tempat ujian praktek salat, ketika tiba-tiba yang cukup keras mengguncang dan membuat Delisa ketakutan. Tapi gempa akhirnya reda, Umi dan Delisa pun berangkat. Sedangkan ketiga kakak Delisa, tinggal di rumah.




Di tempat ujian, Delisa gelisah menanti gilirannya. Umi menyemangati agar Delisa tak lupa hafalan salatnya. Ketika tiba giliran Delisa, tiba-tiba air bah datang. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri, tapi Delisa tetap konsentrasi membaca bacaan salatnya. Yang ada di pikirannya saat itu, ia bisa lulus ujian praktek salat dan mendapatkan kalung berinisial D dari uminya. Delisa tak paham bahaya yang sedang menghantam, tsunami meluluhlantakkan Aceh termasuk desa Lhok Nga, tempat keluarga Delisa tinggal.

Delisa selamat dalam bencana itu, meski salah satu kakinya diamputasi. Ia diselamatkan oleh relawan internasional, seorang prajurit marinir AS bernama Smith, dan seorang suster bernama Sophie yang kemudian menjadi sahabat Delisa. Bersyukur Delisa akhirnya bisa bertemu dengan abi-nya.

Delisa sedih begitu tahu ketiga kakaknya sudah tiada, dan ibunya belum diketahui nasibnya. Pada satu titik ia merasa sangat sedih, marah, kecewa dan merasa Tuhan tidak adil karena telah mengambil orang-orang yang dicintainya. Tapi Delisa berusaha mengatasi kesedihannya itu dengan selalu tersenyum dan berwajah ceria. Ia tetap bermain bola meski sudah kehilangan satu kakinya dan harus mengenakan tongkat penyangga saat berjalan.

Keceriaan dan senyum Delisa yang membuat orang disekitarnya terharu dan jadi ikut bersemangat, meski mengalami kehilangan yang menyakitkan akibat bencana tsunami.  Lalu bagaimana kisah Delisa selanjutnya, apakah ia berhasil menemukan umi-nya, apakah ia akhirnya mendapatkan kalung berinisial D yang diidam-idamkanya, apakah ia berhasil lulus dalam praktek ujian salat?

Hafalan Shalat Delisa adalah film yang menyentuh. Beberapa adegan dan dialog akan membuat kita meneteskan air mata. "Delisa cinta Umi karena Allah", "Delisa cinta Abi karena Allah", begitu kata Delisa.

Bukan Sekedar Film



Hafalan Shalat Delisa disutradarai oleh Sony Gaokasak. Film yang dibuat selama 20 hari ini, mengambil lokasi syuting di kawasan Ujung Genteng. Menurut Sony, film ini mengusung tema "Kehilangan yang Menguatkan".

Sementara penulis novelnya, Tere Liye mengaku tidak pernah menyangka novel Hafalan Shalat Delisa yang ditulisnya ini akan sampai pada tahap difilmkan.

"Setiap orang punya cara untuk mengungkapkan kejadian itu (tsunami Aceh) dengan cara yang lebih baik. Saya hanya punya keyakinan yang kokoh bahwa selalu ada hikmah dibalik kejadian besar ini," kata Tere dalam keterangan pers usai pemutaran film.

Penulis novel yang sehari-harinya berprofesi sebagai akuntan itu menambahkan, ia berharap orang-orang yang belum membaca novelnya atau tidak suka membaca, juga mendapatkan manfaat setelah menyaksikan versi film Hafalan Shalat Delisa.

Buat beberapa pemain dan kru film, film ini ternyata memberikan pengaruh luar biasa. Al-Fathir Muchtar (yang memerankan Ustaz Rahman) misalnya, mengaku jadi termotivasi menghatamkan Al-Quran setelah menyelesaikan proses pembuatan film ini.  

Seorang kru, Cesa David Luckmansyah, penyunting gambar,  mengaku kembali terdorong untuk menghafalkan bacaan shalatnya, yang sudah agak sedikit terlupa.

Semoga Hafalan Shalat Delisa juga memberi pengaruh positif bagi seluruh keluarga Indonesia. Selamat menonton.

ditulis untuk eramuslim

13 comments:

  1. Salah satu film berkualitas yang sarat pesan kebaikan.

    suka sekali dengan kata2 : Kehilangan Yang menguatkan.
    memang sejatinya kita ini tidak pernah kehilangan apa-apa, karena tak ada yang kita punyai di dunia ini. semua yang hilang, justru kembali kepada Sang Pemberi.

    air mata saya menetes saat membaca tulisan ini :)

    ReplyDelete
  2. Gonna watch this :-)

    Soal sinematografi-nya gimana, Mbak?
    Bagus dan alami kah? :-)

    Oya, akting anak-anaknya juga?
    Alamikah?

    Maksudku, dari sisi kritik film, film ini nyaris sempurna kah? Soalnya tidak ada kritik film sama sekali di jurnal ini :-p

    ReplyDelete
  3. saya memang tidak sedang mengkritisi film ini. karena saya bukan kritikus film. :)

    Tapi menurut saya, akting para pemainnya lumayan bagus, alami, terutama anak-anak yang semuanya pendatang baru.

    cuma sinematografinya yang menurut saya kurang bagus. keliatan banget di beberapa adegan seperti tsunami dan kedatangan kapal induk AS, serta helikopter yang terbang di atas lokasi tsunami adalah hasil olah gambar komputerisasi. kurang smooth bikinnya ...:) kayaknya kekurangan film ini itu saja ...:)

    ReplyDelete
  4. makasih reviewnya mbak.. ceritanya sgt menyentuh :)

    ReplyDelete
  5. keereeen,,,semoga bisa nonton ahh,,*nyisihin uang saku

    ReplyDelete
  6. dua kali baca novelnya dan dua kali mewek :D

    ReplyDelete
  7. pengen sgera bisa beli novelnya,bca sinopssnya dikit z udah bkin q mbrebes....

    ReplyDelete
  8. Pengen nonton, deh

    Cocok ga mbak ditonton sama anak umur 5 tahun?

    ReplyDelete
  9. tergantung anaknya nov, seneng nonton apa enggak ...:)

    ReplyDelete
  10. Pengen nontoon. Januari masih ada ga yaa?

    *mba nov, nonton bareng aku yuuk.

    ReplyDelete
  11. Wah nunggu sampai cirebon kapan ...
    Makasih say reviewnya..

    ReplyDelete
  12. ceu ke bandung aja yuuk..he..he..
    tapi bentar lagi ini masuk grage kok ceu

    ReplyDelete