Monday, May 24, 2010

Becermin pada Gesang dan Ibu Ainun Habibie


Dalam sepekan ini Indonesia kehilangan putra putri terbaiknya. Tanggal 20 Mei, Maestro Keroncong Gesang, meninggal dunia dalam usia 92 tahun di RS Muhammadiyah, Solo Jawa Tengah karena sakit.  Dua hari kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Mei, Ibu Hasri Ainun Habibie, istri matan Presiden BJ Habibie juga wafat karena sakit yang dideritanya, di RS Ludwig-Maximilians-Universitat, Klinikum Grohadern, Munich, Jerman.


Keduanya meninggalkan kesan masing-masing saat tutup usia. Gesang meninggalkan warisan lagu-lagu keroncong yang akan tetap dikenang masyarakat Indonesia terutama masterpiecenya, lagu "Bengawan Solo" yang popularitasnya melampaui batas-batas negara. Sepeninggalnya, Gesang akan diingat dalam sejarah sebagai maestro keroncong, jenis musik yang kian hari makin dilupakan orang. Sepengetahuan saya, cuma TVRI, satu-satunya stasiun televisi yang konsisten menyiarkan program musik keroncong.

Semoga tv-tv swasta lainnya juga meniru langkah TVRI, ikut menghidupkan kembali jenis musik keroncong agar lebih dikenal di kalangan anak-anak muda, dan tidak cuma "demam" sesaat, menampilkan musik keroncong ketika Gesang wafat, lewat suara Sundari Sukoco, penyanyi yang pernah menjadi ibu guru di SMA sebelah SMP saya dulu. Seorang penyanyi tulen belum teruji kebolehannya kalau belum bisa menyanyikan lagu keroncong ... setidaknya ini menurut pendapat saya.



Ibu Hasri Ainun Habibie,  kepergiannya memberikan hikmah dan inspirasi tentang cinta dan kasih sayang sejati pasangan suami-istri. Berita-berita yang saya baca tentang sosok ibu Ainun membuat saya kagum dengan sosok perempuan dan sosok ibu yang satu ini. Sosok ibu yang meski pintar dan cerdas, memilih mendampingi suami dan keluarga sebagai ibu rumah tangga ketimbang meneruskan karir dokternya.  Cerita betapa setianya Pak Habibie mendampingi istri tercintanya selama sebulan penuh di rumah sakit, begitu menyentuh, menjadi teladan bagi pasangan-pasangan masa kini tentang tentang arti cinta sejati.

Satu hal yang mengesankan adalah pesan Pak Habibie agar ucapan bela sungkawa untuk isterinya tidak berupa karangan bunga, tapi diberikan dalam bentuk donasi ke yayasan-yayasan sosial yang dikelola ibu Ainun semasa hidupnya, antara lain yayasan penyantun para penyandang tunanetra. Sebuah tindakan yang jarang, bahkan tidak pernah saya dengar dari para keluarga pejabat negara yang meninggal dunia.

Apa yang dilakukan Pak Habibie, mengingatkan saya pada Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, yang juga melarang ucapan selamat dan pemasangan foto-foto dirinya saat ia terpilih menjadi presiden Iran. Keduanya, Pak Habibie dan Ahmadinejad,  menunjukkan sikap kerendahan hati, kesederhanaan dan tetap memikirkan kepentingan rakyat banyak, di saat susah maupun senang. Sikap yang tidak dimiliki sebagian besar pejabat di negeri ini.

Ibarat kata pepatah "Macan Mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama, budi baik dikenang jua,"  Gesang dan Ibu Ainun menorehkan nama baik dan tetap meninggalkan manfaat bagi orang banyak setelah menyelesaikan kewajibannya sebagai "khalifah" Allah Swt di dunia. Bagaimana dengan kita saat meninggal nanti?

7 comments:

  1. Setuju.... merekalah cermin yang sangat bening untuk berkaca. Semoga kita tak hanya bs mengenangnya tp jg meneladaninya.. Amin.

    ReplyDelete
  2. yup mbak, meski secara pribadi kita tidak dekat dengan mereka ...

    ReplyDelete
  3. amiin ... Insya Allah ... di tengah kekisruhan negeri ini, kita masih memiliki cermin-cermin yang bening itu ...

    ReplyDelete
  4. Subhanallah...semoga amal jariah untuk beliau terus mengalir

    ReplyDelete
  5. Subhanallah ...
    Amal Jariah mereka membuat hikmah bagi yang kurang tersentuh dengan dunia kemanusiaan..
    Makasih Mbak Lena..

    ReplyDelete