Monday, March 18, 2013

Edelweis dan "Grand Canyon", Sisi Lain Bromo


 "Setiap orang bertumbuh dalam perjalanan. semua juga mengawali dari titik yang sama, kenaifan yang sama. Tidak ada kelas-kelas dalam perjalanan, ini semua adalah proses yang kontinyu"

Kalimat yang ditulis Agustinus Wibowo (penulis buku Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol) ini seperti oase yang menyejukkan hati. Menumbuhkan semangat dalam dada, untuk terus melakukan perjalanan (kemanapun, jauh atau dekat ), mengasah intuisi dan kepekaan pada lingkungan, terutama pada sesama manusia. Berjalan bukan cuma menikmati dan tersihir oleh eksotika suatu tempat, tapi harus melatih untuk membuka mata lebih lebar, mengeksplorasi, agar perjalanan menjadi bermakna dan memperkaya wawasan hidup.


Saya jadi teringat perjalanan ke Bromo kemarin, rasanya saya terlalu asyik melihat keindahan alamnya, sehingga nyaris lupa untuk berinteraksi dengan warga lokal; tukang jualan, penyewa kuda, atau sekedar berbincang dengan sopir jeep yang mengantar kami berkeliling. Padahal, merekalah sumber-sumber yang bisa jadi inspirasi dan memberi nilai tambah pada perjalanan saya




Sampai akhirnya, saat berada di pinggir kawah Bromo, melepas lelah setelah naik ratusan tangga dan motret sebentar, datang seorang anak muda menawarkan daganganya, bunga edelweis. Sejak di pelataran bawah tangga, sebenarnya saya sudah memperhatikan bunga gunung yang cantik itu. Baru kali ini saya melihat edelweis warna-warni dan dirangkai sedemikian rupa. Kreatif juga pedagang-pedagang ini.

Awalnya, saya cuma tersenyum dan beberapa kali menggeleng, ketika pemuda tadi menawarkan edelweisnya.  Tapi ia begitu gigih merayu saya, agar membeli bunganya.  "Buat kenang-kenangan mbak, bunganya tahan lama, asal jangan kena air," katanya.

Melihat kegigihannya berjualan, saya meresponnya dan menanyakan tentang edelweis yang disodorkannya pada saya, kenapa gak boleh kena air, ngambilnya dari mana,  memangnya edelweis boleh dipetik?  Dan pemuda tadi mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, meski dengan jawaban sederhana dan seadanya.

Saya bukannya tidak tahu kalau edelweis memang bunga yang mampu bertahan lama. Edelweis itu, kata pemuda tadi, ia ambil dari bukit Semeru, di sana banyak katanya dan siapa saja bebas memetiknya, tidak ada yang melarang. Pemuda itu sedikitnya, seminggu sekali memetik edelweis ke perbukitan Semeru, untuk dijual ke para pengunjung di Bromo. Setiap rangkaian edelweis yang dibentuk seberti buket, ia menawarkan harga 20 ribu rupiah.

"Boleh kurang koq mbak, boleh ditawar," kata pemuda itu, masih dengan gigihnya merayu saya untuk membeli.

Jujur, sebenarnya saya kasihan, dan tergoda untuk membeli sekedar untuk menyenangkan hati pemuda itu. Tapi hati kecil saya mengatakan lain. Selama ini saya selalu memegang teguh keyakinan, bahwa edelweis selayaknya dibiarkan di habitatnya, jangan dipetik, apalagi dibawa pulang. Akhirnya dengan berusaha seramah dan sehalus mungkin, saya mengatakan,  "Wah, edelweisnya bagus banget ya, tapi saya enggak bawa cukup uang nih mas,  lain kali gak apa-apa kan?"

Syukurlah, pemuda itu mau mengerti, meski tersirat wajah kecewanya. "Oh, ndak apa-apa koq mbak ..." katanya sambil tersenyum, dan masih mau mengulurkan edelweisnya untuk saya foto. 












Puas menikmati puncak Bromo, saya kembali menyusuri tangga turun, menuju celah bebatuan yang tadi saya lihat saat akan menuju puncak. Celah batu yang menarik perhatian saya.

Bromo Grand Canyon




 

Sepertinya para pengunjung Bromo tidak terlalu tertarik dengan celah batu ini. Sepintas memang terlihat biasa saja. Bentuknya seperti bekas aliran sungai yang kering, yang diapit oleh tebing-tebing batu berwarna abu-abu kehitaman, dengan ketinggian yang bervariasi, yang jelas kita akan merasa kecil banget di tengah celah tebing-tebing itu


Para pengunjung yang akan menuju puncak, pasti akan melewati celah yang bentuknya mengular, yang saya tidak tahu ujungnya berakhir dimana. Sejak melewatinya, saya sudah berniat melihat-lihat celah ini setelah turun nanti. Celah dengan tekstur tanah padat berpasir itu  ada yang melebar dan menyempit, serta berkelok-kelok. Saya menyusurinya agak lebih ke dalam, sepi tak ada pengunjung lain, dan saya merasakan nuansa berbeda berjalan di tengah-tengah tebing batu yang bentuknya seperti cadas. 











Saya sulit mendeskripsikan bentukan-bentukan bebatuan itu, tapi saya merasa, ini koq seperti ngarai Grand Canyon yang ada di Arizona, Amerika itu ya. Semakin menuju ke dalam, bentukan batuannya semakin unik, seperti tumpukan lempengan-lempengan tipis, dan celahnya semakin sempit.

Tapi saya cuma bisa menyusuri sebagian kecilnya. Sebelum mencapai ujung celah itu, hari semakin siang, dan saya harus kembali ke jeep untuk meneruskan perjalanan ke tempat lain bersama rombongan.

Ah, sayang sekali, tidak ada orang yang bisa saya tanyai tentang "Grand Canyon" itu, sampai di rumah saya googling pun tak menemukan catatan ilmiahnya.  Hmmm ... tak apalah, mungkin lain waktu dan kembali ke sini, saya sudah tahu harus bertanya kemana dan pada siapa. Menghibur diri :)











"Traveling bukan melulu soal sejauh mana jarak yang kita tempuh, atau seeksotis apa lokasi-lokasi di sudut dunia yang dijelajahi, saat traveling mesti memiliki "mata baru"; mata traveler, yang selalu ingin tahu, selalu berusaha memaknai."  ~ diadaptasi dari status Anas Al-Lubab []









1 comment:

  1. waaa... saya juga jadi pengen tahu lebih jau tentang Grand Canyon-nya, nih... :)

    ira
    www.keluargapelancong.net

    ReplyDelete