Friday, January 4, 2013

[CatPer] Iran, antara Mitos dan Kenyataan





Seperti mimpi rasanya begitu saya menjejakkan kaki di Bandara Internasional Imam Khomeini, pada Kamis (5/7) menjelang tengah malam. Selama ini, saya cuma memendam keinginan bekunjung ke Iran, negeri Persia yang saat ini sedang menjadi sorotan dunia karena program nuklirnya. Alhamdulillah, keinginan itu akhirnya terlaksana. 


            Sembilan hari, terlalu singkat untuk mengetahui lebih dalam tentang Iran yang sering disalahpahami sebagai negara Arab, padahal Iran terletak di daratan Asia (barat daya). Tapi kunjungan singkat itu membuka cakrawala saya dan menghapus berbagai mitos negatif yang diciptakan Barat tentang negeri cantik ini. 


Romantisme Kota Tehran



            Kedatangan saya ke Iran untuk menghadiri acara World Conference onWomen and Islamic Awakening yang diselenggarakan pemerintah Iran. Konferensi yang berlangsung selama dua hari di Tehran Milad Tower Convention Center, dibuka oleh Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Konferensi itu melibatkan 1.200 peserta—semuanya perempuan—dari sekira 85 negara. Saya baru sadar status saya sebagai peserta konferensi adalah tamu negara, setelah bertanya mengapa penjagaan sangat ketat, dan nyaris kemana pun saya pergi, sampai membeli oleh-oleh ke pasar pun, selalu disertai pengawal.


            Lebih dari itu, menurut seorang teman yang sudah lama menetap di Iran, sebagai negara yang sedang menjadi sorotan dunia internasional dan pernah mengalami perang (perang Iran-Irak), masalah keamanan nasional masih menjadi prioritas utama pemerintah, sehingga pengamanan di berbagai tempat, utamanya kantor pemerintah dan institusi penting lainnya, memang sangat esktra ketat.


Hari pertama di Iran, saya bersama bersama beberapa anggota delegasi Indonesia lainnya, menyempatkan diri melihat-lihat kota Tehran, ibukota Iran yang posisinya berada di kaki gunung Albourz. Udara kota Tehran pada bulan Juli sangat panas, karena Iran memang sedang musim panas, dengan waktu siangnya lebih panjang. Sebagai gambaran, Subuh jatuh pada pukul 04.10 pagi, dan Maghrib-nya pukul 20.45 malam. Suhu udara rata-rata 39 sampai 40 derajat celcius. 



            Kota Tehran adalah kota metropolis, yang menurut pengamatan saya nyaris serupa dengan Jakarta yang ramai, dinamis, dan tentu saja diwarnai kemacetan pada pagi dan sore hari, Untuk keliling kota Tehran, kita bisa memilih alat transportasi mulai dari taksi, bis, atau kereta bawah tanah. Dari sisi transportasi, harus diakui Iran lebih maju dibandingkan Jakarta, bis-bis kotanya berukuran besar untuk angkutan massal, ada juga layanan busway, dan kereta bawah tanah yang menyediakan tempat khusus untuk penumpang perempuan. 


            Saya sangat menikmati berjalan-jalan di kota Tehran. Dimana-mana terlihat masih banyak taman yang luas dan hijau sebagai paru-paru kota. Tehran adalah perpaduan antara kota tua dan modern. Nama-nama jalan di Tehran, masih ada yang menggunakan kata “street” disingkat “st” dan “Avenue” disingkat “ave”. Di beberapa titik jalan, saya melihat beberapa pedagang bunga mawar merah tua yang segar , sehingga membuat kota Tehran di musim panas jadi terkesan romantis.



            Di Tehran, banyak tempat yang bisa dikunjungi, kebanyakan adalah taman-taman, diantaranya taman khusus perempuan. Ada juga Milad Tower yang sekarang menjadi landmark-nya Tehran dengan tinggi 435 meter, dan merupakan menara tertinggi ke-7 di dunia. Dari puncak Milad Tower, kita bisa menyaksikan panorama kota Tehran yang indah. 


Selain itu, ada kompleks istana Sa’dabad bekas kediaman Shah Iran dan keluarganya.  Suasana kompleks seluas 110 hektar ini  mirip Kebun Raya Bogor dengan pepohonan tinggi yang rindang. Di kompleks ini terdapat kurang lebih sembilan istana bekas Syah Iran, yang sekarang statusnya menjadi museum. Melihat isi istana, antara lain istana Putih dan istana Hijau, kita akan terkesiap melihat gelimang kemewahan kehidupan Syah Iran di masa lalu. Ada ruang yang dinding sampai langit-langitnya terbuat dari kaca dan batu pualam. Belum lagi perlengkapan rumah tangga, furnitur dan benda-benda antik yang terbuat dari emas. 


Jilbab Berponi dan “Jambul Syahrini”


Salah satu denyut kehidupan kota Tehran yang menarik diamati adalah kaum perempuannya. Wajah-wajah perempuan Persia sejak zaman dahulu terkenal cantik dengan  tubuh tinggi semampai, hidung mancung, kulit putih, alis hitam ibarat semut beriring, dan bola mata yang agak belo. Di mata saya, perempuan-perempuan Iran itu unik, selain perempuan yang mengenakan cadur, di Iran kita bisa menyaksikan perempuan yang berbusana sangat modern dan fashionable. Mereka mengenakan celana panjang jeans, dipadu dengan baju atasan bermodel tunik, dan tetap mengenakan jilbab dengan model belakangnya menonjol ke atas serta rambut poni tmenyembul keluar. Itulah sebabnya, saya memakai istilah jilbab “berponi” dan “berjambul Syahrini” buat gaya jilbab perempuan Iran yang modis ini. Belakangan, setelah jalan-jalan di pasar, saya baru tahu bahwa tonjolan itu karena mengenakan jepitan rambut khas berbentuk seperti buntalan. Perempuan Iran, kecuali yang bercadur, menurut saya, juga senang berdandan dengan make-up yang cukup tebal, termasuk para ABG-nya. 



            Mengetahui bagaimana pemerintah Iran memberikan perhatian bagi kaum perempuannya, terutama untuk ibu yang bekerja, sungguh membuat saya iri. Cuti hamil diberikan selama enam bulan, dengan gaji tetap dibayar penuh. Bahkan kabarnya, ketentuan cuti hamil ini akan diperpanjang menjadi satu tahun. Bagi ibu bekerja yang menyusui diberi waktu dua jam kerja untuk menyusui bayinya.


Kehidupan kaum perempuan di Iran, juga sangat dinamis. Jangan membayangkan perempuan Iran dibatasi hak-haknya atau tertindas. Di jalan raya, perempuan menyetir mobil sendiri adalah hal yang biasa. Mereka adalah tipikal perempuan yang percaya diri, berpikiran maju dan berprofesi hampir di segala bidang yang biasa digeluti kaum pria. Seorang Indonesia yang sudah lama menetap Iran menceritakan,  sekarang ini, yang berhasil diterima di perguruan tinggi negeri di Iran kebanyakan justu perempuan, dibandingkan laki-laki. Sebagai catatan, bagi orang-orang Iran, masuk perguruan tinggi negeri bukan perkara gampang, karena harus melalui seleksi yang ketat, karena kuliah mereka dibiayai pemerintah.


Belajar dari Iran


            Dari apa yang saya lihat, saya merasakan banyak hal positif yang bisa dicontoh Indonesia dari kemandirian negara Iran. Embarago dan sanksi dunia Barat, justru membuat Iran bangkit menjadi bangsa yang mandiri dan kreatif. Di Iran, tidak ada resto waralaba Amerika macam KFC atau McDonald. Iran membuat resto semacam itu sendiri, dengan cita rasa yang tak kalah lezatnya. Suasana Iran adalah suasana yang merindukan. Suatu saat, saya ingin bisa berkunjung ke negeri Persia ini lagi. []


** Tulisan ini dimuat di rubrik Jalan-Jalan, Majalah Umi, Edisi September 2012

No comments:

Post a Comment