Thursday, February 26, 2009

"Burung Apa Itu ... ?"

Suatu pagi yang cerah, seorang ayah yang sudah mulai beranjak tua dengan seorang puteranya yang telah dewasa, sedang duduk-duduk di kursi taman depan rumah mereka. Puteranya asyik membaca koran, sedangkan sang ayah menikmati sinar matahari pagi yang hangat sambil memperhatikan sekitar taman yang ditumbuhi berbagai tanaman hijau.

Tiba-tiba, si ayah melihat burung kecil hinggap di sebuah pohon bunga sambil bercericit riang. Sang ayah lalu bertanya pada puteranya yang sedang membaca koran. "Burung apa itu?". Si anak menoleh sebentar dan menjawab "burung gereja."


Burung kecil itu terbang mengitari pohon dan hinggap lagi. Sang ayah bertanya lagi,"Burung apa itu?". Kali ini tanpa menoleh dan dengan suara datar si anak menjawab "sudah saya bilang ayah, itu burung gereja."

Si ayah diam dan tetap memperhatikan burung kecil itu. Sekarang burung kecil itu hinggap di tanah tak jauh dari tempat ayah dan anak itu duduk. Sekonyong-konyong, si ayah bertanya lagi, "Burung apa itu?". Si anak yang sedang baca koran nampaknya terganggu dengan pertanyaan ayahnya yang berulang-ulang. Dengan kesal dikibaskannya koran itu. Sambil menatap tajam wajah ayahnya, si anak dengan nada agak tinggi berkata, "Ayah, itu burung gereja! burung ge-re-ja !"

Si ayah terlihat kaget dengan nada suara anaknya. Tapi ia tetap tenang dan kembali menga
lihkan pandangannya pada si burung kecil yang masih riang bercericit. Si anak kembali membaca koran.

Tak lama kemudian, burung kecil itu terbang dan hinggap di atas dahan sebuah pohon. Si ayah menengadah, memperhatikan burung itu dan bertanya lagi, "Burung apa itu?".

Kali ini, anaknya benar-benar kesal mendengar pertanyaan ayahnya yang itu-itu lagi. Ia bukan cuma berteriak tapi membentak ayahnya, "Kenapa sih Ayah
bertanya terus! Kan sudah saya bilang itu burung gereja! Tidakkan ayah mendengar kata-kata saya!"

Sang ayah terpana menatap anaknya yang marah. Ayah dan anak itu saling bertatapan untuk beberapa detik. Si ayah menatap anaknya dengan takjub, sementara si anak menatap ayahnya dengan pandangan kesal. Lalu, si ayah beranjak dari duduknya. Si anak ternyata belum hilang kekesalannya.

"Ayah ... Ayah ... Ayah mau kemana?! Ada apa Ini! " kata si anak sambil berusaha meraih tangan ayahnya agar duduk kembali. Tapi si ayah dengan halus memberikan isyarat dengan tangannya agar anaknya duduk saja dengan tenang dan meneruskan bacaan korannya. Ada sedikit rasa menyesal di hati sang anak, karena terlalu bersikap kasar pada ayahnya yang sudah tua. Tapi ia kembali membaca korannya, tanpa berusaha mengejar ayahnya untuk minta maaf.

Beberapa menit kemudian, ayahnya kembali dan duduk disampingnya sambil menyodorkan sebuah halaman buku tulis. Sepertinya sebuah buku harian. Sebelum kebingungan anaknya terjawab, sang ayah dengan tenang menyuruhnya membaca tulisan yang ada di halaman buku itu. "Bacalah dengan keras," kata si ayah dengan suara berwibawa.

Dengan raut wajah yang masih bingung, Anak itu lalu membaca baris demi baris kalimat yang tertulis dalam buku itu.

"Hari ini aku dan anakku yang baru beberapa hari lalu merayakan ulang tahunnya yang ketiga, bermain di taman. Tiba-tiba seekor burung gereja hingga di depan kami. Anakku melihat burung itu dan bertanya, "Ayah, itu apa?" Anakku mengulangi pertanyaan itu sampai 21 kali dan sebanyak 21 pula aku menjawabnya tanpa merasa bosan. Aku memeluknya setiap kali ia menanyakannya, dengan rasa kasih sayang yang begitu besar pada anakku yang masih lugu itu ..."

Sampai disitu, si anak menghentikan bacaannya. Ia seperti sadar atas perbuatannya tadi. Ketika ia kecil, ayahnya begitu sabar menjawab semua pertanyaan-pertanyaannya, pertanyaan khas anak balita yang sering diulang-ulang, tanpa pernah menjawabnya dengan amarah. Tapi hari ini, balasan apa yang ia berikan pada ayahnya yang telah begitu menyayanginya? Ia menjawab pertanyaan ayahnya dengan sikap tak acuh, bahkan membentak ketika ayahnya menanyakan pertanyaan sama berulang-ulang, tanpa menyadari bahwa ayahnya kini sudah beranjak tua.

Si anak tergugu bisu. Menyesali sikapnya yang tidak sabar terhadap orangtuanya. Setetes air mata jatuh. Tak kuat menahan tangis, si anak lalu mencium dan memeluk ayahnya dengan kuat seolah meminta maaf atas perilakunya yang tak pantas. Si ayah mengelus bahu anaknya dengan penuh kasih sayang dan tersenyum.

***diambil dari video yang di posting ummi Ali
 (makasih ya ... ummi )

8 comments: