Wednesday, September 19, 2012

Di Indonesia, Tiap Detik Terjadi Gempa




Kita mungkin sudah sering mendengar bahwa secara geografis, posisi Indonesia berada di kawasan Cincin Api (Ring of Fire). Cincin Api adalah sebutan bagi kawasan lingkaran gunung berapi di wilayah Samudera Pasifik.  Lingkaran gunung berapi itu membuat wilayah Samudera Pasifik sarat dengan aktivitas perut bumi yang masih memijar dan sangat panas. Khusus Indonesia, selain berada di kawasan Cincin Api, Indonesia juga diapit oleh tiga lempeng raksasa, yang apabila terjadi aktivitas di dalam perut bumi tadi, lempengan-lempengan ini bisa saling bertumbukan, sehingga terjadilah gempa.

Posisi yang demikian, membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan gempa. Menurut Dr. Wahyu Triyono--ahli gempa dari ITB--di Indonesia, setiap detik pasti terjadi gempa. Hanya saja kekuatannya kecil-kecil, tidak terasa oleh manusia dan hanya terdeteksi oleh alat pencatat gempa, seismograf.

Gempa memang tidak bisa dipastikan kapan terjadinya, tapi bisa diprediksi. Karena menurut Wahyu, sebagian besar gempa mengikuti pola siklus, bisa puluhan, ratusan atau ribuan tahun. Para ahli gempa di Indonesia sebenarnya sedang khawatir. Pasalnya, beberapa daerah di Indonesia kebanyakan sudah mencapai ujung siklus.

Berdasarkan penelitian, saat ini, daerah di Indonesia yang berpotensi mengalami gempa besar antara lain; perairan di sekitar Mentawai, Padang, Bengkulu, sedikit di Lampung, Sulawesi Utara dan Tenggara dan wilayah kepala burung Pulau Papua. Untuk pula Jawa, potensi ancama gempa masih ada, tapi tidak besar.




Teknologi Canggih Bukan Jaminan




Yang pertama, kita mungkin harus memahami dan menerima kenyataan bahwa kita hidup di atas permukaan bumi yang rawan ancaman gempa. Daripada terus menerus merasa ketakutan, lebih baik kita "berteman" akrab dengan gempa, seperti halnya masyarakat Jepang. Yang terpenting bukan lagi mengetahui berapa besar skala gempa, tapi antisipasi apa yang kita siapkan jika terjadi gempa. Karena sampai saat ini, korban bencana lebih banyak diakibatkan dari lambatnya pertolongan, daripada akibat terkena bencananya langsung. Sayangnya, dari berbagai bencana alam besar yang terjadi di Indonesia, pemerintah terlihat masih "gagap" untuk melakukan reaksi cepat, menolong para korban bencana. 

Pemerintah juga kurang memberikan penyuluhan bagi masyarakat, lewat media cetak maupun elektronik, tentang antisipasi jika terjadi gempa. Berbeda dengan Jepang, yang secara rutin melakukan pelatihan dan simulasi menghadapi gempa pada rakyatnya. 

Dr. Wahyu Triyono mengungkapkan, efek bencana sebenarnya bisa diminimalisir dengan cara meng-edukasi masyarakat tentang ancaman gempa, serta komitmen yang kuat baik dari masyarakat maupun pemerintah dalam hal antisipasi bencana. 

"Kita tidak bisa hanya mengandalkan peralatan atau teknologi canggih, karena semua itu belum tentu efektif. Daripada membeli peralatan canggih yang mahal, apalagi pembeliannya dengan cara berhutang yang berpotensi dikorupsi, lebih baik dananya digunakan untuk mendidik masyarakat tentang potensi bencana  dan cara penanggulangannya bersama-sama. Efektifitas teknologi itu sangat tergantung pada pengetahuan masyarakatnya,"  tukas Dr. Wahyu.

Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan tata ruang daerah atau kota. Harus dibuat jalan yang lurus  menuju tempat yang lebih tinggi--ini untuk antisipasi tsunami--dan tersedianya ruang terbuka untuk memudahkan pertolongan bagi para korban, dengan membuka tenda-tenda yang berfungsi sebagai rumah sakit darurat. Nah, dalam konteks di Jakarta, masih adakah ruang terbuka yang tersisa sebagai antisipasi terjadinya bencana?

Yang terpenting, jangan gampang panik dengan informasi akan terjadinya gempa, yang tidak jelas kebenarannya. Manusia baru bisa tahu kapan gempa (akan) terjadi, setelah gempa itu terjadi, termasuk besaran magnitude-nya.
sumber: "Tsunami The Deadliest Wave"--Angkasa.

1 comment: