Monday, September 17, 2012

Sudahkah Kita Cerdas Berbahasa?


 

Masih ingat dengan Pak Anton M. Moeliono? Setelah berpuluh-puluh tahun baru hari itu saya berkesempatan melihat sosoknya secara langsung. Padahal sejak SD sampai SMP,  saya sudah menjadi penggemar acaranya "Pembinaan Bahasa Indonesia" yang ditayangkan TVRI, satu-satunya stasiun televisi di Indonesia kala itu.

Hari itu beliau menjadi salah satu pembicara diskusi bahasa Indonesia di Lantai 19, Gedung LKBN Antara. Meski rambutnya sudah memutih dan jalannya sudah dibantu dengan tongkat,  Pak Anton dengan suaranya yang khas, masih semangat
membahas masalah-masalah bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia yang bermasalah.

Banyak hal menarik yang dipaparkannya tentang kondisi
masyarakat Indonesia saat ini terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia. Ia mengatakan, budaya tulis dan baca masyarakat Indonesia yang relatif rendah menyebabkan kemampuan berbahasa masyarakat kita juga rendah, baik dalam ragam bahasa tulis maupun bahasa lisan, bahasa formal yang resmi dan bahasa sehari-hari. Padahal, kata Pak Anton, sejarah umat manusia membuktikan bahwa perkembangan kecerdasan sebuah bangsa berhubungan erat dengan perkembangan bahasanya.

Ia mencontohkan Bahasa Arab yang pada zaman Dinasti Abbasiyah menjadi bahasa yang mendunia karena pada masa itu
lahir tokoh-tokoh ilmuwan Arab Muslim di bidang filsafat, kedokteran, kimia, aljabar, botani dan cabang keilmuan lainnya. Selanjutnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang berkembang di negara-negara berbahasa Inggris, menjadikan bahasa itu menjadi bahasa dunia. Sedangkan bahasa Indonesia, jangankan menjadi bahasa dunia, sebagai bahasa nasional saja bahasa Indonesia seolah "hidup segan mati tak mau". 

Sebagian masyarakat kita belum sepenuhnya menyadari pentingnya menggunakan apalagi melestarikan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Arus budaya asing dan perkembangan teknologi tanpa sadar
menggerus penggunaan bahasa Indonesia di tengah masyarakat. Contohnya, dalam bahasa sehari-hari, kita lebih sering menggunakan kata "meeting" untuk rapat,  "thank" untuk terima kasih, upload untuk mengunggah, download untuk mengunduh, hape untuk ponsel, atau media massa, masih banyak yang lebih senang menggunakan istilah asing seperti "reshuffle",  "bail-out" dan sejenisnya. Di televisi, kita masih sering mendengar kata "headline news" atau "break" sebagai pengganti kata jeda iklan atau yang lebih ekstrim, kita sering mendengar anak-anak muda sekarang  menggunakan kata "lebay", "jablai" (yang oleh teman saya diplesetkan jadi jilbab melambai), alay, dan bahasa gaul lainnya.
Kata-kata itu kadang bercampur baur dalam kalimat. Sehingga muncul sindiran, orang Indonesia berbahasa Indonesia sama buruknya dengan ketika mereka menggunakan bahasa Inggris. Identitas pun seolah jadi tak jelas, bahasa Indonesia bukan,
bahasa Inggris pun bukan.

Kebingungan masyarakat (dan juga media massa?) juga terjadi dalam penggunaan nama-nama geografi. Misalnya, Ciledug atau Cileduk, Nagrek atau Nagreg, Yogya atau Jogja? Kita mungkin
lebih sering menyebut Jogja daripada Yogya, padahal yang benar adalah Yogya dari kata Yogyakarta. Kata Yogya diganti dengan Jogja pada tahun 2001 oleh pemerintah daerah setempat setelah menyewa jasa konsultan pemasaran. Kata Jogja dianggap lebih "menjual" untuk keperluan pariwisata, tapi sejauh mana perubahan nama itu berpengaruh pada peningkatan kunjungan wisata ke Jogja? Tentu masih banyak faktor lain yang berperan dan bukan hanya sekedar perubahan nama.

Yang jadi persoalan, mengapa sebuah pemerintahan daerah bisa
dengan gampangnya mengubah sebuah nama geografi, padahal Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 menyebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia dan ayat b pasal tersebut mengatakan, bahwa untuk nama geografi hanya ada satu nama resmi.

Media Massa dan Dilema Berbahasa



Penggunaan dan penguasaan bahasa Indonesia yang masih buruk di tengah masyarakat, kata Anton M. Moeliono tidak lepas dari kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini dimana kelompok "masyarakat kritis" jumlahnya masih jauh lebih besar. Mereka adalah kelompok masyarakat yang latar belakang pendidikannya SMA ke bawah. Pakar bahasa Indonesia mengungkapkan, angkatan kerja di Indonesia 65 persen tamatan SD atau kurang, 20 persen tamatan sekolah lanjutan atau kurang, cuma 10 persen yang  lulusan perguruan tinggidan masih ada kalangan masyarakat yang buta huruf (niraksarawan) sekitar 5 persen atau 11,5 juta orang.


Media massa, lanjut Anton, salah satu fungsinya adalah mencerdaskan masyarakat. Itulah sebabnya, media massa semestinya menjalankan fungsi itu dan dalam kaitannya dengan perkembangan bahasa Indonesia, media massa harus menjadi teladan dan anutan masyarakat dalam penerapan norma dan kaidah berbahasa Indonesia.

Kita mungkin sering melihat media-media massa menggunakan bahasa-bahasa yang sebenarnya tidak baku dengan alasan agar komunikatif (baca:mudah dimengerti segmen pembacanya), entah itu bahasa gaul atau bahasa asing.

"Jangan dengan alasan agar lebih komunikatif, media jadi meninggalkan bahasa yang cendikia. Apalah artinya menjadi komunikatif jika membiarkan masyarakat tetap bodoh dalam berbahasa," tukas Anton.

Di sisi lain, dunia modern memicu munculnya kata-kata baru (terutama istilah-istilah asing) yang masih sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia.  Kalaupun ada, padanannya terdengar sangat asing dan "aneh" untuk digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Contohnya, kata "email", yang sudah ada padanan katanya "surat elektronik" atau "surel", tapi tokh kebanyakan kita cenderung menggunakan kata "email", atau kata "online" yang padanan katanya "dalam jaringan" atau "daring".

Menanggapi masalah ini, Anton mengatakan bahwa masyarakat jangan terlalu bergantung pada Pusat Bahasa untuk mencari padanan-padanan kata-kata baru, karena masyarakat juga bisa berperan untuk menemukan padanan-padanan tersebut. Tentu saja sebuah masyarakat yang cerdas akan kreatif menemukan padanan-padanan kata yang "bagus"  sesuai kaidah bahasa Indonesia dan bukan cuma "kreatif" sebatas menemukan kata-kata seperti "lebai", "alay", "jablai, "semok",  karena Bahasa Menunjukkan Bangsa. Siapa lagi yang akan melestarikan bahasa Indonesia--yang diamanatkan oleh para pejuang kemerdekaan--kalau bukan kita, yang mengaku orang Indonesia.


*** Sebuah catatan dari diskusi "Bahasa Jurnalistik: Mendorong Media Massa Memahami Bahasa Indonesia Lebih Baik", LKBN Antara dan Forum Bahasa Media Massa", Kamis (29 Juli 2010).

No comments:

Post a Comment