Thursday, August 16, 2012

[ Journey to Hajj ] P U L A N G



14 Maret 2002,

Malam itu tak seperti biasanya, hujan rintik-rintik mengguyur kota Mekkah. Dari jendela kamar di lantai empat, saya memandang Masjid Haram dan Ka'bah dalam derai rintik hujan. Titik-titik air hujan yang beradu dengan cahaya lampu masjid yang temaram, nampak kemilau laksana butiran berlian yang ditumpahkan ke bumi. Meski hujan, orang-orang yang tawaf tidak berkurang. Area di sekeliling Ka'bah tetap padat. Kami sudah tak boleh lagi bertawaf, karena tadi sore sudah melakukan tawaf perpisahan ... tawaf terakhir sebelum meninggalkan kota suci Makkah.


Sungguh indah dan syahdu melihat pemandangan Masjid Haram di tengah guyuran hujan. Selama berada di Makkah, baru kali ini kami merasakan hujan turun di kota ini. Seolah menjadi tanda ucapan selamat jalan bagi para tamu Allah yang berangsur-angsur meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air karena musim haji sudah hampir berakhir. Bagi kota Makkah, hujan itu bukan perlambang kesedihan karena kota itu akan ditinggalkan jutaan umat Islam dari berbagai dunia yang selama ini berkumpul untuk menunaikan rukum Islam yang kelima. Karena kota Makkah selalu ramai dikunjungi para jamaah umrah sepanjang tahun.

Tapi bagi saya dan teman-teman satu rombongan, hujan malam itu menambah rasa sedih di hati kami yang besok pagi harus sudah meninggalkan kota Makkah. Satu bulan lamanya di tanah suci, meninggalkan kesan begitu dalam dalam hati kami masing-masing. Perasaan saya campur aduk ketika merapikan dan mengepak semua barang-barang ke dalam koper. Antara bahagia karena akan bertemu kembali dengan keluarga di tanah air dan rasa sedih karena ... entah kapan saya bisa berkunjung lagi ke tanah suci. Meski kewajiban berhaji cuma sekali seumur hidup, tapi sulit dipungkiri, ada harapan dan keinginan yang besar untuk kembali lagi ke sini. Apakah Allah berkenan memanggil saya untuk kembali menjadi tamunya ...?

Enam tahun berlalu, saya masih menyimpan kerinduan itu. Air mata saya selalu meleleh, setiap Idul Adha tiba. Ketika mendengar laporan pelaksanaan ibadah haji dari radio dan televisi, ketika menyaksikan tayangan langsung salat Idul Adha dari Masjidil Haram. Kerinduan yang tak pernah lekang oleh waktu, kerinduan yang menjadi pemicu semangat saya ketika iman mulai menurun, kerinduan yang selalu membuat saya tak henti berucap syukur dan percaya bahwa Allah Maha Kaya, Maha Adil, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Berkuasa yang menjadikan semua yang menurut akal manusia tidak mungkin, menjadi mungkin.

Entah sampai pukul berapa hujan mengguyur kota Makkah malam itu. Karena ketika saya membuka mata, sudah hampir waktu subuh. Cuaca terasa dingin dan lembab karena sisa hujan semalam. Saya bergegas bewudhu, begitu adzan terdengar dari Masjid Haram.  Allahu Akbar .... Allahu Akbar ....

Inilah pagi terakhir kami di kota Makkah. Usai sarapan pagi, kami semua bersiap-siap untuk berangkat ke Jeddah. Dari balik jendela bis saya pandangi kota Mekkah untuk yang terakhir kalinya, sampai  menjadi titil kecil dan akhirnya lenyap dari pandangan. Ah ... sepotong hati saya rasanya tertinggal disana, saya pejamkan mata menahan butiran air mata yang menggantung.

Kesedihan itu masih terbawa ketika kami semua tiba di Jeddah. Karena jadwal keberangkatan pesawat kami malam hari. Pimpinan rombongan mengajak kami berkeliling kota Jeddah, antara lain ke masjid megah yang dibangun di pinggir pantai. Selebihnya, terus terang saya tidak begitu menikmati suasana kota Jeddah karena perasaan saya masih terbawa suasana kota Makkah.

Menjelang malam, kami sudah berada di Bandara King Abdul Aziz. Tapi kali ini kami tidak masuk ke terminal khusus haji, tapi ke terminal keberangkatan biasa. Meski demikian, petugas bandara tetap memberi kami dan rombongan sebuah al-Quran. Kita boleh memilih, apakah al-Quran yang tanpa terjemahan atau yang dengan terjemahan. Al-Quran itu memang dibagi-bagikan secara gratis oleh pemerintah Saudi bagi para jamaah haji yang pulang ke tanah air. Saya pilih al-Quran dengan terjemahan.

Setelah menunggu cukup lama ... akhirnya kami semua dipanggil untuk boarding. Lengkaplah kesedihan saya malam itu, ketika pesawat Gulf Air mulai take-off ... lampu-lampu bandara perlahan-lahan hilang dari pandangan berganti pemandangan langit malam yang biru gelap. Selamat tinggal tanah suci ... semoga haji kami menjadi haji yang mambrur ...aamiin.

No comments:

Post a Comment