Tuesday, August 14, 2012

[ Journey to Hajj ] Madinah: Taman Surga di Kota yang Bercahaya


Rasulullah Muhammad Saw, ''Di antara rumahku dan mimbarku adalah taman (Raudhah) dari taman-taman surga. Dan mimbarku di atas kolam.'' (Shahih Bukhari) .


Setelah selama hampir seminggu di Makkah, kami bersiap-siap berangkat ke Madinah. Kota Makkah yang rasanya sudah begitu akrab dengan kami, harus kami tinggalkan. Kami menempuh perjalanan sejauh 600 kilometer ke arah utara dari Kota Makkah menuju ke Kota yang Bercahaya, sebutan untuk kota Madinah.

Bis yang kami tumpangi melaju di jalan bebas hambatan. Sama dengan perjalanan dari Jeddah ke Makkah, pemandangan yang kami lihat cuma gurun pasir dan bukit-bukit batu. Sesekali kami melihat kelip-kelip lampu di kejauhan, karena perjalanan ke Madinah memang kami lakukan malam hari. Seorang teman saya tiba-tiba bilang, "Len, coba loe bayangin perjalanan ini. Ketika Rasulullah hijrah dari Makkah ke Madinah, mereka menempuh jarak sejauh ini, menyeberangi gurun seluas ini ... sekarang sih kita enak, bisa pake bis."

Saya membuka sedikit gorden jendela bis dan menatap pemandangan gurun pasir yang agak gelap. Dari buku yang pernah saya baca, perjalanan dari Makkah ke Madinah dengan menggunakan unta menghabiskan waktu sekitar satu bulan. Saya membayangkan rombongan para muhajirin berjalan di tengah gurun pasir di malam hari, hanya bertemankan cahaya bulan dan kerlip bintang. Perjalanan yang berat dan melelahkan ...

Saya terbangun ketika mendengar suara ribut-ribut. Oh, ternyata kita berhenti sebentara di sebuah restorang yang cukup besar tapi sederhana. Para penumpang yang ingin membeli minuman hangat atau ke toilet dipersilahkan turun. Begitu turun, cuaca dingin gurun pasir langsung menusuk-nusuk kulit. Saya lihat cuma ada beberapa bangunan di sekitar restoran itu, selebihnya ... gurun pasir. Saya segera menuju ke toilet dan ... saya menemui toilet seperti yang saya jumpai di bandara King Abdul Aziz. Ya ampun, pekik saya dalam hati, kapan saya bisa menemukan toilet yang 'layak'.

Tak lama transit di restoran itu, perjalanan pun dilanjutkan. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih delapan jam, kami tiba di Madinah. Cahaya lampu kota bersinar terang, suasana kota agak sepi, berbeda dengan Makkah yang selalu ramai 24 jam dan rasanya tak pernah tidur.

Kami segera menuju kamar masing-masing di sebuh penginapan kecil. Entah berapa suhu Madinah dinihari itu, yang jelas membuat saya tubuh saya menggigil meski sudah dibalut jaket tebal. Apalagi ketika merasakan air nya ... wuih dinginnya seperti dingin air es yang menggigit. Saking dinginnya, selama di Madinah kulit jadi kering dan kalo digosok suka ada butiran-butiran seperti garam berwarna putih.


Suhu udara Madinah memang dikenal dingin, apalagi saat itu Saudi memang sedang musim dingin. Saking dinginnya, suka membuat orang mimisan atau kulit jadi pecah-pecah. Makanya, selama di Madinah jamaah haji disarankan pakai pelembab tubuh dan bibir.

Tak berapa lama suara adzan Subuh berkumandang dari Masjid Nabawi. Di sini, suara adzan Subuh dikumandangkan dua kali. Adzan pertama, untuk memberitahukan mereka yang tinggalnya agak jauh dari masjid. Adzan kedua, menandakan masuknya waktu Subuh. Saat Subuh adalah pertama kalinya saya menjejakkan kaki di masjid suci kedua bagi umat Islam, Masjid Nabi atau Masjid Nabawi.

Masjid ini tak kalah megahnya dengan Masjid Haram. Masjid Nabawi juga dikenal dengan masjid dengan kubah hijaunya, yang bisa terbuka seperti kubah yang ada di peneropongan bintang. Selama salat di Nabawi, saya cuma sekali beruntung bisa melihat kubah hijau itu terbuka perlahan-lahan, dan sinar matahari langsung masuk menerangi ruangan masjid. Waktu itu usai salat Ashar, saya sedang mengambil air Zam-Zam ketika tiba-tiba saya rasakan ruangan di sekitar saya pelan-pelan jadi terang benderang.


"Tuh, Len, katanya mau liat kubah masjid kebuka. Tuh liat di atas .." kata seorang rekan saya.

Saya menatap ke atas, dan Subhanallah ... tepat di atas kepala saya kubah itu terbuka pelan-pelan. Saya memicingkan mata untuk menghindari silaunya cahaya matahari sore yang masuk melalu lubang kubah yang terbuka itu.

Taman Surga

 
Di masjid inilah terdapat makam Rasulullah dan dua sahabatnya, Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khattab, bekas rumah dan mimbar Rasulullah serta Raudhah. Perjuangan untuk sampai ke Raudah, bukan perjuangan yang ringan karena harus berdesak-desakan dengan ratusan bahkan ribuan jamaah seperti ketika kita tawaf dan salat di Hijr Ismail. Untunglah, di Masjid Nabawi jamaah laki-laki dan perempuan terpisah dan ada jam-jam tertentu untuk berkunjung ke Raudhah. Jadi, meski desak-desakan, kita masih leluasa bergerak.

Berkunjung ke Raudhah menjadi prioritas para jamaah haji, karena tempat diyakini sebagai salah satu tempat yang mustajab untuk berdoa. Letaknya, sekitar 5-7 meter diantara rumah Rasulullah Saw dan mimbar beliau. Rasulullah Muhammad Saw sendiri yang menyampaikan keutamaan Raudhah, ''Di antara rumahku dan mimbarku adalah taman (Raudhah) dari taman-taman surga. Dan mimbarku di atas kolam.'' (Shahih Bukhari) .

Tapi di Raudhah, kita tidak bisa lagi melihat rumah dan mimbar Rasulullah, karena antara tempat itu dan Raudhah, dibatasi dengan kain penutup yang cukup tinggi. Penjagaan disini juga cukup ketat, mereka yang berlama-lama di tempat itu, akan segera diusir oleh para penjaga perempuan-perempuan yang enggak capek-capeknya berteriak agar para pengunjung cukup berdoa seperlunya saja karena diluar masih banyak orang yang ngantri, juga ingin ke Raudhah.

Ketika saya di Madinah, pemandangan yang sangat khas di Masjid Nabawi adalah, melihat keluarga-keluarga Arab lokal yang salat di masjid itu. Tak jarang mereka membawa semua anak-anak mereka, sampai yang masih bayi pun, ketika waktu salat. Tak heran, ketika salat, hampir setiap hari terdengar suara tangis bayi dan suara batuk-batuk, karena memang di Madinah biasanya orang mulai terkena penyakit batuk pilek karena cuaca yang sangat dingin.

Keluarga-keluarga Arab itu sering pula membawa makanan seperti roti berbentuk lebar yang dimakan dengan kurma. Saya kerap ditawari makanan itu oleh mereka. Dan mereka paling tidak suka ditolak. Jadilah meski rasanya menurut lidah saya agak aneh, saya kunyah juga roti itu secuil secuil dengan buah kurma.

Tak jauh dari masjid Nabawi, terdapat pemakaman umum al-Baqi. Dari jendela kamar hotel saya menginap, hampir setiap hari saya melihat orang-orang memakamkan jamaah haji yang meninggal di pemakaman umum terbesar di Madinah itu. Kalau melihat pemandangan itu, betul-betul jadi ingat mati ....

Pengalaman di Madinah tak kalah serunya dengan pengalaman di Makkah. Meski sempat mengalami persoalan tak enak di kota ini. Seorang teman satu rombongan kena tipu ketika membeli emas di sini. Entah, karena merasa tidak enak atau enggak sreg dengan emas yang dibelinya, teman saya itu ingin menjualnya lagi. Ketika dijual ke toko lain, baru ketahuan bahwa ia kena tipu, berat gram emasnya ternyata tidak sesuai berat gram yang tertera di kuitansi pembelian, beratnya lebih ringan. Untunglah, ada orang Indonesia yang menjadi pelayan di toko emas kedua itu dan membantu teman saya mengembalikan emasnya ke toko pertama. Ada-ada saja ...

Seminggu di Madinah, rasanya begitu singkat. Tapi detik-detik puncak ibadah haji juga makin dekat dan kami harus berangkat ke Mina. Semoga Allah mengabulkan semua doa dan menjadikan salat kami di Masjid Nabawi dengan pahala berlipat ganda seperti yang telah disebutkan Rasulullah Saw dalam hadistnya, "Salat di masjidku (Masjid Nabawi) memiliki pahala 1.000 kali dan salat di Masjid Haram (Makkah) memiliki pahala 100.000 kali."


Selamat tinggal Kota Madinah, Kota yang Bercahaya .....

No comments:

Post a Comment